Keangkeran kuburan (setra) di Bali menjadi sebuah misteri yang berkembang dari dulu hingga kini. Dalam keyakinan Hindu, tidak hanya di pura akan tetapi di kuburan pun ada dewa yang berstana serta berbagai pengikutnya.
Pada salah satu lontar yakni Lontar Andhabhuwana menyebutkan asal muasal keberadaan Dewi Uma berubah menjadi Dewi Durga (penguasa kuburan) disebabkan karena mendapat kutukan Dewa Siwa. Kutukan tersebut menyebabkan Dewi Uma yang bergelar Dewi Durga tinggal menetap di dunia dan akan kembali ke Siwa Loka setelah disucikan.
Kisah itu berawal saat Bhatara Siwa menyuruh Dewi Uma mencari susu yang tugasnya cukup berat untuk dilakukan. Dalam memperoleh susu, Dewi Uma harus merelakan diri untuk melayani si pengembala. Ketika telah mendapatkan susu dan kembali ke Khayangan untuk menyerahkannya kepada Dewa Siwa, Dewi Uma melakukan kebohongan. Ia tidak menyebutkan asal muasal dimana susu itu diperolehnya.
Namun, dengan tenung Aji saraswati Dewa Ganesha membeberkan kebohongan yang dialakukan ibunya terkait asal-usul dimana memperoleh susu. Mendengar penjelasan Dewa Ganesha seketika tenung Aji Saraswati dilenyapkan menjadi abu oleh api kemarahan Dewi Uma. Melihat ulah Dewi Uma yang telah berani membakar tenung Aji Saraswati dan berusaha berbohong dalam memperoleh susu menimbulkan kemarahan bagi Dewa Siwa. Saat itulah kemudian Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjelma menjadi Dewi Durga.
Setelah dikutuk untuk turun kedunia, Dew
i Durga berstana sebagai dewa penguasa kuburan yang diikuti oleh 108 Bhuta-Bhuti. Tugas dari Dewa Durga dan 108 pengikutnya adalah menebar penyakit, menciptakan kekeringan, kebencanaan di dunia. Akan tetapi yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia yang lupa untuk berbhakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
Penyakit dan segala kebencanaan yang diciptakan oleh Dewi Durga dan pengikutnya bertujuan untuk menyadarkan manusia untuk selalu ingat dan berbhakati kepada Tuhan. Sebagai cara untuk mengurangi gangguan yang ditimbulkan oleh kekuatan Dewi Durga dan pengikutnya dilakukan dengan mempersembahkan butha yadnya —sumber