BALI EXPRESS, DENPASAR – Sulinggih, sebelum melaksanakan kewajibannya sebagai pemuput upacara, wajib melaksanakan upacara Madiksa yang juga disebut dengan ‘Divya jnyana.’
Penulis keagamaan, I Nyoman Kanduk Supatra mengatakan, ‘Divya jnyana’ adalah upacara untuk dapat menerima sinar suci ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk melenyapkan kegelapan pikiran agar mencapai kesempurnaan.
“Prosesi ini merupakan salah satu bagian dari saptangga dharma, yaitu dengan cara menjalankan upacara agar dapat menunggalkan diri dengan Tuhan,” ujar I Nyoman Kanduk Supatra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Di Bali, lanjutnya, proses inisiasi ini dilakukan dengan cara seda raga untuk mengetahui jalan ke nirwana atau swah loka sehingga bila jadi Sulinggih, nanti bisa menuntun atma-atma yang diupacarai dalam prosesi upacara ‘pitra yadnya’.
Diksa disebutkan berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata ‘di’’ dan ‘’ksa’.’’Di’’ artinya divya Jnyana atau sinar ilmu pengetahuan, sedangkan ‘’ksa’ artinya ksaya atau melenyapkan, menghilangkan. Dengan demikian ‘’diksa’’ artinya divya jnana atau sinar suci ilmu pengetahuan yang melenyapkan kegelapan atau kebodohan.
Prosesi ‘Mati Raga’ adalah sebuah prosesi yang wajib dilakukan oleh seorang diksa. Hal ini dilakukan ketika ia hendak menjadi seorang Brahmana. Upacara ini akan menyebabkan yang bersangkutan muncul untuk kedua kalinya sebagai seoarang Vipra, Muni atau Sulinggih, dan menyandang gelar kebrahmanaan. “Sebab, untuk berdiri sebagai seorang Brahmana, maka seseorang harus lahir keduakalinya dari rahim kesucian, yakni ilmu pengetahuan,” imbuhnya
Lebih lanjut dijelaskannya, mereka yang telah melakukan ritual ini, disebut telah melakukan Dwijati atau secara harfiah berarti lahir untuk kedua kalinya. Pertama lahir dari rahim ibu biologis, kemudian lahir kedua kalinya dari ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah untuk melebur segala kegelapan akibat kurangnya ilmu pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan menyucikan sukma sarira agar mampu menampung ilmu pengetahuan rohani. Prosesi ‘Mati Raga’ ini adalah bentuk usaha sadar yang dilakukan untuk membunuh semua musuh dalam manusia secara total, yakni Krodha (marah), Moha (bingung), Mada (mabuk).
Mabuk di sini berpusat pada sebuah pengertian yang luas. Mabuk karena nama baik, mabuk karena kekayaan, mabuk karena kekuatan, dan mabuk karena kepandaian jasmani. Seseorang yang telah melaksanakan upacara ‘mati raga’ ini adalah orang yang sudah benar-benar membinasakan musuh di dalam dirinya. “Maka, ketika lahir kedua kalinya, sifat mabuk tersebut sudah tidak ada sama sekali di dalam dirinya,” jelas Kanduk.
Jadi, seorang Brahmana tidak akan mudah terbakar emosi, tidak akan bingung oleh ilusi, dan tidak akan tinggi hati akibat musuh yang ada dalam dirinya. Dalam perjalanannya, prosesi ‘mati raga’ ini banyak sekali didasari atas teks, konteks, dan perjalanan leluhur manusia zaman dahulu. Dalam Kitab Wana Parwa (kitab ketiga dari 18 Parwa Mahabrata), seoarang Yaksa pernah bertanya kepada Yudistira di tepi Danau Manasa Sarovara. Yaksa tersebut adalah penjelmaan Sang Hyang Dharma.
Petanyaannya? “Dengan apa seseorang mencapai kelahiran yang kedua? Maharaja Yudistira kemudian menjawab, melalui pertapaan, maka seseoarang akan mencapai kelahiran kedua.”
Kontekstasinya, di mana kata pertapaan memiliki makna sebuah pengendalian diri dan ketaatan kita kepada sebuah Sadhana (disiplin rohani). Tanpa adanya pertapaan, maka ritual ‘mati raga’ hanya sebuah prosesi seremonial semata, tanpa makna dan hambar spiritual. Pertapaan yang paling utama adalah pengendalian pikiran, sebab pikiran adalah Raja Indria. Pikiranlah yang mengontrol semua kerja indra jasmani manusia bagaikan tali kekang dalam sebuah kereta kuda.
Pertapaan bukan hanya berarti bertapa untuk tidak makan dan tidak minum, melainkan juga tidak berbicara, tidak berbohong dan tidak terpikat akan kenikmatan sensual, serta senantiasa berpusat penuh pada realisasi Brahman. Hal inilah yang sangat sulit untuk dilakukan. Siapa yang telah berhasil mengalahkannya, dialah yang telah berhasil dalam tapa dan terlahir untuk kedua kalinya.
Dalam sesana pinandita disebutkan bahwa madiksa sebagai suatu upacara umat Hindu dipimpin oleh seorang Pedanda Nabe untuk meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan, karena lewat kesucian diri itulah manusia dapat berhubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada beberapa gelar kebrahmanaan, yakni, Ida Pedanda, Ida Pandita Mpu, Bhagawan, Sri Mpu, dan lain sebagainya tergantung dari soroh atau trah masing-masing.
Seseorang yang telah melaksanakan upacara Madiksa, berkewajiban agar setiap hari menyucikan diri dengan melakukan puja Parikrama atau Surya Sewana. “Mengenai waktunya adalah pagi, siang, dan sore hari. Maka dari itulah sang diksita atau wiku tidak kena cuntaka dan juga tidak nyuntakain. Kecuali wiku wanita yang sedang dalam keadaan haid,” tutup Kanduk.
(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber