Mengapa sawa (mayat) dibakar tatkala melakukan Pitra yadnya? Sebelum pertanyaan itu dijawab dengan berbagai alasannya, maka ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan tentang pengertian Pitra yadnya dan keberadaannya yang ber-bhinneka. Sebagaimana diketahui, Pitra yadnya telah menjadi sebuah istilah bagi umat Hindu di Bali. Istilah ini merupakan bagian dari Panca Yadnya. Empat yadnya lainnya yakni Dewa yadnya, Manusa yadnya, Rsi yadnya, dan Bhuta yadnya.
Pitra yadnya terdiri dari dua kata, yakni “pitra” dan “yadnya”. Secara harfiah, “pitra” berarti orangtua (ayah dan ibu). Pengertian yang lebih luas bisa disebut leluhur. Sedangkan kata “yadnya” berarti pengorbanan yang didasari hati yang tulus ikhlas nan suci. Jadi , “pitra yadnya” berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus suci kepada leluhur, terutama kepada orangtua.
Rupanya bisa dimaklumi, semua istilah berasal dari kata-kata, baik yang tunggal maupun yang majemuk. Dinamakan istilah karena telah berubah maknanya, tidak lagi utuh sebagaiamana arti harfiahnya semula. Karena ia telah memiliki arti khusus, maka kata-kata itu dinamakan istilah. Begitu pula istilah Pitra yadnya. Sebagai istilah, Pitra yadnya memiliki arti tersendiri, yakni upacara keagamaan yang diadakan untuk menyelenggarakan atau nyangaskara jenasah atau roh keluarga yang meninggal dengan berbagai sajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya. Demikianlah kurang lebih artinya dengan ditekankan secara kesusilaan supaya pihak penyelenggara bisa memandang, bahwa pengadaan berbagai sarana itu bukanlah pengorbanan suci yang merupakan swadharma (kewajiban) pribadinya masing-masing.
Upacara Mungkah
Pitra yadnya terdiri dari beberapa jenis pelaksanaannya yang berbinneka. Mengapa? Hal itu disebabkan oleh kedatangan agama Hindu ke Bali tidak hanya sekali saja, melainkan bergelombang-gelombang dalam jarak puluhan bahkan ratusan tahun. Apalagi wilayah yang dituju dan menjadi basis penyebaran tiap-tiap fase berbeda-beda, sehingga warisannya yang tertinggal sampai sekarang masih menampakkan kebhinnekaan dalam pulau yang sempit ini.
Dalam hal ini diutarakan Pitra yadnya secara umum yang berlaku di sebagian besar masyarakat umat Hindu di Bali, terutama di dataran rendah. Mengapa? Antara lain karena Pitra yadnya yang dilakukan di dataran rendah inilah yang rupanya merupakan hasil penyempurnaan terakhir dari Yang Ening Sira Empu Kuturan, Dang Hyang Dwijendra, Empu Lutuk, dll. Sedang umat Hindu di pegunungan belum beranjak dari tradisinya yang lebih tua.
Mungkin ada pertanyaan mengapa tradisi di pegunungan dibiarkan? Sebagaimana dinyatakan dalam sejarah, Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) sudah sekitar 400 tahun yang silam sudah menyebarkan pembaruan di Bali, suatu usaha yang juga dilakukan Empu Kuturan jauh sebelumnya. Namun dresta Bali mula di udik belum juga terjamah dan mengadopsi ajaran dua empu besar itu. Pasalnya, tak lain karena dua empu besar itu dalam menyebarkan ajaran tidak bertangan besi. Kedua empu itu bersikap; dipakai tidaknya sesuatu cara oleh sekelompok umat, mereka serahkan sepenuhnya pada sredaning manah atau ketulusan hati masing-masing kelompok masyarakat tersebut. Karena bukankah pelaksanaan agama tanpa dilandasi sredaning manah adalah kemunafikan? Karena itulah orang-orang di pegunungan yang belum dapat menerima pembaruan, dibiarkan saja tetap melaksanakan tradisi kunonya.
