Pewarisan adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan yang ditnggalkan, baik setelah pewaris meinggal ataupun selagi pewaris itu masih hidup. Hubungan hukum ini merupakan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan merupakan keadaan hukum yang mengakibatkan terjadi perubahan hak dan kewajiban secara pasti dan melembaga. Dengan demikian perubahan dan peralihan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain dan merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara tepat dan beraturan.
Proses yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cara sebagai suatu upaya yang sah dalam perubahan hak dan kewajiban atas harta warisan dan besarnya perolehan berdasarkan kedudukan para pihak karena ditentukan oleh hukum.
Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia ( pewaris ). Pengertian harta dalam hal ini tidak saja menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis saja, melainkan meliputi pula harta yang mempunyai arti religius. Setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta / kekayaan keluarga berupa harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan keagamaan / upacara-upacara keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai magis religius antara lain : harta akas kaya, harta jiwa dana, harta druwe gabro.
Ditinjau dari macamnya, harta warisan menurut hukum adat dapat dibedakan menjadi :
1. Harta Pusaka
Harta Pusaka adalah harta yang mempunyai nilai magis religius dan lazimnya tidak dibagi-bagi. Proses pewarisannya dipertahankan di lingkungan keluarga secara utuh dan turun temurun jangan sampai keluar dari lingkungan keluarga. Di Bali harta pusaka ini umumnya berkaitan dengan tempat-tempat persembahyangan, sehingga keutuhannya tetap dipertahankan demi kepentingan keagamaan dan bukan untuk kepentingan lain. Hal ini mengingat masyarakat Bali yang mayoritas menganut agama Hindu. Adapun yang termasuk jenis harta pusaka di Bali adalah sanggah, keris pengentas, alat-alat upacara, tanah bukti pemerajaan, laba pura dan druwe tengah.
2. Harta bawaan
Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa
atau karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan ini disebut harta bebaktan yang terdiri dari :
a). Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh suami / istri masing-masing atas jerih payah sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan. Setelah kawin dan mereka hidup rukun sebagai suami istri, maka harta akas kaya ini jadi harta bersama / druwe gabro
b). Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus ikhlas dari orang tua kepada anaknya baik laki-laki maupun wanita sebelum masuk perkawinan. Pemberian jiwa dana ini bersifat mutlak dan berlaku seketika, ini berarti bahwa penerima jiwa dana dapat memindahtangankan harta tersebut tanpa meminta izin dari saudara-saudaranya. Begitu pula apabila anak wanita yang kawin keluar, istri yang cerai dari suamnya, ia tetap berhak membawa harta jiwa dana tersebut.
3. Harta bersama
Harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan. Pada hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah harta bersama ini ternyata belum ada keseragaman di Bali, ada yang menyebut guna kaya, maduk sekaya, pekaryan sareng, peguna kaya, sekaya bareng kalih dan sebagainya. Apabila terjadi perceraian, barang-barang yang disebut barang guna kaya ( druwe gabro ) itu harus dibagi dua sama rata.
Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak mejadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.
Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-lakiberkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi lakinlaki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita.
Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut, demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat. Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok 1900, yang menentukan syarat-syarat pengangkatan sentana. Pasal 11 dari paswara menentukan seorang boleh mengangkat sentana dari keluarga kepurusa terdekat dan paling jauh dalam derajat kedelapan ( mingletu menurut stelsel klasifikasi ) menyimpang dari ketentuan ini hanya dibolehkan dengan persetujuan keluarga lebih dekat dari calon pertama itu atau degan izin pemerintah.
Di Bali akibat dari pengangkatan anak (Adopsi) dalam hukum adat adalah bahwa anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan dengan keluarga asal jadi putus. Demikian halnya dengan kedudukan anak angkat di Bali pada umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak (antara lain hak waris ) yang sama dengan seorang anak kandung. —sumber