Bali, Banten, dan Santun

Salah satu kekhasan Bali adalah adanya banten (sesajen) yang begitu rumit kompleks tetapi juga sangat indah. Di balik banten ada berbagai makna filsafat atau tattwa yang menyertainya. Dan kata Bali sendiri memang berarti banten. Ada seorang raja di Bali di masa lalu bernama Astha Asura Ratna Bumi Banten, Raja yang dikalahkan oleh Gajah Mada dalam suatu ekspedisi yang dilakukan ke Bali.

Di dalam kitab suci Weda, banten disebut Wedya, sebuah istilah yang juga ditemui di Bali. Ida Pedanda Made Sidemen dalam salah satu tulisannya menyatakan: Bhrastang puja ya tan niwedya pagehen hilanga jana yan tan bhinojanan. (Hilanglah puja atau weda tanpa menegakkan wedya, seperti halnya manusia akan hilang kalau tanpa makanan). Jadi tak bisa dipisahkan antara Weda puja dengan wedya atau banten. Dalam ajaran Tantra disebut sebagai mantra dan yantra. Yantra atau dalam hal ini banten memang menjadikan mantra sebagai jiwanya. Itulah sebabnya yantra tak pula bisa dipisahkan dengan mantra.

Dalam kakawin Ramayana Sendiri telah disuratkan sebagai berikut: saji ning yajna ta umadang, sri-wreksa samiddha puspa gandha phala, dadhi ghreta kresnatila madhu, mwang kumbha kusagra wretti wetih. (Sesajen untuk yadnya telah disiapkan, kayu cendana, kayu bakar, bunga dan harum-haruman disertai buah-buahan; santan dan susu, biji hitam serta madu; priuk serta ujung alang-alang disertai tepung dan bertih). Tampak di sini berbagai benda yang diperlukan dalam upacara seperti yang juga masih tetap berlaku dewasa ini. Maka jelas bagi kita bahwa upakara banten mutlak diperlukan dalam setiap upacara yadnya. sehingga Weda, Puja atau Mantra mendapat tempatnya yang semestinya.

Lalu mengapa Bali disebut sebagai pulau banten? Karena di pulau kecil ini banten telah mendapat tempatnya yang baik, bersatu dengan Weda, Puja, Mantra, Sruti ataupun Sthawa. Banten lahir melewati jari jemari yang memusatkan pikiran dalam proses yoga kepada Hyang Maha Suci, mengolah isi bumi, isi laut, isi danau, hutan, sungai dan seterusnya. Mengolah semua habitat yang ada, semua spesies, binatang yang bertelor, beranak, berkaki dua, berkaki empat, pemangsa daging, pemakan rumput-rumputan, berwarna putih, merah, kuning, hitam, jingga, ungu, hijau dan sebagainya. Itu yang disebut sebagai sarwa prani, yang  akan memberikan prana atau energi kepada manusia. Sarwa prani lalu didoakan dan disucikan untuk menemui kerahayuan atau sarwa prani hita.

Dalam setiap upacara yadnya, di tengah-tengah banten dihadirkanlah santun atau daksina. Santun adalah bentuk upakara yang sedemikian rupa, hadir dengan bentuk yang bulat», dengan isinya serba bulat seperti kelapa, telor dan yang lain. Secara pisik santun adalah miniatur alam semesta yang terbangun oleh planet-planet yang berbentuk bulat. Maka santun dijadikan sebagai Sthana Hyang Maha Suci (Daksina palinggih), tetapi juga dijadikan punya kepada para pendeta atau oran-orang suci.

Demikianlah Bali membangun simbol-simbol penuh makna kesucian dan kesemestaan. Maka Bali telah melestarikan pemikiran Hindu yang dituangkan dalam kitab-kitab sucinya. Kesucian Bali memang perlu dijaga, karena ia dibangun atas dasar konsep kesucian padma bhuana, bunga suci yang dijadikan sthana Hyang Maha Suci.

Oleh: Ki Nirdon
Source: Warta Hindu Dharma NO. 534 Juni 2011

sumber