Upacara Mungkah
Mengapa mayat dibakar? Selintas telah disinggung, upacara Pitra yadnya umumnya digelar oleh keluarga yang masih hidup untuk anggota keluarganya yang meninggal dunia. Melakukan Pitra yadnya adalah swadharma alias kewajiban. Mengapa mereka harus melakukan swadharmanya itu? Tidak lain lantaran Pitra yadnya itu sendiri merupakan suatu upacara keagamaan. Maka tidak pelak lagi, mengenai tradisi upacara ini dilakukan oleh keluarga terhadap anggotanya adalah pula berdasar ajaran agama. Bahkan upacara ini bersumber dari tattwa (filsafat) agama sendiri. Tegasnya, upacara ini bukanlah sekadar tradisi yang hambar begitu saja. Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban mutlak, karena sudah merupakan utang. Bukankah pada mulanya ketika kita berada di cucupu (rahim) ibu, tubuh kita hanya sekedar dua sel yang teramat kecilnya. Kita berutang kepada ayah karena kama petaknya (sp3rma) dan kepada ibu karena kama bangnya (ovum).
Kenyataan itu tidak bisa dipungkiri lagi. Lalu apa kata ajaran agama tentang semua ini? Pada hakikatnya stula sarira (jasad) setiap mahluk termasuk manusia adalah terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur yang sama yakni Pancamahabhuta yang terdiri dari pratiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas/cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether/angkasa). Dari Pancamahabhuta kita memperoleh pinjaman zat-zat yang membuat kita hidup, hingga dari “merekalah” kita berutang. Kita berutang selama Pancamahabhuta itu terakit wungkul berbentuk stula sarira (badan kasar) baik sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal. Jelasnya, semasih Pancamahabhuta berwujud tubuh manusia termasuk setelah meninggal selaku sawa (jenasah), manusia “pemakai” lima unsur zat itu dinilai selaku pihak berutang. Sebagai utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang pada saatnya nanti harus dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu.
Selama masih hidup, kita tentu berusaha mempertahankan badan kasar ini. Penyebabnya karena dianggap begitu penting meski benda itu pinjaman. Kita selalu pelihara dan itu adalah wajar. Namun bagaimana setelah meninggal, di kala tubuh ini tak diperlukan lagi karena tidak berfungsi? Unsur-unsur stula sarira itu harus dikembalikan kepada pemiliknya atau asalnya semula yakni Sang Pancamahabhuta. Dengan kata lain sawa harus secepatnya dihancurkan hingga masing-masing unsurnya kembali menunggal dengan asalnya.
Ada pertanyaan menarik. Adakah seseorang yang telah (baru) meninggal dapat berinisiatif mengembalikan bahan tubuhnya kepada Sang Pancamahabhuta? Itulah yang menjadi soal, karena yang wafat tentu tidak bisa berinisiatif seperti itu. Maka anggota keluarga yang hiduplah membantu secepatnya mengembalikan utangnya. Apalagi kita telah berutang jasa kepada orangtua atau leluhur yang telah memberikan kama bang dan kama petak yang kemudian menjadi tubuh kita, belum lagi jasa pemeliharaannya.
Inilah yang menjadi latar belakang adanya swadharma seorang anak untuk mengadakan Pitra yadnya untuk orang tua atau leluhurnya. Bila mau memberi rumus secara tata buku kira-kira begini: Setiap ego berutang kama bang dan kama petak pada orang tuanya. Orangtua berutang unsur stula sarira pada Pancamahabhuta. Bila orang tua meninggal, keturunannyalah yang wajib membantu membakar (membayari utang) stula sarira orangtuanya hingga kembali menunggal dengan Pancamahabhuta.
Lalu ada orang yang tergolong ekstrem rasional, mungkin berpendapat, bukankah sawa yang dibiarkan melalui pembusukan alamiah akan kembali jua ke asalnya, meski lebih lambat? Atau kalau mau lebih cepat, bakar begitu saja pun sudah cukup, tidak perlu ada upacara segala. Sepintas, pendapat itu tidak salah. Namun yang perlu diingat, manusia bukanlah berspiritkan pemikiran rasional semata, apalagi kita adalah mahluk yang beragama dan berbudaya. Untuk menunjukkan rasa kasih, bhakti, hormat dan sujud kepada keluarga atau leluhur tentu tidak cukup hanya dengan prilaku seperti tadi. Emosi, cita rasa, kehalusan budi, rasa sopan santun, dan sebagainya semua perlu mendapat kepuasan. Lebih-lebih dalam menyelenggarakan upacara untuk jenasah yang ada kaitannya dengan jiwa mendiang (yang bernilai gaib dan halus). Ingat saja pelantikan pejabat, peresmian gedung dilangsungkan juga dengan upacara. Jadi begitulah dalam Pitra yadnya, dilakukan dengan berbagai upacara dan
upakara yang mengandung arti simbolik. (Sugi)
Dikutip dari buku Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar, 1993, I Gusti Ketut Kaler, Penyunting dan Pengantar Wayan Supartha, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar. –sumber