Kuasa Sang Kala Tiga
Uncal Balung, kata ini sering terdengar dalam masyarakat Hindu Bali, terutama di kalangan mereka yang suka dengan kegiatan ritual keagamaan. Istilah uncal balung tak asing lagi, cuman bagi masyarakat awam mungkin mereka bertanya, apa itu uncal balung. Secara sederhana saja bahwa kurun waktu dari Galungan sampai dengan Buda Kliwon Pahang adalah yang disebut dengan masa uncal Balung. Mereka hanya tahu bahwa pada kurun waktu tersebut tak boleh ngae gae, artinya tak boleh merencanakan dan melaksanakan upacara baik itu manusa yadnya, pitra yadnya maupun dewa yadnya. Pokoknya sing dadi megaenan, tak boleh menjalankan kegiatan ritual, selain rangkaian hari raya Galungan sampai Kuningan tersebut. Pengecualian adalah upacara odalan dan terkait dengan kelahiran manusia seperti nyambutin, ngotonin.
Masyarakat Bali juga memahami bahwa acara nangun karya pastilah mereka menunggu sampai “apang mesalah buda kliwon” agar terlewati buda kliwon, maksudnya buda kliwon paang. Namun mereka tak pernah tahu kenapa tak boleh nangun yadnya, karena mereka mengikuti saja petunjuk dari orang tua atau yang mengerti akan hal tersebut, tanpa pernah repot untuk mencari jawabannya. Mereka berpikir kalau sudah tak boleh ya jangan. Tentang alasannya dan jawabannya ada pada orang yang memberi petunjuk. Demikian mereka berpikir.
Orang awam berpikir bahwa adanya larangan, kalau melanggar larangan itu pastilah ada sangsinya. Pastilah hukumannya tersebut hukuman niskala yang tak akan nada obatnya. Maka mereka akan mentaati ketentuan tersebut. Artinya mereka secara bebelogan berpikir bahwa ikuti saja petunjuk tersebut, yang penting selamat. Daripada mabet-mabet (sok tahu), kemudian berbuat sekehendak hatinya, lalu banyak menimbulkan kecelakaan dan kekacauan.
Kembali ke masalah uncal balung tadi, untuk ukuran di Denpasar dan Badung ketentuan uncal balung ini masih dipegang teguh oleh sima dan krama. Namun beberapa daerah di luar Denpasar, memang ada hal yang sangat kontradiktif. Seperti banyak orang melaksanakan upacara nganten pada saat Galungan, manis Galungan. Atau melaksanakan pitra yadnya pada masa uncal balung. Artinya semua itu sebenarnya sudah menyimpang dari sastra. Mereka pun enjoy aja secara turun temurun melanggar yang namanya ketentuan uncal balung tersebut, tanpa pernah terasa efek sekala dan niskala. Namun sebagian mereka mencari pembenaran dengan berlindung pada desa kala patra. Karena masing-masing wilayah, masing kelompok keturunan memiliki sima, memiliki dresta tersendri. Sehingga kerapkali dikatakan agama Hindu Bali bertengger pada desa kala patra berlandaskan Weda dan diukur dengan rasa. Inilah pemikiran bebelogan dari orang wikan di Bali. Bebelogan artinya bukan bodoh tetapi sejatinya orang yang pandai namun dapat menyederhanakan masalah. Sehingga tak terlibat dalam polemik, tak terlibat dalam debat kusir, tak terlibat dalam pro kontra mengenai sebuah konsep. Artinya orang wikan pastilah akan bisa membijaksanai situasi. Seperti halnya uncal balung tersebut, tak semua daerah atau tak semua orang menjalankan itu. Namun mereka ini melanggar apakah karena mereka tak tahu sastranya atau memang karena drestanya sudah seperti itu. Sekarang tergantung dari kesepakatan kita bersama sebagai krama Hindu Bali, apakah akan menggunakan sastra sebagai pegangan atau berpijak pada desa kala patra yang menyangkut sima dan dresta. Ini mesti menjadi bahan pemikiran dan bahan diskusi kita bersama.
