BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat Bali (Hindu) sangat lekat dengan bebantenan. Banten dikatakan sebagai prasarana dalam mewujudkan bhakti ke pada Tuhan. Benarkah?
Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba memaparkan, banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banten, lanjut sulinggih
dari Griya Agung Siwa Gni Manuaba ini, merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti karena telah dilimpahi wara nugeraha.
“Secara mendasar banten dalam agama Hindu juga adalah bahasa agama. Karena sesungguhnya, banten itu hanya salah satu dari sekian banyak cara untuk berkomunikasi dengan sang pencipta. Bukan berarti tidak penting, itu cukup penting hanya saja itu lebih seperti bahasa agama,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Menurutnya, ada dua buah lontar yang dapat menjadi acuan dalam menelaah makna dari bebantenan, yaitu Lontar Yajña PrakrtI dan Lontar Tegesing Sarwa Banten. Dalam lontar Tegesing Sarwa Banten dikatakan, banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang.
Artinya, banten itu adalah buah pemikiran yang lengkap dan bersih.
Sedangkan dalam lontar Yajña PrakrtI disebutkan :
Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana.
Maksudnya, semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung atau alam semesta.
(bx/tya/bay/yes/JPR) –sumber