Begini Makna dan Tujuan Banten Pawedangan dan Ajengan

BALI EXPRESS, DENPASAR – Pernahkah Anda memperhatikan orang tua kita sering kali menghaturkan banten kopi maupun Ajengan di Bale Delod ataupun di Sanggah? Kebiasaan tersebut bahkan tak hanya dilakukan pada hari hari tertentu, namun dilakukan setiap hari.  Untuk apa dan kepada siapa persembahan itu ditujukan?

Nitya Karma atau disebut juga Nitya Yadnya, merupakan upacara yang harus dilakukan setiap hari dan bersifat sederhana. Salah satu pelaksanaannya adalah banten Pawedangan atau banten kopi,  ajengan atau jotan.

Dijelaskan Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba, Nitya Karma dibagi menjadi Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Rsi Yadnya. Dalam pelaksanaannya,
lanjut sulinggih yang juga  dosen Institute Hindu Dharma Negeri Denpasar ini,
mabanten Pawedangan dan Ajengan termasuk dalam Dewa Yadnya. Banten Pawedangan yang berupa kopi dan roti, biasanya dihaturkan di beberapa tempat, seperti Sanggah Kemulan, Rong Telu, Panunggun Karang, Pelangkiran rumah, serta Bale Delod atau Bale Dangin.

Menurutnya, Nitya Karma adalah salah satu bentuk yadnya yang harus dilakukan sebagai upaya untuk menghubungkan Sang Atman dengan Sang Pencipta.  “Secara teoritis, Nitya berarti sehari – hari dan yadnya yang berasal dari kata yaj’ yang berarti memuja, sehingga Nitya Yadnya berarti pengorbanan dilandasi kesucian hati dan ketulusan yang dilaksanakan pada kehidupan sehari – hari,” bebernya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Dijelaskanya, banten Pawedangan itu hanya salah satu dari beberapa implementasi yadnya. Tujuannya sebagai sarana untuk penyatuan Atman kepada Sang Pencipta atau salah satu cara menuju Moksa. Dan, ini hanya salah satu caranya saja.

Ida Pandita memaparkan, dalam pelaksanaan Nitya Karma (yadnya) pada Dewa Yadnya, diwujudkan dengan mabanten Pawedangan di sanggah. Banten  Pawedangan itu biasanya berisi kopi dan roti. Lalu di Rong Telu, banten Pawedangan tersebut berupa kopi, air, roti beserta nasi saur.  Selain itu,  juga dihaturkan di dapur serta di sumur atau sumber air. “Nah satu lagi, jangan lupa untuk mabanten Pawedangan di Panunggun Karang. Biasanya Pawedangan yang dihaturkan berupa kopi, rokok, dan roti,” ungkapnya.

Hal itu juga sesuai dengan kitab Manawa Dharma Sastra yang memaparkan ada beberapa tempat yang dianggap penting dalam pelaksanaan Nitya Yadnya, yaitu bungut paon atau perapian dapur, sumur atau sumber mata air, atap rumah, pekarangan, sanggah/merajan dan Panunggun Karang. “Tempat – tempat tersebut diaggap penting karena dipercaya merupakan stana Dewa. Dapur merupakan stana Dewa Brahma, Sumur identik dengan air,  simbolisasi dari Dewa Wisnu,”ungkapnya. Nitya Yadnya, lanjutnya, bisa dalam berbagai bentuk,  dan banten Pawedangan hanya salah satu cara.

“Ingat, ini hanya satu dari seribu perwujudan Nitya Yadnya. Artinya tak harus mabanten Pawedangan setiap hari. Biasanya disesuaikan dengan desa kala patranya. Kalau bisa dilaksanakan tiap hari alangkah bagusnya. Cara lain melaksanakan Nitya Yadnya yaitu dengan Trisandya dan mabanten Saiban,” ujarnya.

Ketika ditanya, apakah benar Banten Pawedangan adalah persembahan kepada leluhur ? Mantan dosen Universitas Udayanan, ini menjelaska, banten Pawedangan merupakan wujud syukur kepada Tuhan atas rezeki yang berupa makanan.

“Sama seperti banten Saiban, banten Pawedangan juga merupakan perwujudan syukur kita kepada Sang Pencipta. Namun, hanya bentuknya saja yang berbeda. Adanya kepercayaan persembahan terhadap leluhur, itu kembali lagi kepada masing – masing personal dan desa kala patranya,” ujarnya.

Ida Pandita menjelaskan, pelaksanaan Nitya Yadnya  dianggap penting. Dalam kitab Bhagavadgita III.12-13 disebutkan :

Istan bhoan hi vo deva,
Dasyante yajna – bhavitah,
Tair dattan apradayaibhyo,
Yo bhunkte stena eva sah,
Yadnya sishtasinsah santo,
Mucnyante sarva kilbishail,
Bhujante te tv agham papa,
Ye pacanty atma karamat.

Artiya: Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para Dewa karena yadnyamu. Sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri sesungguhnya dosa.

“Dari sloka itu kita bisa mengerti pelaksanaan Nitya Yadnya itu penting. Karena tidak melaksanakan yadnya artinya kita berdosa,” ujarnya.

Terakhir ia nyampaikan agar masyarakat mengerti mana yadnya yang memang harus dijalankan, mana yadnya yang hanya terpaku pada gengsi. “Sesungguhnya yadnya yang harus dijalankan yaitu yadnya sederhana seperti ini, seperti banten Saiban, banten Pawedangan ataupun Ajengan. Namun, belakangan ini masyarakat justeru terpaku pada yadnya yang wah. Harus banten ini dan itu, harus menggunakan buah impor dan mahal. Padahal tidak demikian, itu hanya ego kita sebagai manusia yang ingin terlihat wah,” ungkapnya.

(bx/tya/rin/yes/JPR) –sumber