Menurut Babad Bali, hari raya Kuningan merupakan perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan dewa pitara ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok, sehingga pada hari itu dibuat, nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan yadnya sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa
- Bahan-bahan sandang
- Pangan
yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua. Hari raya kuningan jatuh pada hari sabtu (Saniscara) Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan) atau 10 hari setelah hari raya Galungan. Dalam merayakan Kuningan, Ida Bagus Gede Agastia yang ditulis pada artikel “Sampian Tamiang” dalam Kuningan di halaman Hindu-Indonesia.com mengatakan, bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi warna kuning.
Perayaan Kuningan mengambil waktu pagi hari, ketika matahari mulai terbit. Memang, pancaran kesucian atau situasi keheningan didapat pada waktu tersebut.
Pada saat itu dipasang hiasan ter atau panah (senjata). Panah itu sesungguhnya simbol ketajaman pikiran (manah) atau tingkat kualitas pikiran. Kata kunci dalam Kuningan adalah
- Suddha jnana, atau
- Kesucian pikiran.
Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan menemukan siddha (keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak akan memiliki berantha jnana atau pikiran kotor alias diselimuti kebingungan. Hal itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh yang disebut dasa indria yang pada intinya Hari Raya Kuningan ini memuja Tuhan dalam keheningan. Dalam keheningan itu diharapkan muncul div atau sinar suci Tuhan. Selain panah, dalam Kuningan dipasang endongan yang merupakan simbol perbekalan (logistik) dalam perang. Sementara dalam konteks keberagamaan, endongan itu bermakna bekal dalam mengarungi kehidupan seterusnya. Bekal itu tiada lain adalah karma atau hasil dari perbuatan, apakah ia berupa ?,
- Subha karma (perbuatan baik), atau
- Asubha karma (perbuatan buruk). Jadi, hanya karma diri sendirilah sebagai bekal utama untuk menuntun menuju perjalanan selanjutnya.
Adapun beberapa jenis sampian yang digunakan pada Hari Raya Kuningan :
- Endongan (simbol kebijaksanaan, etika dan peraturan dalam satu wadah) sebagai persembahan kepada Hyang Widhi.
- Tamiang sebagai simbol penolak malabahaya.
- Kolem/Pidpid sebagai simbol linggih hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Dan sehari sebelum hari raya kuningan seperti dijelaskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia adalah Hari Penampahan Kuningan yang jatuh pada hari Jumat Wage Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga Loka (Dewa mur mwah maring Swarga). Sehari setelah Hari Raya Kuningan (Manis Kuningan), bahkan menjelang Hari Raya Kuningan yang dikutip dari artikel penyon jegu, di desa lain sudah menyelenggarakan suatu tradisi malelawang (mala=letuh, lawang=pintu masuk pekarangan) dengan perwujudan barong bangkung yang di dominasi anak-anak disamping untuk meramaikan suasana hari raya. (sumber)