Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
(Serat Wulang Reh, I.2)
Artinya :
Pengetahuan hidup ini, orang tidak akan tahu jika tidak mau belajar, dalam kehidupan, banyak yang mengku-aku, merasa sudah berisi, namun tidak memahami kesejatian rasa, pengetahuan yang sempurna berada di lubuk hati adanya, upayakan mencari kesempurnaan, di dalam kehidupan ini.
Dari wejangan dalam Serat Wulang Reh ini, manusia dalam menjalani kehidupan hendaknya terus-menerus mengisi diri dengan berbagai pengetahuan, lebih-lebih pengetahuan yang mengantarakan menuju pemahaman esensi rasa. Jangan merasa diri sudah mengerti semuanya kemudian mengaku-aku paling pintar dan merasa paling benar.
Demikian pentingnya makna pengetahuan dalam serat Wulang Reh sebenarnya sejalan dengan ajaran Hindu. Hindu menempatkan pengetahuan sebagai mahkota kehidupan, kitab Slokantara menggariskan bahwa salah satu hal yang jangan sekali-kali ditunda adalah mengejar ilmu pengetahuan (kapetan ing widya).
Walaupun berkelimpahan materi, wajah yang tampan dan berasal dari keturunan yang terhormat, semuanya tidak berarti apabila tidak memiliki pengetahuan. Pengetahuan merupakan kekayaan berharga yang abadi dan dengan pengetahuan pula manusia tahu akan tujuan hidup yang sesungguhnya. Sebuah pergulatan dari awidya (gelapnya pikiran) menuju widya (terangnya pikiran).
Itu pula sebabnya mengapa Hindu sangat menghormati ilmu pengetahuan dan menghayatinya melalui pemujaan Dewi Saraswati pada saat hari raya Saraswati. Dengan harapan agar umat Hindu tiada henti-hentinya mengejar ilmu pengetahuan. Seperti halnya dalam naskah Rg Veda disebutkan : Maho Arnah Sarasvati pra cetayati ketuna, Dhiyo visy virajati, yang artinya ; Oh Sarasvati, sungai yang besar, Dia yang dengan cahayanya memberikan terang, dia menerangi setiap pikiran yang mulia.
Dalam realitas hidup ini tentu sering kita melihat orang menganggap dirinya paling pintar dan paling benar, berbicara banyak tanpa didasari sumber-sumber yang pasti, kemudian menyalahkan dan memvonis orang lain selalu salah. Rasa paling pintar dan benar sendiri seringkali menjerumuskan manusia menuju kehancuran, karena dengan merasa paling pintar maka ia tidak akan lagi bisa menerima pengetahuan lainnya dan rasa paling benar akan membuat seseorang tidak menerima kebenaran lainnya.
Rasa paling benar pula akan membuatnya tersisih dari kehidupan, terjebak dalam pemahaman dan keegoannya sendiri, terlibat dalam perdebatan yang melelahkan dan tidak bermanfaat. Apabila rasa ini terus hidup dalam dirinya, maka gesekan-gesekan dengan orang lain tidak akan bisa dihindari, pada akhirnya menimbulkan konflik-konflik dalam kehidupan.
Dalam konteks ini pula ajaran agama Hindu menganjurkan agar setiap umat mampu menjadi orang yang bijak denga ilmu pengetahuan (Krta widya). Setiap umat wajib untuk menuntut berbagai pengetahuan, lebih-lebih ajaran agama, namun dalam proses belajar hendaknya menghindari belenggu-belenggu ahamkara (keegoisan) yang menyebabkan diri merasa sudah paling pintar. Pengetahuan hendaknya di payungi dengan kebijaksanaan (wiweka), dengan begitu sepintar apapun diri kita akan lebih mengutamakan rasa rendah hati, tidak dimabukkan dengan kepintaran yang dimiliki.
Oleh : I.B Wika Krishna
Pic: google image