Kalau boleh mengotak atik mengenai istilah, uncal bisa saja berarti ocel, kocak, lemah, ogel-ogel, ugal agil, tak stabil. Sedangkan balung artinya tulang, penyangga, kekuatan. Secara sederhana dan bebelogan bisa saja dipahami sebagai situasi atau waktu yang secara niskala atau fisik sangat lemah atau tak stabil. Kalau saat itu melaksanakan karya, maka dukungan alam niskala sangat lemah, artinya yadnya tak memiliki kekuatan. Aura yadnya mungkin akan lemah sekali. Atau bisa saja pada masa kurun waktu gangguan sekala niskala akan banyak dihadapi apabila melakukan karya yadnya. Sebab dalam filosofinya, bahwa kurun waktu sampai dengan buda kliwon pang adalah masih rangkaian Galungan artinya dibawah pengaruh Sang Kala Tiga yakni Kala Galungan, Kala Dungulan, dan Kala Amangkurat. Maka oleh sebab itu, diharapkan pada kurun waktu itu menjalankan tapa brata yoga semadi, sampai akhirnya dilebar atau ditutup pada buda klion pegatwakan.
Padahal kalau kita tinjau ke belakang lagi bahwa perayaan Galungan tak terlepas dari sejarah Sri Jaya Kesunu yang beryoga Samadi di Pura Dalem Puri adalah untuk mencari jawaban atas situasi prihatin kerajaan saat itu, dimana raja berumur pendek, dan rakyat yang tak sejahtera. Maka Sri Jaya Kesunu menjalankan laku pihatin, sehingga Hyang Betari Durga berkenan dan memberikan jawaban atas segala keprihatinan tersebut, dimana rakyat dan kerajaan mesti melaksanakan Galungan dengan benar. Karena sebelumnya perayaan Galungan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Karena pada hari Galungan Sang Kala Tiga Galungan akan turun ke dunia mendampingi para dewa.
Demikian juga dengan mitologi Mayadanawa, bahwa Galungan diawali dengan keprihatinan akibat dari peilaku dari Sang Raja Mayadanawa yang menganggap dirinya adalah sesuhunan manusia atau menganggap diri sebagai penguasa manusia dan mahluk hidup, sehingga ia melarang para pertapa untuk melakukan tapa brata yoga samadi. Atas semua itu lalu betara Indra turun dari kayangan bersama para Dewa yang lain dan manusia di dunia bersatu untuk menumpas kelaliman dari Sang Mayadanawa. Dan atas kemenangan tersebut dalam mitologinya dikatakan sebagai kemenangan dharma melawan adharma. Atas kemenangan tersebut manusia kembali dapat menyelengarakan upacara dengan suka ria, dan kembali melakukan tapa brata yoga samadi tanpa ada yang melarang.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, bahwa kemenangan diwujudkan dengan bersukaria melakukan apacara justru diselingi dengan suka ria yang lain, lalu mentradisi, sehingga makna dari Galungan itu semakin jauh dari hakekatya. Dan masa Uncal Balung pun menjadi kabur, memudar, lalu lenyap seiring dengan perkembangan jaman dan akibat kemabukan manusia akan kemenangan itu sendiri.
Uncal Balung sebagai bulan keprihatinan untuk mencapai kesucian jasmani rohani mesti perlu dipahami oleh umat, lalu ditradisikan sebagai tradisi spiritual, agar terhindar dari pengaruh negatif dari Sang Kala Tiga, dan untuk mendapatkan kekuatan para dewa. Pada masa Uncal Balung kekuatan rwa bineda sedang berada diantara manusia yakni kekuatan Dewata sebagai unsur positif dan kekuatan Kala yang berwujud Sang Kala Tiga Galungan sebagai unsur negatif.
Uncal Balung
Uncal Balung adalah penjabaran dari awal dan berakhirnya perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam Wuku Pahang. Waktu yang disebut dengan Uncal Balung adalah mulai dari hari Sugian Jawa untuk melakukan kegiatan etika dalam beryadnya sampai dengan Buda Kliwon Pahang. Selama 42 hari khusus untuk melakukan kegiatan memuja Tuhan dalam Wujud Tunggal, yang disebut dengan Sanghyang Tunggal. Maka dari itu, untuk kegiatan upacara yang lainnya dilarang untuk melaksanakannya apalagi upakara manusia yadnya (perkawinan. Sehari setelah uncal balung kegiatan upakara yang lainnya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Jadi nilai tattwa yang terkandung dalam uncal balung yang sering disebut dengan kemenangan Dharma melawan Adharma. Dengan membuang segala kotoran dalam diri manusia secara individu untuk meraih kecucian bahtin atas anungrah yang disebut Sang Hyang Tunggal.
