BALI EXPRESS, DENPASAR – Saat bulan mati, tepatnya pada Tilem kasanga yang jatuh pada sasih kasanga, dikenal sebagai malamnya para penekun ilmu hitam. Apakah benar momen ini merupakan malam tergelap dan terkotor?
Dalam penanggalan Bali, banyak terdapat hari – hari khusus untuk ritual keagamaan. Seperti purnama, tilem, wuku wayang, serta bhuda cemeng. Penanggalan tersebut telah ada sejak zaman dahulu. Dan, dibuat berdasarkan perbintangan, perubahan musim serta perubahan alam. Perubahan musim dan alam biasanya dikaitkan dengan mitos dan legenda di masyarakat. Misalnya saja Tilem kasanga yang jatuh pada sasih kasanga, sangat identik dikenal sebagai malamnya para penekun ilmu hitam (Black Magic). Benarkah mitos tentang Tilem kasanga ini?
Menurut penyusun kalender Bali, Gede Sutarya, Kamis (1/3) lalu kepada Bali Express (Jawa Pos Group), setiap malam yang ada pada sasih kasanga adalah malam yang sangat gelap. Dan, puncaknya ada pada Tilem kasanga. “Seperti yang kita tahu sasih kasanga adalah sasih dengan masa gelap yang lebih panjang dibanding sasih lainnya. Perputaran matahari kan ada periodenya. Nah, ketika sasih kasanga memang lebih lama malamnya dibanding siangnya,” terang pria asal Bangli ini.
Jadi, lanjut Sutarya, Tilem Kasanga lebih gelap dibanding sasih yang lain. “Puncaknya pada Tilem kasanga, makanya diadakan pangrupukan untuk mencegah pengaruh bhutakala terhadap kita,” papar dosen pascasarjana IHDN Denpasar ini.
Sutarya memaparkan, adanya prinsip Rwabhineda akan selalu berimbang di dunia. Maka siang dan malam akan selalu bergantian memengaruhi kehidupan. “Yah namanya Rwabhineda, ada yang baik dan jahat, siang dan malam. Saya tidak memungkiri pada saat puncak masa tergelap, pengaruh kegelapan memang dirasa sangat memengaruhi manusia,” bebernya.
Sutarya mencontohkan, amarah, benci, dengki semua sifat raksasa tersebut akan jauh terlihat di sasih kasanga. Dalam filosofi Hindu, diyakini sasih kasanga ( bulan kesembilan) dalam hitungan kalender Bali, merupakan masa tergelap dan puncak terkotor.
“Sebenarnya sasih ini adalah sasih peralihan antara masa gelap dan terang. Nah, untuk dapat melewati masa gelap dan meredam pengaruh bhutakala dalam diri, kita mengadakan prosesi pangerupukan. Tujuannya, agar kita dapat melewati masa tergelap dan siap menyongsong masa terang,” ujarnya.
Sebelum melaksanakan Taur Kasanga, Sutarya juga mengimbau melakukan pacaruan untuk mencegah gangguan itu datang dan memengaruhi kehidupan. “Biasanya sih diadakan pacaruan ya di areal rumah dan lingkungan sekitar,” ungkapnya.
Ketika disinggung, apakah pada sasih kasanga akan banyak kecelakaan serta wabah penyikit akibat pengaruh gelapnya sasih kasanga? Sutarya menjelaskan, pada sasih kasanga memang biasanya diiringi dengan perubahan musim dari hujan ke kemarau. Wabah penyakit, biasanya memang sering terjadi pada perubahan musim. “Seperti yang kita tahu ketika pancaroba, banyak wabah penyakit. Kita tak bisa menyangkutpautkan semua hal niskala, walaupun memang masih ada pengaruhnya secara niskala,” paparnya.
Malam Tilem kadang kerap dikaitkan, bahkan jadi malam favorit bagi mereka penekun ilmu hitam di Bali. Menurut Dosen Institute Negeri Bali, Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, penganut ilmu hitam memang ada, seperti hukum Rwabhineda, yakni adanya keseimbangan di dunia akan adanya baik dan buruk. Dirinya tidak memungkiri memang ada aliran ilmu tertentu yang melakukan ritual khusus pada saat Tilem kasanga.
“Yah seperti hukum Rwabhineda, saya tidak memungkiri memang hal itu ada. Tapi saya tidak tahu pasti seperti apa ritualnya, dan bagaimana mereka melakukannya. Namun, sebaiknya kita sebagai umat beragama mempersiapkan diri ketika masa tergelap itu datang,” sarannya. Caranya? Rajin sembahyang, mengontrol sifat sifat keraksasaan, amarah dan dengki.
Ia juga mengungkapkan, masyarakat terkadang masih salah kaprah, mengenai pengusiran bhutakala. “Bhutakala itu ada pada setiap diri manusia. Itu ibaratnya sisi buruk kita sebagai manusia. Tidak mungkin diusir kan? Nah ritual pacaruan dan Tawur Agung itu tujuannya agar sifat keraksasaan kita tidak mendominasi kita di waktu tergelap sekalipun ,” pungkas Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda. (tya)
(bx/ima/yes/JPR) –sumber