Dulu di desa-desa Bali aga tidak ada sanggah kamulan atau pura di rumah. Keberadaan sanggah kamulan berkembang setelah hadirnya rumah modern. Hal itu terjadi karena rumah Bali kuno di desa-desa menggunakan model pondok seka roras, yaitu rumah yang bertiang 12.
Berbeda dengan masyarakat Bali selatan, hampir semua rumah memiliki sanggah kamulan atau lebih umum disebut sanggah. Lebih-lebih rumah yang menggunakan konsep ‘bale agung’ atau umah gede. Dimana pada rumah ini memiliki banyak bale atau bangunan, seperti bale daja, bale dauh, bale delod, bale dangin, dan bangunan pelengkap lainnya.
Sepintas kita melihat perbedaan yang sangat mencolok, seolah-olah konsep rumah masyarakat Bali Aga tak sesuai aturan. Akan tetapi ketika kita telaah ternyata esensinya sama saja. Pondok seka roras yang dikenal dalam masyarakat Bali merupakan miniatur dari umah gede. Dalam rumah seka roras ini terdapat ambe (di selatan), peluangan (halaman rumah di dalam ruangan), bedawan (bedauhan/barat), patokan (pusat/tengah), bedanginan (timur), dan pawan atau paon (dapur).
Menariknya, meskipun dapur di dalam rumah berbahan serba kayu, beratapkan ‘belu’ (sejenis ilalang), maupun bilahan bambu, akan tetapi jarang sekali terjadi kebakaran. Demikian pula tembok bangunannya, meski bahannya dari ‘keladang’ tanpa perekat semen, hanya menggunakan tanah merah, namun temboknya mampu bertahan puluhan tahun, padahal jika sengaja didorong mudah sekali roboh.
Diantara beberapa ruangan dalam rumah seka roras, bedanginan dianggap sebagai ruangan sakral, dikeramatkan, didalamnya terdapat tempat suci disebut planggatan, katanya di Bali timur disebut Kajan. Planggatan inilah dianggap sebagai ‘pura’ di rumah. Akan tetapi, meski dianggap tempat suci, fungsinya tidak sama dengan sanggah Kamulan, hanya berfungsi sebagai pengayingan. Hanya upacara kecil saja yang boleh dilakukan di planggatan. Sedangkan sanggah kamulan fungsi utamanya sebagai pemujaan kepada leluhur, terutama di gedong rong telu. Bilamana sebuah keluarga akan melaksanakan upacara besar maka seseorang membuat Sanggar Surya berbahan bambu.
Oleh karena tidak ada rong telu tempat stana leluhur di planggatan maka masyarakat yang memiliki atau mewarisi konsep rumah sekaa roras memiliki palinggih atau pesimpangan dewa Hyang, fungsi dan bentuknya hampir sama dengan sanggah kamulan. Bedanya, palinggih dewa hyang diempon oleh banyak orang (kurang lebih 20-50 kk), sedangkan sanggah kamulan hanya diempon oleh satu keluarga atau orang yang tinggal menetap dalam rumah bersangkutan.
Seiring perkembangan jaman, kini semakin banyak masyarakat Bali Aga ataupun masyarakat yang mewarisi konsep rumah seka roras sudah membangun sanggah kamulan di masing-masing rumah atau setidaknya memiliki pelingih Dewa Raksa dan Kala Raksa apabila bangunan rumahnya tidak lagi berbentk seka roras (saka roras). Melihat fungsi sanggah kamulan dan palinggih dewa hyang hampir sama, maka keluarga yang telah memiliki sanggah kamulan seharusnya tidak perlu lagi palinggih dewa hyang karena dewa hyang atau leluhur telah berstana di sanggah kamulan.
Bilamana setiap anggota pangempon dewa hyang sudah memiliki sanggah, idealnya palinggih dewa hyang dinaikan menjadi pura panti/pura ibu (paibon).
Keberadaan pondok seka roras era sekarang semakin termarjinalkan, dianggap kuno, milik orang miskin. Tak jarang si pemilik rumah seka roras menelantarkan rumah kuno ini, padahal rumah seka roras termasuk rumah keramat karena di dalamnya terdapat pelanggatan. Oleh sebab itu, apabila hendak menghancurkan rumah seka roras harus dibuatkan upacara atau banten pelebur, pangesengan dan pengayut karena menghancurkan rumah seka roras hampir sama dengan menghancurkan sanggah kamulan, dan tentunya si pemilik rumah seka roras yang sudah dihancurkan harus memiliki sanggah kamulan baru sebagai pengganti planggatan. Sebab, di planggatan tempat stana atma atau semua roh keluarga kita, kita-kita yang masih hidup maupun yang sudah meningal.
Tak sedikit masyarakat menderita penyakit aneh gara-gara menelantarkan rumah seka roras atau memposisikan rumah tersebut pada tempat yang tidak semestinya, seperti misalnya membangun bangunan baru di sebelah timur seka roras, membangun rumah baru di duur (atas) rumah seka roras. Akibatnya rumah seka roras menjadi leteh atau kotor, tentunya berakibat disharmoni dalam keluarga, seperti sakit-sakitan, rezeki mandeg/sret, dan lain sebagainya. —sumber