Alam Semesta Menurut Hindu (Bhagawan Dwija)

Kehidupan pemeluk Hindu menyatu dengan alam, karena:

1. Filosofi: Trihita-karana (tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan): hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).

Bila salah satu keharmonisan itu hilang/ terganggu maka hidup manusia akan sulit/ tidak bahagia. Karena itu umat Hindu selalu berusaha menjaga keharmonisan/ keseimbangan ketiga hal itu.

3. Filosofi tentang bhuwana-agung (alam semesta) dan bhuwana-alit (tubuh manusia) yang mempunyai unsur-unsur yang sama, disebut Panca Mahabhuta (lima unsur alam semesta utama), yaitu:

NO. UNSUR BHUWANA AGUNG BHUWANA ALIT
1. Pertiwi tanah tulang dan daging
2. Apah air hujan, danau, sungai, laut darah, kencing, kelenjar
3. Bayu angin paru-paru/ rongga perut
4. Teja matahari suhu badan, sinar mata
5. Akasa angkasa rambut, kuku, urat saraf, 9 buah lubang: mata (2), hidung (2), telinga (2), mulut (1), dubur (1), kelamin (1)

KESIMPULAN

  1. Tubuh manusia berasal dari alam semesta, maka jika kita mencintai tubuh kita maka logis mencintai alam semesta juga.
  2. Tuhan (Sanghyang Widhi) menciptakan tubuh manusia dari kekuatan alam. Kekuatan-Nya itu disebut sebagai: Kandapat dan Nyama Bajang.
  3. Bila roh tidak lagi memerlukan tubuh (karena meninggal dunia) maka tubuh wajib dikembalikan ke alam semesta dalam keadaan suci dan mulus, melalui upacara pembakaran mayat/ ngaben (mengembalikan unsur: pertiwi, bayu, teja, akasa).

Dengan demikian, maka 4 unsur Panca Mahabhuta kembali ke asalnya masing-masing.

Di India dan Nepal, tempat pembakaran mayat selalu berada di pinggir sungai: Gangga, Yamuna, Pasupatinath, dll. maka abunya di hanyut ke sungai sebagai kelengkapan mengembalikan panca mahabhuta ke-5, yaitu ‘apah’

Di Bali, setelah membakar mayat, maka abunya dihanyut ke laut dengan maksud:

  1. Mengembalikan unsur ‘apah’
  2. Memohon kesucian sapta gangga (tujuh sungai suci di India: gangga, sindu, (sarasvati), yamuna, godavari, narmada, kaveri, sarayu.

Oleh karena kita di Bali tidak mungkin pergi ke India untuk nganyut abu di sungai gangga, dan karena ke-tujuh sungai suci itu telah bermuara ke laut Hindia, dan laut itu menyatu di seluruh dunia, maka para Maha-Rsi di Bali sejak abad ke-6 ‘memandang’ bahwa air laut sudah mengandung unsur-unsur sapta gangga. Maka kita cukup menganyut abu ke laut di mana saja (di Bali atau di luar Bali).

Bila lokasi jauh dari laut, boleh juga nganyut ke sungai, dengan pengertian bahwa abu di sungai toh akan sampai/ bermuara pula ke laut. –sumber