Istilah Uncal Balung terdapat dalam lontar Sundarigama. Untuk jelasnya, dapat diperhatikan beberapa kutipan di bawah ini:
Pegatwakan, pegat artinya = putus, palas, lepas. Wak = raos, omongan. Balung = tulang. Pahang = nama wuku ke 16. Jadi Pegatwakan dapat diartikan secara singkat adalah menyudahi pembicaraan, yang dalam hal ini pembicaraan tentang wuku dungulan dan kuningan. Uncal atau nguncal artinya melempar, membuang. Uncal balung artinya hari antara Galungan dengan hari Rabu Kliwon Paang. Pegat Wakan atau Buda Kliwon Pahang ialah hari berakhirnya melakukan tapa brata karena telah berjalan selama 42 hari, terhitung dari Sugian Jawa s/d Buda Klion Pahang (Budha Kliwon Pegat Wakan). Uncal Balung, hari-hari pantangan untuk melakukan upacara yadnya. Filosofinya bahwa hari Buda Kliwon Pahang ialah menutup atau mengakhiri tapa brata sebagai pengekangan diri. Tata Susilanya (etikanya) adalah ngaturang idep dan selanjutnya melaksanakan hasil brata, tapa yang berguna untuk masyarakat, sebagaimana sebelum menjelang permulaan hari raya.
Sundra (2003), menguraikan bahwa Buda Klion Pegatwakan, ”kalinganing warah panelasing mangku dyana semadining wara Dunggulan, pralina ngaran. Kalingania Sang Wiku mwang sapara jadma kabeh, gelaraknea yoga semadhi, nunggaakna ring kahananira nguni, saha widhi widana sarwa pawitra; mawangi-wangi, mwang sesayut dirgayusa, katur ring Sang Hyang Tunggal, dulurana penyeneng mwang taledan.
Lontar Sindarigama lembar 17. b. koleksi Universitas Hindu Indonesia, menguraikan bahwa ”Buda Kliwon Pegatwakan, yatika pegating warah, manelasing dyana semadhining dunggulan, nga, wekasing pralina ngranasika, pakena Wiku lamakna sindyanasemadhi, umaring kala naya nguni, saha widhi widhananya sarwa pawitra, wangi-wangi, aturakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa, saha puja hatur ring Sang Hyang Tungal”. Artinya bebasnya Buda Kliwon disebut Pegatwakan, hari itu titik selesainya pemusatan renungan pikiran bersemadhi. Renungan itu disertai dengan upakara serba suci. Wangi-wangi dan sesayut dirgayusa, dihaturkan kehadapan semua Dewa, diserta puja kepada Sang Hyang Widhi.
Uncal Balung yaitu merealisasikan tattwa, etika dan upakara. Tattwanya adalah pengendalian diri dalam hidup ini untuk mencapai kesucian lahir dan bhatin, yang lebih sering disebut dengan Kemenangan Dharma melawan Adharma. Etikanya, semua umat Hindu harus melakukan usahan pengendalian diri selama 42 hari.
Tak Boleh Nangun Yadnya
Uncal balung erat kaitannya dengan perayaan hari raya Galungan, karena merupakan satu kesatuan. Hari raya Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan yang mempunyai makna yakni merupakan titik puncak kecermelangan alam sekala-niskala (widya). Hari raya Galungan adalah titik kulminasi dari pelaksanaan hari-hari suci lainnya. Pada hari Galungan, Sang Hyang Widhi turun ke dunia dalam prabawa sebagai Sang Hyang Siwa Mahadewa.
Kata Galungan berasal dari kata “galungang” yang artinya “tertancap sebuah panah” dan kata panah di sini memiliki maksud “manah” atau “hati sanubari”. Dengan demikian kata tertancapnya sebuah panah mengandung maksud “tercapainya titik tujuan untuk menuju kecemerlangan / dharma”. Oleh karena itu tercapainya tujuan ini, tergantung dari pribadi umat masing-masing. Demikian yang disampaikan oleh Ida Bagus Putu Sudarsana.
