BALI EXPRESS, DENPASAR – Jika ke Bali dan melewati persawahan, akan melihat di hamparan petak sawah yang menguning dengan ikatan kain atau kertas, bahkan plastik warna-warni. Dan, Anda juga akan melihat orang-orangan sawah yang terangguk-angguk ditiup angin.
Di Bali, orang-orangan sawah yang juga dinamai memedi sawah disebut Lelakut, digunakan untuk menakut-nakuti burung pipit yang suka memakan biji padi. “Namun, Lelakut yang telah diberi mantra dan sesaji khusus, juga berfungsi sebagai alat penolak bala, menjaga agar sawah dijauhi dari gangguan orang yang ingin berbuat tidak baik. Misalnya, menjauhi sawah dari gangguan leak (ilmu tenung) atau orang-orang yang iri pada si pemilik sawah.” Ujar Ketua Majelis Subak Kota Denpasar, Wayan Jelantik kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (15/20.
Lebih lanjut dijelaskan Jelantik, bagi kalangan petani mungkin Lelakut ini sudah tidak asing lagi. Tetapi masyarakat umum, lanjutnya, apalagi generasi muda tak tahu banyak tentang Lelakut. “Ini merupakan suatu bentuk kreativitas petani dan penghormatan terhadap warisan budaya leluhur yang harus terus dilestarikan, sehingga nantinya para generasi muda tidak kehilangan salah satu warisan budaya yang sarat dengan makna dan filosofi ini,” terangnya.
Lelakut yang dibuat dengan bahan pilihan dan telah diisi mantra dan sesaji, biasanya sangat ampuh untuk menangkal ilmu hitam. Tetapi sekarang, lelakut yang berfungsi sebagai penolak bala sangat jarang bisa ditemui. Karena tidak banyak petani yang mengerti tata cara membuat lelakut bertuah, lengkap dengan mantra dan sesajinya.
Kini, Lelakut dibuat sekadarnya saja, agar sawah ramai dan burung-burung tidak berani mendekat. Dengan memadukan tradisi dan seni, Lelakut dapat dibuat lebih menarik, bukan sekadar menakut-nakuti burung. Lebih dari itu, akan membuat indahnya pemandangan bagi masyarakat yang sedang melewati sawah .
Biasanya, Lelakut dibuat menggunakan bahan jerami kering yang dianyam dan dibentuk menjadi orang-orangan. Boneka jerami itu kemudian diberi baju bekas, agar mirip orang sungguhan. Lelakut juga bisa dibuat dengan menggunakan batang pelepah kelapa yang sudah kering. Daun-daun kelapa kering yang masih melekat pada pelepah dianyam menjadi tangan yang terentang agar nampak seperti orang yang sedang mengusir burung.
Lelakut juga perlu dibuatkan kepala. Petani yang tidak mau repot biasanya membuat kepala Lelakut dari jerami yang dibentuk bulat dan dihiasi dengan rambut dari ijuk. Dulu, kepala Lelakut dibuat dari pongpongan (batok kelapa busuk) yang digambari kedok wajah. Gambar kedok wajah Lelakut pun bermacam-macam. Ada yang menyerupai orang, raksasa, wajah-wajah lucu dengan gigi-gigi yang menonjol keluar. Itu semua tergantung pada kreasi dari petani sendiri.
Warna yang dipakai untuk menggambari kedok wajah biasanya warna-warna yang didapat dari alam, yakni arang atau mangsi (bekas asap pelita) untuk warna hitam, kapur untuk warna putih, kapur dicampur kunyit untuk warna merah, dan kunyit untuk membuat warna kuning.
Untuk membuat kedok wajah Lelakut yang menyeramkan, biasanya petani mewarnai batok kelapa kering itu dengan warna dasar putih yang dibuat dari campuran kapur, air dan sedikit lem kanji sebagai perekat warna. Warna dasar putih itu kemudian digambari mata, alis, hidung, mulut, gigi dengan warna hitam, merah atau kuning. “Wajah Lelakut akan nampak sangat gaib dan menyeramkan ,” ujarnya.
Kepala Lelakut juga perlu diberi topi agar burung-burung menyangka sosok itu benar-benar manusia. Kukusan (pengukus nasi) bekas atau caping (topi khas petani) yang tak terpakai sering digunakan untuk topi Lelakut. Namun, petani memang terkadang suka iseng. Pernah Lelakut dibuat mengenakan topi Korpri (korp pegawai negeri), baret tentara, atau topi polisi yang sudah tak terpakai. Entah dari mana petani petani itu mendapatkannya. Mungkin saja memungut di tempat sampah.
Selain untuk menakut-nakuti burung, Lelakut juga bisa dipakai alat untuk menolak bala, yaitu menangkal kekuatan gaib yang bersifat negatif. Lelakut untuk penolak bala ini, saat dipasang di sawah dibekali dengan sesaji dan mantra agar kekuatan magisnya bangkit.
Dikatakannya, peranan hari dalam mencari bahan, membuat dan memasang Lelakut, juga sangat berpengaruh terhadap tuah atau kekuatan magis yang dimunculkannya. Bagi orang Bali, rahinan (hari penting) Kajeng Kliwon merupakan hari yang paling keramat dan mengandung aura magis yang sangat kuat. Orang Bali selalu mengidentikkan Kajeng Kliwon sebagai hari yang sangat bagus untuk belajar kebatinan, belajar ilmu leak, membuat atau ‘menghidupkan’ jimat dengan kekuatan mantra, dan segala sesuatu yang berbau mistik. Untuk memunculkan daya magisnya, Lelakut perlu ‘dihidupkan’ dengan sesaji dan mantra.
Mantra dan sesaji juga penting untuk menjaga agar sawah tidak diganggu maling, leak atau orang yang bermaksud tidak baik. Apabila burung-burung telah berhasil diusir dengan Lelakut, maka bersamaan dengan upacara menyimpan padi di lumbung, juga perlu menghaturkan sesaji ke hadapan Sang Hyang Sepuh dan Sang Hyang Pemunah Sakti yang diyakini sebagai dewa (kekuatan) penjaga sawah dan padi. “Sesaji itu dihaturkan di tugu yang dibangun di tengah sawah, sebagai ungkapan rasa terima kasih petani karena padi terhindarkan dari hama burung,” tutup Jelantik.
(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber