Pak De Gresiuh adalah seorang PNS di lingkungan Pemda Bali yang setiap hari bolak-balik menuju kawasan Renon tempatnya bekerja. Ia dipromosikan menjadi pejabat di kantornya dan eselonnya naik. Tentu saja ini adalah berita gembira bagi Pak De Gresiuh beserta keluarganya. Singkat cerita, upacara pelantikan dan serah terima pun telah berlangsung. Keluarga semua menjadi senang karena Bapak naik pangkat, naik jabatan, naik gengsi, dan yang sudah pasti adalah gaji dan tunjangan juga naik. Pak De Gresiuh memulai hari-hari bahagianya sebagai seorang pejabat baru.
Ketika kegembiraan berlangsung, maka sudah hukumnya duka akan melintas juga. Ini adalah hukum Rwa Bhineda. Suatu pagi di kantornya, Pak De Gresiuh merasakan badannya lemas, kemudian pikirannya kurang fit alias kosong ditambah lagi terasa sakit di bagian pinggang sebelah kiri. Ia mencoba memeriksakannya ke dokter dan sempat rawat inap atas tanggungan pemerintah. Namun, penyakitnya belum menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.
Suatu hari berkunjunglah seorang teman Pak De Gresiuh yang bernama I Ketut Mauk. Ia menyarankan agar menempuh jalan alternatif sambil menunjukkan nama seorang balian sakti tan paingen (tak tertandingi), yang konon telah berhasil mengobati para pejabat daerah bahkan pejabat pusat. Demikian I Ketut Mauk mendesak dan sedikit mempromosikan balian saktinya itu.
Pak De Gresiuh tertarik dengan cerita tersebut dan bergegas untuk datang berobat ke sana. Singkat cerita, Sang balian menerima Pak De Gresiuh dengan ramah. Penampilan balian memang meyakinkan. Di rambutnya yang panjang terselip bunga pucuk bang, kamen putih, saput poleng, cincin di jari terkesan magis dan sakti, ditambah dengan kalung jimatnya. Suasana rumah juga kental dengan bau minyak serta berbagai benda-benda bertuah. Sang balian menyatakan telah menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan berbagai tingkat keparahan.
Dimulailah prosesi pendeteksian penyakit oleh sang balian sakti tersebut. Dengan konsentrasi penuh, sang balian mencoba mendalami dan mencari tahu penyakit Pak De Gresiuh. Balian sakti berkata halus kepada Pak De, “Penyakit ini sebenarnya sudah lama diderita, tetapi baru kelihatan. Ini bukanlah penyakit biasa, melainkan penyakit yang sudah ngelalah atau menyebar ke seluruh tubuh. Untung saja Pak De cepat datang ke sini. Ini adalah penyakit gegaen anak (amah leak). Rupanya keluarga dan teman kantor Pak De banyak yang iri dengan kedudukan Pak De. Pak De dikeroyok banyak orang”. Kata-kata sang balian itu sangat mengejutkan. Sesaat kemudian, sang balian sakti kembali berkata, “Walaupun sudah lama, tetapi tak usah khawatir. Semua ini bisa saya kendalikan”. Sang balian menyatakan kesanggupannya dengan nada agak sesumbar.
Sang balian sakti memberikan obat berupa minyak untuk dipakai setiap hari ketika menjelang tidur. Balian juga memberikan sebutir permata yang konon adalah mirah dan beberapa pelengkapnya sebagai jimat penjaga. Dengan nada basa-basi, sang balian mengatakan bahwa barang tersebut telah disimpannya sejak lama. “Kalau tidak Pak De yang datang ke sini, maka barang ini tidak saya berikan. Barang ini sangat sulit untuk dicari”. Demikian sang balian.
