Tumpek Kandang – Kasih Sayang Pada Binatang

Tumpek Uye disebut juga Tumpek Wewalungan/Oton Wewalungan atau Tumpek Kandang, yaitu hari selamatan binatang-binatang piaraan (binatang yang dikandangkan) atau binatang ternak (wewalungan). Di dalam hari-hari suci agama Hindu di Bali terdapat enam jenis hari suci Tumpek, yaitu Tumpek Uye (Tumpek Kandang) yaitu upacara selamatan untuk binatang; Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga yakni upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan; Tumpek Landep yakni selamatan untuk senjata (yang terkait dengan piranti yang tajam); Tumpek Kuningan, selamatan untuk gamelan; Tumpek Wayang selamatan untuk wayang; dan Tumpek Krulut selamatan untuk unggas. Umumnya upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan pada hari Tumpak Uye. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan “Saniscara Kliwon Uye pinaka prakertining sarwa sato.” Artinya, hari itu hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan. Tumpek Kandang adalah upacara selamatan untuk binatang-binatang, binatang yang disemblih dan binatang piaraan, hakekatnya adalah untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Siwa Pasupatiyang disebut Rare Angon, penggembala makhluk. Berdasarkan kutipan ini, tegas bahwa yang dipuja adalah Ida Sang Hyang Widhi, bukan memuja binatang, demikian pula terhadap tumbuh-tumbuhan, senjata-senjata, gamelan dan sebagainya. Mengapa membuat upacara selamatan terhadap hal-hal tersebut ? Dalam ajaran agama Hindu, keharmonisan hidup dengan semua makhluk dan alam semesta senantiasa diamanatkan. Manusia hendaknya selaras dan hidup hamonis dengan alam semesta, khususnya bumi ini dan dengan ciptaan-Nya yang lain, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dalam ajaran Hindu, semua makhluk diyakini memiliki jiwa yang berasal dari Ida Sang Hyang Widhi. Doa umat Hindu sehari-hari (dalam puja Tri Sandhya) dengan tegas menyatakan  Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk hidup sejahtra) adalah doa yang bersifat universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala isinya. Upacara selamatan kepada binatang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kasih sayang kepada semua binatang, khususnya binatang ternak atau piaraaan. Pada saat Tumpek Kandang, hewan khususnya ternak dibuatkan otonan. Dalam prosesi ritual itu umat memohon ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi agar ternak peliharaannya diberkati kerahayuan. Tetapi, secara filsafati kembali kami tekankan, perayaan Tumpek Uye/Tumpek Kandang  itu mengandung makna bahwa umat hendaknya mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Dalam konteks ekonomi, prosesi ritual itu mengamanatkan sektor pertanian dalam arti luas (peternakan) bisa dikembangkan untuk memperkuat sendi-sendi perekonomian masyarakat. Dikatakannya, dalam Sarasamuscaya ada disebutkan “Ayuwa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana,” yang artinya jangan tidak sayang kepada binatang, karena binatang atau makhluk adalah kekuatan alam. Itu artinya, umat mesti mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk. Khusus pada perayaan Tumpek Kandang, umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa Pasupati agar hewan peliharaannya diberkati kerahayuan. Sebab, hewan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Misalnya, sapi atau kerbau bagi para petani memiliki peran yang sangat besar dalam membantu aktivitas agrarisnya. Sapi juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Selain dipakai membajak sawah, sapi juga membantu petani untuk meningkatkan kesejahteraan. Harga jualnya cukup menggiurkan, sehingga bisa dijadikan modal oleh petani untuk meningkatkan pendidikan bagi putra-putrinya dan membiayai keperluan hidup yang lain. Demikian pula ternak yang lain seperti babi, kambing, ayam, itik. Bahkan, babi bagi masyarakat Hindu di Bali sering dijadikan semacam tabungan atau celengan. Ketika umat menyelenggarakan hajatan, babi tersebut dipotong atau jika kepepet uang, ternak yang sering disebut ubuhan tatakan banyu tersebut bisa dijual. Sebagai hewan yang ditakdirkan sebagai ubuan tunu, ayam, itik, babi dan sebagainya sering dijadikan sumber protein untuk menunjang kehidupan manusia. Untuk kepentingan itu hewan ternak memang terus dikembangkan. Tetapi, khusus hewan-hewan yang lain, terutama satwa langka, umat mesti melestarikannya seperti penyu hijau, burung jalak Bali, menjangan, kera dan sebagainya. Hewan-hewan langka tersebut mesti dijaga agar tidak sampai mengalami kepunahan. Untuk menjaga kepunahan satwa langka, di Bali dikaitkan dengan mitologi. Hewan-hewan tertentu dikatakan sebagai duwe Ida Batara (milik Tuhan), seperti sapi putih duwe, bojog (kera) duwe, lelawah (kelelawar) duwe, lelipi (ular) duwe dan sebagainya. Lewat mitologi seperti itu sesungguhnya umat diajak untuk menjaga dan melestarikan satwa lewat konsep religi. Mitologi seperti itu sepertinya jauh lebih kuat daripada seruan atau ajakan untuk melestarikan satwa langka. Untuk bebanten selamatan bagi binatang tersebut berbeda-beda menurut macam/golongan binatang-binatang itu antara lain:

  • Untuk bebantenan selamatan bagi sapi, kerbau, gajah, kuda, dan yang semacamnya dibuatkan bebanten: tumpeng tetebasan, panyeneng, sesayut dan canang raka.
  • Untuk selamatan bagi babi dan sejenisnya: Tumpeng-canang raka, penyeneng, ketipat dan belayag.
  • Untuk bebanten sebangsa unggas, seperti: ayam, itik, burung, angsa dan lain-lainnya dibuatkan bebanten berupa bermacam-macam ketupat sesuai dengan nama atau unggas itu dilengkapi dengan penyeneng, tetebus dan kembang payas.

Di sanggah/merajan dilakukan pemujaan, pengastawa Sang Rare Angon yaitu dewanya ternak dengan persembahan (hayapan / widhi-widhana) berupa suci, peras, daksina, penyeneng, canang lenga wangi, burat wangi dan pesucian. Sumber