Saat Galungan itu mulainya uncal balung. Uncal = hilang dan balung = kekuatan, artinya saat itu selama tiga puluh lima hari setelah Galungan semua waktu kembali ke titik nol. Mengapa demikian? Ini merupakan hitungan samkya, yakni dihitung panca wara, sapta wara, dan wukunya menjadi hitungannya 7, 8, 4 jumlah menjadinya 19 yang dibulatkan menjadi “0” atau kosong. Inilah uncal balung yang artinya kembali seperti semula atau kembali ke “0” dalam artian semua kekuatan dewasa saat itu kembali ke titik nol yaitu titik dharma. Jadi aktivitas keagamaan saat sementara waktu yang berhubungan dengan dewasa uncal balung didispensasikan atau istirahat. Ini mempunyai tujuan agar manusia dan alam saat itu diberikan waktu untuk intropeksi diri karena turunnya dharma diharapkan kita sebagai manusia mengerti apa-apa yang sudah kita lakukan terhadap diri kita dan sesama.
Kekuatan yang ada saat itu kembali murni sesuai dengan aslinya, maka dewasa panca yadnya saat itu tidak ada. Kecuali hari kelahiran. Semua kekuatan saat itu murni, ini yang disebut dengan uncal (kembali atau hilang) atau orang yang memiliki jnana uncal balung adalah hari tapa dan yoga (sunia). Saat itulah orang melakukan tapa yoga untuk memurnikan hati kembali untuk melaksanakan ajaran dharma.
Dalam uncal balung masih ada rangkaian keagamaan yang kita lakukan yakni, sehabis Galungan, ada Umanis Galungan, hari Pemaridan Guru, Pemacekan Agung, sampai ke hari Kuningan, ini semuanya hari tapa dan yoga, sehingga kekuatan yang muncul adalah kekuatan dewata atau kekuatan Hyang Widhi kembali kepada dharma. Aktivitas manusia saat itu untuk panca yadnya yang berhubungan padewasan sementara tidak dilaksanakan, karena kita fokus pada rangkaian Galungan atau kekuatan dharma, tanpa diganggu dengan aktivitas yang lainnya. Kalau ada masyarakat mengadakan panca yadnya kecuali kelahiran seperi tiga bulanan atau otonan, maka upacara yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan. Para Wiku pun tidak akan melaksanakan ngelokapalasraya dalam kurun waktu uncal balung.
Akhir dari uncal balung adalah hari pegat wakan yaitu tiga puluh lima hari setelah Galungan disebut dengan pegat wakan, yang jatuhnya pada rabu kliwon-wuku pahang. Dikatakan sebagai hari pegat wakan karena merupakan batas terakhir dari tapa pelaksanaan hari raya Galungan dalam arti sebulan (bulan Bali) lamanya umat Hindu “anyekung puja mantra” yang maksudnya bagi umat Hindu tidak diperkenankan nibakang padewasan (sesuai dengan penjelasan di atas).
Kata pegat wakan terdiri kata pegat dan wakan. Pegat dapat diartikan “putus atau pelepasan” sedangkan kata waken berasal dari kata wakya yang artinya “sabda atau anyekung puja mantra”. Dengan demikian maksud dari hari pegatwakan adalah pada saat itulah melepaskan tapa dan yoga kita. Pada hari pegat wakan itulah segenap umat Hindu lagi melaksanakan upacara kecil berupa banten soda pada setiap pelinggih, serta melaksanakan persembahyangan kehadapan Hyang Widhi. Adapun tata cara adalah pada pagi harinya menghaturkan banten soda setiap pelinggih, kemudian melaksanakan persembahyangan, sampai selesai metirta dan mamakai bija. Setelah itu barulah mengaturkan segehan di depan pelinggih. Setelah selesai menghaturkan segehan, barulah dilepaskan semua sampian-sampian yang ada di masing-masing pelinggih, bale, dan sampian penjor beserta hiasannya, lalu dikumpulkan jadi satu di suatu tempat di pekarangan rumah, kemudian dipercikkan tirta, dihaturkan segehan abang selanjutnya dibakar, abunya ditanam di pekarangan rumah. Dengan begitu selesailah rangkaian Galungan dan uncal balung dengan melaksanakan pegat wakan, saat itu umat kembali normal untuk menentukan padewasan untuk upacara yadnya tanpa kecuali.(kanduk supatra/ Ki Buyut Dalu) –sumber