Pak De yakin dengan perkataan sang balian, sehingga menerima barang tersebut. Namun, perasaannya tidak enak. Maksudnya tidak enak memakai barang tersebut kalau tidak memberi imbalan. Secara berbisik, Pak De menanyakan berapa ia harus menghaturkan sesari (penghalusan untuk bahasa membayar). Sang balian menjawab dengan nada basa-basi pula. ”Ya, dipakai dulu. Kalau sudah baikan, besok atau dua hari dibicarakan”. Pak De pun mendesak dalam hal ini. Sang balian dengan nada basa-basi berkata lagi, ”Barang tersebut sebenarnya tidak saya jual, dan toh kalau dijual harganya puluhan juta rupiah. Namun untuk Pak De, lima belas juta saja”. Demikian bisikan sang balian. Pak De begitu terhibur dengan “kecap manis” (promosi) balian sakti.
Diceritakan pak De tertidur lelap di rumahnya ketika dating dari berobat. Mungkin karena kelelahan akibat perjalanan panjang menuju rumah balian tersebut. Keesokan harinya Pak De segera mengirimkan uang lima belas juta rupiah kepada sang balian melalui perantara I Ketut Mauk, teman dekatnya.
Keesokan harinya, penyakit Pak De kambuh lagi. Kembali dirinya mendatangi balian tersebut. Balian berkata, “Mungkin perlu waktu beberapa hari lagi, masalahnya obat yang kemarin belum nyusup atau menyerap ke seluruh tubuh”. Kemudian Pak De balik lagi setelah menghaturkan canang dengan sesari.
Dalam waktu beberapa hari setelah itu, penyakitnya tetap saja tak berkurang. Pak De datang lagi. “Mungkin perlu ditambah dengan obat dan jimat. Karena penyakitnya sudah berlangsung lama dan dikeroyok banyak orang, sehingga kekuatan penyakit sangat besar”, demikian sang balian memberikan penjelasan. Pak De pun pulang kembali setelah menghaturkan sesari pada sang balian.
Setelah beberapa lama Pak De tak sembuh-sembuh, ia menanyakan perkembangan penyakitnya kepada sang balian. Sang balian mencoba untuk menerawang, dan berkata lagi, “Rupanya ada ketidakberesan dalam pekarangan rumah Pak De. Nanti saya akan datang ke sana untuk membersihkan sumber penyakit yang sudah bersarang di pekarangan, bahkan di tempat tidur Pak De”.
Keesokan harinya, sang balian datang ke rumah Pak De dengan sendirinya pada sore hari. Ia mengecek pekarangan rumah Pak De yang mewah, sampai ke ruangan tempat tidur dengan menggunakan sebuah tongkat kecil. Hasil investigasi sang balian sakti, ternyata benda tersebut menunjuk ke sebuah sudut pekarangan Pak De yang konon terdapat tetaneman. Inilah yang konon juga ikut menggerogoti badan Pak De. Kemudian pada hari sandikala, sang balian menyuruh seseorang dari keluarga untuk menggali tanah di sekitar tempat tersebut. Dalam kedalaman setengah meter, terdapat benda yang dikatakannya sebagai tetaneman. Sang balian berkata bahwa benda seperti ini biasanya dikirim atau dibuat oleh orang lain yang bermaksud untuk menyakiti. Kemungkinan tersbesar melakukan ini adalah orang terdekat, yakni keluarga. Sudah dapat dipastikan, mereka akanlangsung terprovokasi dan menduga bahkan menuduh pelaku, tanpa ada bukti. Sudah mulai muncul kebencian keluarga Pak De terhadap saudara-saudaranya.
Begitu sang balian tuntas mengadakan pembersihan terhadap pekarangan rumah pasiennya, ia pulang dengan dibekali canangsari dan uang saku oleh keluarga Pak De. Namun, kepergian sang balian telah menanamkan rasa curiga dan kebencian dari keluarga Pak De terhadap saudara-saudaranya. Pak De juga menaruh curiga pada teman-teman sekantor yang dianggap saingan ketika mencapai karier jabatan. Akhir kata, hubungan dengan keluarga di rumah sudah cekcok, demikian juga dengan hubungan di kantor yang sudah tidak harmonis akibat dari mulut berbisa sang balian.
