Jika melihat umat Hindu selesai melakukan persembahyangan pasti terlihat ada beras tertempel pada dahi terlihat bunga pada telinga(laki-laki) dan pada rambut (wanita). Apa artinya? Setiap akhir dari prosesi persembahyangan ada istilah metirtha, mesekar dan mebija, ketiganya mempunya makna yang sangat penting bagi umat Hindu. Karenanya sebelum melakukan persembahyangan diperlukan perlengkapan/sarana sembahyang. Sarana atau perlengkapan sebelum melakukan persembahyangan antara lain:
➡Air (Toya)
➡Api (dupa)
➡Bunga (sekar)
➡Kewangen
➡Kalpika (kartika)
AIR (Toya)
Air merupakan sarana sembahyang yang penting. Ada 2 jenis air yang dipakai pada saat akan sembahyang yaitu:Air untuk membersihkan mulut dan tangan dan air yang nantinya berfungsi sebagai tirtha. Beberapa orang juga menyebutnya dengan Toya. Tirta adalah air yang telah disucikan. kesuciannya bisa diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang berwenang(pandita dll) atau dengan mengambil disuatu tempat dengan disertai ritual keagamaan(wangsuhpada).
Dilihat dari manfaat ada 3 jenis tirtha:
Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan,alat upacara atau diri seseorang. Tirta ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha pengelukatan,perbesihan atau parayascita.biasanya dicipratkan tika kali yang mengandung arti sebagai simbol pensucian yang meliputi:awal,tengah dan akhir.
Tirta yang digunakan untuk penyelesaian dalam upacara persembahyangan. Umumnya tirtha ini dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat suci tersebut. Istilah lain tirtha ini adalah wangsuhpada. Selain dicipratkan(maketis)di kepala(ubun-ubun) juga diminum tiga kali sebagai simbol pensucian bathin,lalu meraup(mencuci muka)tiga kali sebagai simbol pensucian terhadap lahir.
Tirtha yang dimanfaatkan untuk penyelesaian upacara kematian. misalnya: Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas.
Didalam Weda Parikrama dan Surya Suwana dijelaskan, maksud dari pemakaian tirta itu adalah sebagai pensucian secara lahiriah dan rohaniah(lahir dibersihkan dengan air, bathin/rohani dibersihkan dengan kesucian tirtha.
API (Dupa)
Secara kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum, Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lambang Dewa Agni yang berfungsi:
🔥sebagai pendeta pemimpin upacara
perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja(manusia dengan Tuhan)
sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat.
🔥sebagai saksi upacara
Api mempunyai peranan yang penting dalam upacara-upacara agama Hindu. Setiap upacara didahului dengan menyalakan api, baik api dalam arti biasa, maupun api yang ada dalam sendiri. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat-sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai fungsi:
Panas api meresap kesegala arah baik air,tanah,udara tumbuh-tumbuhan ataupun mahkluk hidup lainnya. Demikian pula asapnya dapat terangkat sendiri ke angkasa memancarkan sinar yang putih berkilauan, menyebar kesegala penjuru.
Sifat-sifat demikian menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit,manusia dengan Tuhan,sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan. Sinar cahayanya memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai penerangan disetiap kegelapan. Nyalanya yang berkobar-kobar akan membakar apapun yang dilemparkan kepadanya sehingga dianggap sebagai pembasmi noda,malapetaka dan penderitaan.
Api dengan sebutan sebagai Dewa Agni adalah Dewa atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat, dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap sebagai saksi dalam kehidupan.
Api selalu dinyalakan dalam rumah tangga sehingga disebut Grhapati yang artinya pimpinan atau raja dalam rumah tangga.
Dalam Reg Weda dan Sama Weda api memiliki peranan:
🔥Api adalah pengantar upacara, penghubung manusia dengan Brahman. (Regweda X, 80 : 4)
🔥Api (Agni) adalah Dewa pengusir Raksasa dan membakar habis semua mala dan dijadikannya suci. (Regweda VII 15 : 10)
🔥Hanya Agni (api) pimpinan upacara Yajna yang sejati menurut weda. (Regweda VIII 15 : 2)
Ada 3 bentuk api yang digunakan dalam upacara agama Hindu:
Dupa, adalah api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini adalah asep ataupun sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wangi-wangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
Dipa, adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang benderang. Misalnya api dari lilin,lampu dan sejenisnya. Saat ini listrik juga termasuk sebagai salah satu Dipa.
