Bali yang Shanti

SEBUAH sarasehan yang membicarakan masalah mental orang Bali digelar di Denpasar, Sabtu yang lalu. Acara bertajuk “Reaktualisasi Mental Dasar Manusia Bali Menghadapi Tantangan Masa Depan Menuju Bali Shanti” ini diselenggarakan organisasi kemasyarakatan Swastika Bali. Saya menjadi pembicara yang pertama, menyusul Gde Pasek Suardika, Prof I Made Damriyasa dan I Putu Gede Mudarsa. Saya sudah menduga bahwa acara ini akan menjadi pengulangan dari berbagai diskusi dan pembicaraan selama satu dasa warsa terakhir ini.

Semua pembicara bahkan termasuk peserta tak bisa lepas dari fenomena yang sangat mengkhawatirkan terhadap Bali sekarang ini. Manusia Bali disebut-sebut hampir tak kuat menerima serangan dari berbagai budaya yang datang. Serangan itu begitu bertubi-tubi dari masalah budaya, agama, sosial ekonomi, lingkungan, dan sumber daya manusia. Dampak dari serangan itu yang secara kasat mata sudah bisa dilihat misalnya lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi perumahan, subak yang jauh berkurang karena airnya dipakai bukan untuk keperluan pertanian. Kemacetan di jalan-jalan karena terjadi urbanisasi penduduk desa menyerbu kota dan pendatang yang terus bertambah sementara moda transportasi tidak ada angkutan umum. Perekonomian Bali yang sudah dikuasai pendatang, bukan saja di kaki lima, tetapi di pasar-pasar tradisional. Sebagai contoh di Pasar Kreneng Denpasar jumlah pedagang non-Bali lebih banyak dibandingkan pedagang asli Bali.

Serangan juga masuk ke ranah yang bersinggungan dengan agama. Kesan orang luar bahwa Bali tidak lagi mayoritas beragama Hindu terlihat dari banyaknya warung-warung di pinggir jalan utama yang berlabelkan “warung muslim”. Suatu hal yang tak pernah ada di luar Bali jika warung berlabelkan identitas agama. Lalu sarana upacara ritual orang Bali tergantung pasokan dari luar Bali, terutama janur. Bukan hanya janur kelapa dari Jawa Timur, juga janur ibung dari Sulawesi. Begitu pula buah untuk sesajen. Sebenarnya buah Bali cukup untuk kebutuhan ritual, tetapi karena faktor gengsi dan ingin semuanya instan, buah yang dipakai gebogan ibu-ibu di Bali dibeli di pasar moderen untuk keindahan. Bahkan kemudian dicampur dengan minuman kaleng untuk membuat gebogan yang dihaturkan ke pura. Inilah menyangkut mental yang kian melemah pada manusia Bali yang mengemuka bekalangan ini.

Ketua Umum Swastika Bali, Wayan Bagiarta Negara, sangat berharap agar warga Bali melakukan instrospeksi (mulat sarira) atas fenomena semua ini. Ia mengharapkan, sarasehan dapat menghasilkan “output” berupa pemikiran tentang reaktualisasi mental dasar manusia Bali dalam menghadapi tantangan internal dan eksternal, guna menuju Bali shanti (damai) dan sejahtera.

Apa langkah kita menghadapi serangan ini? Pendapat yang mengemuka adalah kita harus bersikap bertahan, karena hanya itu yang bisa dilakukan. Kita belum sampai pada tahap untuk melawan karena berbagai masalah termasuk peraturan atau perundangan yang belum memadai. Dalam istilah anggota DPD wakil Bali, Gede Pasek Suardika, posisi manusia Bali saat ini memang diakui unggul dibidang intelektual, namun harus dibenahi dari sisi mental untuk berkompetisi dan bertarung dalam menghadapi kehidupan moderenisasi. Mental orang Bali harus diperkuat, orang Bali harus punya jiwa totalitas dan bekerja sama. Kerjasama itu masih kurang dan menurut Gde Pasek Suardika ini merupakan kelemahan orang Bali.

Saya melontarkan pendapat dalam sarasehan itu, salah satu faktor yang membuat berbagai ketimpangan di Bali adalah adanya otonomi di kabupaten sebagaimana yang berlaku secara nasional. Ini membuat kabupaten-kabupaten di Bali bak raja-raja kecil yang bisa mengolah aset-aset yang mereka miliki untuk kepentingan kabupaten itu sendiri. Cita-cita ideal Gubernur Bali Wayan Koster pada saat kampanye bahwa ingin mewujudkan Bali yang satu pulau, satu tata kelola menjadi omong kosong. Padahal cita-cita itu yang paling ideal karena Bali tergantung pada pariwisata. Kepariwisataan di Bali itu menyatu di seluruh pulau, turis datang ke segenap penjuru, bukan hanya ke satu kabupaten saja. Tetapi karena sarana hotel dan restoran terbanyak di Kabupaten Badung maka satu kabupaten yang kaya raya, kabupaten lainnya jadi miskin karena tak kecipratan pajak. Memang ada undang-undang yang menyebutkan, gubernur bisa membagi aset yang didapat dari pajak pariwisata, namun ada klausul jika itu mendapat kesepakatan. Kalau tidak disepakati, ya, tak ada apa-apanya.

Bagaimana mengatasi hal ini? Pernah ada gagasan membuat Bali menjadi otonomi khusus. Tetapi itu kandas karena persyaratan otonomi khusus seperti di Jakarta, hanya gubernur yang dipilih langsung sementara bupati dan walikota diangkat pemerintah serta DPRD di kabupaten/kota tidak ada. Apa ada elit Bali yang mau seperti itu. Bagaimana kalau menjadi daerah istimewa? Tidak ada kriteria yang dipenuhi. Aceh menjadi daerah istimewa karena faktor agama, sementara di Bali agama penduduknya sudah majemuk.

Sesungguhnya ada peluang yaitu melahirkan undang-undang khusus tentang Provinsi Bali yang kebetulan belum ada. RUU Provinsi Bali harus diperjuangkan ke DPR dan saya mengusulkan dalam naskah RUU itu agar otonomi di Bali disesuaikan dengan dunia pariwisata yang hasilnya untuk kesejahtraan warga Bali seluruhnya. Intinya adalah pajak pariwisata ditarik ke Provinsi Bali disertai dengan otonomi mengenai kesejahtraan sosial juga ditarik ke provinsi. Biarlah urusan kesejahtraan sosial seperti kesehatan, penanganan orang miskin, urusan orang lanjut usia diatur oleh provinsi bersamaan dengan pendapatan dari pajak pariwisata itu.

Tentang RUU Provinsi Bali ini ada informasi dari Gde Pasek, ternyata naskahnya pernah dibuat tahun 2015, tapi mandeg. Menurut Senator ini kebiasaan pejabat di Bali adalah begitu ada masalah langsung bereaksi, setelah tenang lupa lagi. Intinya adalah ternyata kita tak punya ‘cetak biru” bagaimana masa depan Bali akan dibawa. Ini betul, karena itu tantangan bagi ormas-ormas di Bali termasuk ormas Swastika Bali, bagaimana membantu Pemda Bali agar segera punya “cetak biru” mau dibawa kemana Bali ke depan? Jika tidak, kita akan terus mengulang-ulang pembicaraan yang sama, sementara keadaan sudah semakin memprihatinkan. Kapan Bali menjadi shanti jika begini terus.

(Dimuat Koran Pos Bali, Senin 17 Desember 2018) –sumber