Penyakit Pak De tak kunjung sembuh, biaya sudah banyak habis, ditambah lagi cekcok dalam keluarga dan teman sekantor. Lengkaplah penyakit yang diderita oleh Pak De gara-gara menelan mentah-mentah omongan dari balian ngaku-ngaku sakti. Anak dan istrinya bingung, malu minta tolong kepada keluarga besarnya yang sudah dituduh menyakti Pak De, belum lagi teman sekantor sudah tidak simpati lagi. Dalam kegalauan tersebut, datang I Nyoman Sepan Sepan, saudara misan Pak De dari keluarga ibunya menjenguk. I Nyoman Sepan Sepan sudah mendengar permasalahan yang dihadapi oleh Pak De. I Nyoman Sepan Sepan walaupun ia seorang pengangguran dan tidak sekolah tinggi, tetapi ia masih mampu berpikir realistis ketimbang Pak De yang konon pejabat dengan pendidikan tinggi, tetapi kurang jernih dalam menghadapi masalah.
I Nyoman Sepan menyarankan untuk kembali ke dokter. Hasil lab. menunjukkan Pak De menderita penyakit saluran perkencingan kronis, sehingga perlu waktu untuk penyembuhan dan perlu kesabaran. Demikian kata dokter ahli yang memeriksa Pak De sambil secara diam-diam mengamati kondisi kejiwaannya. Dokter yang didatangi tersebut adalah dokter spesialis yang juga memiliki kemampuan mendeteksi secara psikologis. Dokter menyarankan agar Pak De Gresiuh bersabar menjalankan pengobatan, jangan berpikir macam-macam apalagi negatif thinking kepada orang lain, terlebih keluarga. “Sebenarnya Bapak ini tidak ada masalah, cuma dihinggapi rasa senang yang berlebihan, kemudian di satu pihak dihinggapi rasa khawatir yang lebih terhadap karier. Pak De mengalami depresi, sehingga penyakit mudah muncul. Untuk itu tetap bersabar, berdoa kepada Hyang Widhi, kemudian cobalah hidup seperti orang biasa. Sebab setinggi-tingginya jabatan tersebut sudah pasti akan kita tinggalkan dan semuanya akan kembali kehidupan yang biasa. Paling penting dan berharga untuk dipelajari adalah bagaimana menjadikan hidup ini seperti biasa. Seperti nabe agama Hindu yakni Bhagawan Byasa”, demikian nasihat sang dokter.
Atas penangan medis dari sang dokter ahli, ditambah dengan kemampuan psikologis tersebut, Pak De berangsur-angsur sembuh dengan gairah hidup baru, dan filosofis hidup baru. Ia menemukan jati diri sebagai manusia, menemukan hakikat hidup, tak ada beban lagi. Ia sembuh total secara fisik dan rohani.
I Nyoman Sepan Sepan kemudian berkata dalam hatinya, karena terdorong oleh nafsu duniawi, malah terjerumus ke dalam jurang yang gelap dan dalam. Pikiran tidak realistis lagi, terombang-ambing oleh isu serta omongan orang yang tak bertanggung jawab. Serta omongan beracun dari si balian yang ngaku sakti. Agar dikatakan ririh, sakti dan hebat, tak jarang si balian melakukan acting di depan pasiennya dan mengatakan sumber penyakit dibuat atau dilakukan oleh seseorang, dengan menyebut nama atau ciri dari yang bersangkutan. Padahal semua itu tidak pernah ia ketahui dengan sebenarnya. Banyak sekali yang sudah menjadi korban percekcokan dalam keluarga akibat bes nyadin munyin balian ane ngaku sakti (terlalu mempercayai omongan balian yang ngaku-ngaku sakti). Walaupun tak semua balian seperti itu.
Singkat cerita, Pak De Greisuh sembuh dalam beberapa waktu kemudian.
—————
* Fenomena krama Bali yang suka nyadin munyin balian. Mesti disaring dan dipilah dulu, tak usah ditelan mentah mentah.
* Hidup ini sudah susah, tak perlu dipersusah lagi dengan yang macam-macam. Lebih baik hormati keluarga dan nyama braya, bakti kepada widhi dan leluhur, serta selegang megae. Jeg pasti rahayu. Demikian grenggeng I belog di karang suwung. –sumber