Obor, adalah api dengan nyala yang besar berkobar-kobar termasuk jenis ini adalah obor dari perapak(daun kelapa tua),tombrog(obor dari bambu) dan sebagainnya.
BUNGA (Sekar)
Sarana persembahyangan selanjutnya adalah Bunga. Bunga mempunyai dua fungsi penting dalam agama Hindu yaitu sebagai simbol Tuhan(Dewa Siwa) dan sebagai sarana persembahyangan semata. Sebagai simbol Tuhan, bunga diletakkan tersembul pada unjung kedua telapak tangan yang dicakupkan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah, bunga biasanya ditajukkan diatas kepala(rambut) atau disumpangkan ditelinga.
Sebagai sarana persembahyangan bunga dipakai untuk mengisi upacara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Bagi umat Hindu, bunga dipakai untuk menunjukkan kesucian hati untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa serta sinar suci-Nya,para leluhur dan para Rsi.
Warna-warna yang umum digunakan dalam persembahyangan antara lain:
🌺 Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara, memiliki kekuatan seperti badjra,memancarkan sinar berwarna putih(netral).
🌺 Bunga berwarna merah, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Brahma, memiliki kekuatan seperti gada memancarkan sinar berwarna merah.
🌺 Bunga berwarna hitam, biasanya diganti dengan bunga berwarna biru, atau hijau. Dipakai untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Wisnu, memiliki senjata cakra dan memancarkan sinar berwarna hitam.
🌺 Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Mahadewa yang memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga berwarna kuning biasanya digabungkan dengan kewangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna kuning.
KEWANGEN
Bagi umat Hindu khususnya di Bali, kewangen merupakan perlengkapan sembahyang yang penting. Terutama kalau bersembahyang mengikuti puja pinandita. Dari puja pengantarnya dapat diketahui bahwa kewangen dipakai untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam wujud Pradana Purusha Ardanareswari dan pemberi anugerah.
Kewangen dibuat dari daun pisang atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen, bunga, uang kepeng dan porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga bila digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya dan satu bagian lagi tampak bagian punggungnya.
KALPIKA/KARTIKA
Kalpika/Kartika adalah salah satu perlengkapan yang selalu dipergunakan oleh para Sulinggih dalam penyelesaian upacara, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Kartika dibuat dari sehelai daun kembang sepatu dan bunganya yang berwarna merah dan bunga jepun(kamboja) yang berwarna putih. Cara membuat kartika/kalpika; daun kembang sepatu dilipat sedemikian rupa sehingga membentuk segi empat belah ketupat,membungkus bunga jepun dan kembang sepatu.
Ditinjau dari warna kalpika melambangkan Tri Murti; warna hijau/hitam melambangka Wisnu, warna merah melambangkan Brahma dan warna putih melambangkan Siwa.
Didalam salah satu puja Surya Sewana disebutkan:
KALPIKA MIJIL SAKING BRAHMA, VIJA MIJIL SAKING WISNU, GANDA MIJIL SAKING ISWARA
Hal ini sesuai dengan bentuk Kalpika yaitu segi empat yang disebut Brahma Bhaga, pada bentuk linga(segi delapan)disebut Wisnu Bhaga, dan palus disebut Siwa Bhaga.
Bagi para sulinggih kalpika/kartika memegang peranan penting sebab dipakai sebagai pengganti tunjung(bunga teratai)untuk menurunkan(nuntun)paratma(atma).
WIJA (Bija)
Sarana persembahyangan yang lain adalah Wija/Bija, disebut pula Gandaksata, berasal dari kata ganda dan aksata, artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi. Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan.
Oleh karena itu hendaknya dipergunakan beras yang utuh/tidak patah, dicuci bersih kemudian dicampur dengan wangi-wangian, misalnya: air cendana serta bunga yang harum. Bija dianggap sebagai simbul benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanareswari/Purusa-Pradana. Pemakaiannya hampir sama, dengan tirtha yaitu ditaburkan pada bangunan yang dipergunakan dalam suatu upacara sebagai simbol penaburan benih yang suci yang akan memberikan kesucian. Ini biasanya dilakukan sebelum persembahyangan atau upacara keagamaan yang lainnya.
Sehabis sembahyang umat Hindu selalu mengenakan Wija/Bija, umumnya penggunaaan bija:
Diletakkan diantara kedua kening(disebut Cudamani). Penempatan wija/bija disini diharapkan menumbuhkan dan memberikan sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
Diletakkan di tengah-tengah dada sebagai simbol pensucian dan mendapat kebahagiaan.
Ditelan sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Wija atau Bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija/Mabija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta. –sumber