BALI EXPRESS, DENPASAR – Jika hendak masuk ke tempat suci di Bali, tak jarang dua patung berwujud seram menyambut di sebelah kanan dan kiri pintu gerbang. Dua patung ini umumnya memiliki ekspresi yang unik, yakni mata melotot, taring panjang dan tajam, namun dibarengi senyum tipis. Dan, salah satu lengannya memegang senjata berupa gada. Siapakah sebenarnya sosok makhluk ini?
Masyarakat Hindu di Bali tidak asing dengan keberadaan dua patung ini. Mereka berdua disebut Dwarapala, yakni sosok penjaga pintu gerbang. Ekspresinya yang seram menyimpan kesan ketegasan dan peringatan bagi siapa pun agar tidak sembarangan masuk ke tempat yang dimaksud. Namun demikian, senyumnya tetap menyiratkan keramahan.
Masing-masing dari patung ini bernama Nandiswara yang terletak di sebelah kanan (kiri pintu gerbang) dan Mahakala yang terletak di sebelah kiri (kanan pintu gerbang). Keberadaan keduanya dikaitkan dengan kekuatan Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan dalam Agama Hindu.
Berdasarkan pustaka Uttara Kandha, diceritakan ketika Dewa Indra bertapa di gunung Kailasa bersama para dewa lainnya, datanglah Rahwana untuk mengganggu. Dengan kehebatannya, Rahwana mengangkat Gunung Kailasa sehingga tapa para dewa menjadi gagal.
Saat yang sama, di gunung tersebut ada manusia dengan kepala seperti kera bernama Nandiswara. Nandiswara kemudian menekan gunung sehingga Rahwana terjepit dan kesakitan. Nandiswara bersedia mengampuni Rahwana, asal bersumpah kelak dirinya dikalahkan prajurit berkepala kera.
Berkenaan dengan itu, Dewa Indra berpesan, jika ingin mendapat kesucian, agar mendirikan Candi Kurung atau Kori Agung pada pintu masuk tempat suci dan pekarangan. Candi kurung atau kori agung adalah lambang Gunung Kailasa. Sementara Nandiswara diberikan pesan agar selalu menjaga orang-orang yang mencari kesucian, dengan wujud Dwarapala. Untuk mendampinginya, diwujudkanlah Mahakala.
Keberadaan sosok Dwarapala tidak hanya di Pulau Dewata, namun juga di tempat lain, yang dulunya merupakan pusat-pusat perkembangan ajaran Siwa-Buddha juga terdapat patung ini. Pulau Jawa misalnya. Tidak jarang ditemukan patung Dwarapala pada situs-situs peninggalan kerajaan yang menganut ajaran Siwa-Buddha pada masanya. Bahkan di Singasari, Malang, Jawa Timur, ditemukan pula patung Dwarapala dengan tinggi sekitar 3,7 meter. Selain itu, patung sejenis juga ditemukan di Keraton Yogyakarta, Kamboja, hingga Thailand. Meski sudah berusia ratusan tahun, namun patung-patung tersebut tetap berdiri kokoh.
Kembali ke Patung Dwarapala di Bali, pada hari suci tertentu, umat Hindu menghaturkan sesajen di depannya sebagai ucapan terima kasih kepada sosok penjaga tersebut. Meski terkadang tidak ada patungnya, namun masyarakat Bali biasanya menyediakan kolong di bagian depan sebelah kanan dan kiri gerbang untuk meletakkan sesajen bagi Sang Nandiswara dan Mahakala.
Sementara pada Lontar Widhi Tattwa dan Bhuana Kosa juga disebutkan terkait keberadaan Dwarapala sebagai pancaran kekuatan Tuhan Yang Maha Esa, yakni dinamakan Sang Hyang Panca Kala sebagai penjaga alam semesta. Dalam miniaturnya, konsep ini ditanamkan di pekarangan tempat suci atau rumah. Di sebelah kanan gerbang dinamakan Sang Maha Kala, Sebelah kiri Sang Adi Kala, tepat di pintu masuk Sang Kala, di depan pintu Sang Sunia Kala, dan pada aling-aling Sang Dora Kala.
Menurut Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H, keberadaan sosok Dwarapala ini memang akrab dengan kehidupan umat Hindu di Bali. Tak hanya di tempat suci, namun terkadang beberapa rumah juga memajang patung Dwarapala di sebelah kanan dan kiri gerbang. “Tentunya patung ini bukan sekadar pajangan. Namun seperti yang kita tahu, senantiasa ada makna di balik benda-benda yang dibuat dan diletakkan oleh umat Hindu di Bali. Apalagi patung ini yang kerap ditemui di pintu masuk tempat suci,” ujarnya.
Selain mitologi yang berkaitan dengan sosok penjaga pintu masuk, Dwarapala dikatakannya merupakan cerminan manusia yang hendak masuk ke tempat suci. Dari raut muka Dwarapala, manusia dikatakannya diingatkan untuk mengintrospeksi diri sebelum masuk ke pura, sanggah merajan, atau bertamu ke rumha orang. “Jadi, patung tersebut ibaratnya cerminan bagi kita. Sebelum masuk ke tempat suci, hendaknya mengintrospkesi diri. Apakah kita sudah membersihkan diri, pikiran, perkataan, maupun tindakan. Artinya, begitu masuk tempat suci, kita harus melepaskan sifat-sifat keraksasaan kita,” terangnya.
Lebih lanjut, kata pria yang akrab disapa Jro Dalang Nabe Roby ini, patung tersebut hendaknya memang dihormati dan bisa diberikan sesajen. Namun perlu diingat, konsentrasi umat bukan kepada wujud fisik patung tersebut, melainkan makna ketuhanan di balik sosok patung tersebut. Dalam hal ini, kekuatan Tuhan sebagai penjaga dunia. “Jadi, seperti arca atau patung lainnya, konsentrasi kita adalah tetap kepada kemahakuasaan Tuhan yang salah satu kekuatan-Nya disimbolkan berbentuk sosok penjaga. Ini yang penting,” tegas dosen IHDN Denpasar tersebut.
Sementara, kini di depan pintu gerbang rumah umat Hindu di Bali tak jarang dipasang patung berupa tokoh pewayangan seperti Sangut-Delem, Tualen-Merdah, atau binatang tertentu seperti singa, macan, bahkan anjing. Hal itu menurutnya tentu memiliki makna yang tak jauh berbeda. Sangut-Delem dan Merdah-Tualen adalah simbol rwabhineda atau dua hal berlainan yang tak dapat dipisahkan. Misalnya, baik-buruk, benar-salah, langit-bumi, positif-negatif, dan sebagainya.
Selain itu, mereka ada sosok parekan atau abdi yang biasa menjaga dan mendampingi tokoh-tokoh kerajaan. Sedangkan patung berbentuk binatang tentunya juga memiliki makna sebagai sosok penjaga. Dengan demikian, diharapkan si pemilik lebih terlihat berwibawa dan keadaan rumah senantiasa aman.
(bx/adi/yes/JPR) –sumber