BALI EXPRESS, SINGARAJA – Upacara Pawiwahan sangat disakralkan di Bali. Sebab, cikal bakal kehidupan dimulai dari sebuah pawiwahan yang bertujuan untuk mendapatakan keturunan yang suputra. Jadi, jangan salah menentukan momennya.
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata Pawiwahan berasal dari kata dasar wiwaha. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan kata Wiwaha berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti pesta pernikahan, perkawinan atau dalam Bahasa Bali disebut Nganten.
Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram, yaitu masa menjalani kehidupan berumah tangga yang wajib dijalani.
Agar prosesi Pawiwahan berjalan lancar, wajib hukumnya harus memperhatikan padewasan (hari baik). Padewasan yang ditentukan berdasarkan wariga. Bahkan, penentuan hari baik untuk pelaksanaan Pawiwahan ditentukan oleh berbagai unsur.
Menurut Penyusun Kalender Bali, Gede Marayana, penentuan dewasa Pawiwahan didasari oleh perhitungan berbagai unsur. Di antaranya wewaran, pawukon, tanggal, sasih, dan dauh. “Artinya wewaran harus baik, pawukon harus baik, tanggalnya juga baik, sasih harus baik dan dauhnya juga baik,” ujar Gede Marayana kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.
Wewaran yang baik dikatakan Gede Marayana adalah menitikberatkan pada saptawara (hari-hari dalam seminggu). Di antara saptawara yang dipilih di antaranya Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. “Itu mengandung unsur kebaikan,” tegasnya.
Sedangkan perhitungan pawukon yang wajib dihindari jika ingin menggelar upacara Pawiwahan adalah Ingkel Wong, Was Panganten, Rangda Tiga, Nguncal Balung, dan paling dihindari adalah Wuku Wayang. “Itu wajib dihindari. Apalagi Wuku Wayang dianggap cemer (kotor),” kata pria pensiunan pegawai Dinas PU ini.
Rangda Tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saat Rangda Tiga, perkawinan bisa berakhir dengan perceraian. “Rangda itu artinya janda atau duda. Rangda Tiga artinya tiga kali menjadi janda atau duda. Artinya pernikahan akan selalu gagal,” kata Marayana.
Kemudian Was Panganten merupakan hari-hari tertentu seperti Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku Menail serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.
Sedangkan Nguncal Balung, yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan. Marayana menegaskan, pada hari itu, umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngawangun seperti ngaben dan pernikahan.
Begitupun dengan Ingkel Wong artinya hari-hari naas bagi manusia. “Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan” imbuhnya.
Lebih lanjut, Gede Marayana menjelaskan, tanggal yang dianggap baik dalam melaksanakan upacara pernikahan adalah tanggal 1, 2, 3, 5,7, 10, dan 13. Deretan tanggal tersebut, lanjut Marayana, merupakan tanggal yang direkomendasikan saat puncak prosesi upacara perkawinan digelar. “Selain tanggal itu jangan. Sebisanya diabaikan,” pungkasnya.
Selain itu, perhitungan sasih tidak boleh diabaikan dalam menentukan hari baik melaksanakan upacara perkawinan. Disebutkan Marayana, dari 12 sasih dalam setahun, umat Hindu di Bali meyakini pelaksanaan upacara panca yadnya hanya boleh dilaksanakan dari Sasih Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kaulu, Kasanga, dan Kadasa. Sedangkan untuk Sasih Jyestha dan Sadha dikatakan sasih sebel, sehingga dihindari untuk menggelar upacara panca yadnya, termasuk Pawiwahan.
Tetapi untuk melaksanakan Pawiwahan, sasih yang direkomendasikan adalah Sasih Katiga, Kapat, Kalima, Kapitu, dan Kadasa. “Sasih Katiga itu bulan Agustus-September, Kapat itu bulan September-Oktober, Sasih Kalima adalah Oktober-November, Sasih Kapitu Desember-Januari, dan Sasih Kadasa antara bulan Maret-April, ” beber Marayana.
Konkritnya, untuk di tahun 2018, Marayana merinci ada beberapa tanggal yang direkomendasikan untuk melaksanakan upacara Pawiwahan. Sebut saja di bulan Maret, yang merupakan Sasih Kedasa. Tanggal yang direkomendasikan adalah 10, 13, 26, dan 29 Maret.
Kemudian di bulan Agustus atau Sasih Katiga, tanggal yang bagus untuk melaksanakan Pawiwahan adalah tanggal 5, 13, 16, dan 24. Selanjutnya, dewasa ayu menggelar Pawiwahan di bulan September atau Sasih Kapat juga bisa ditemukan pada tanggal 1, 3, 10, dan 12 September.
Nah, jumlah padewasan paling banyak justru ditemukan di pengujung tahun 2018, yakni di bulan Desember. Menurut Marayana, pada Sasih Kapitu ini ada delapan tanggal yang tepat untuk melaksanakan Pawiwahan, yakni tanggal 3, 7, 10, 12, 13, 14, 17, dan 20 Desember.
Namun, Marayana kembali menegaskan, jika tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. “Nanti akan menyesuaikan jika ada hal-hal yang sifatnya sangat mendesak. Kembali ke iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu), ” tutupnya.
(bx/dik/yes/JPR) –sumber