BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka menjadi pilihan warga Desa Adat Besakih untuk membersihkan ‘jejak kotor’ si bule nekat yang menaiki Palinggih Padmasana di Pura Gelap Besakih. Sejatinya, apa itu upacara Bendu Piduka dan Guru Piduka?
Upacara Bendu Piduka, sebelumnya pernah dilaksanakan di Desa Pakraman Dauh Waru, Jembrana. Ketika itu, warga mengalami kabrebehan (kejadian aneh), di mana anggota masyarakatnya meninggal tidak wajar secara berturut – turut. Hal itu terjadi paska pelaksanaan melasti jelang Hari Raya Nyepi tahun lalu. Secara etimologi, Bendu memiliki pengertian kesal , perbuatan buruk dan kecewa.
Sedangkan Piduka berarti berduka. Jadi, Bendu Piduka berarti pembersihan untuk perbuatan buruk yang membuat berduka. Biasanya upacara ini dilakukan untuk menetralisasi leteh atau pengaruh negatif pada suatu tempat atau suatu daerah.
Ida Pandita Mpu Parama Daksa menjelaskan, Bendu Piduka adalah rangkaian prosesi untuk menetralisasi segala sesuatu yang mencemari alam ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Baik karena perbuatan maupun karena perkataan.
“Dalam tradisi adat Bali, kita mengenal istilah ngayah. Ngayah itu bentuk dari sebuah pelayanan kita kepada Tuhan dan leluhur, baik itu di pura ataupun sanggah merajan. Mungkin saja ketika kita ngayah ada perkataan kita yang membuat sebuah lokasi atau tempat tersebut menjadi leteh. Bisa juga karena perbuatan, seperti yang terjadi di Jembrana atau Besakih,” ujar Sulinggih asal Mengwi ini kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), kemarin.
Dikatakannya, Bendu Piduka tertulis dalam lontar Dewa Tatwa yang menyebut bahwa upakara piduka, terdiri dari dua macam, yakni Guru Piduka dan Bendu Piduka.
Dalam kepercayan umat Hindu mengenai Usadha, lanjutnya, dikatakan penyakit terdiri dari dua penyebab yaitu secara Skala (nyata) dan secara Niskala (tidak nyata atau tidak terlihat). Adapun penyebab penyakit secara skala misalnya penyakit jantung karena pola hidup tidak sehat, terluka karena jatuh. Penyebab penyakit yang diakibatkan secara niskala, di antaranya pekarangan rumah yang angker sehingga keluarga tidak harmonis, adanya kesalahan tindakan yang kurang baik di tempat suci atau sanggah, sehingga menyebabkan terjadinya mala petaka berturut – turut.
“ Yang paling berbahaya itu, ketika kita mengucapkan janji disertai sumpah (sapa atau semaya) dan kita lupa, serta mengingkarinya. Akibatnya, leluhur, para dewa sebagai manifestasinya Tuhan akan marah dengan mengirim bhuta bhuti dan mengganggu kesehatan serta keharmonisan keluarga tersebut. Jadi, jangan macam – macam soal niskala,” ujar Ida Pandita Mpu Parama Daksa. Dalam Lontar Dewa Tatwa dipaparkan, untuk menetralisasi pengaruh negatif akibat kesalahan kesalahan itu, lanjutnya, maka masyarakat dianjurkan untuk menghaturkan banten Maguru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka. Mengapa menghaturkan banten Guru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka?
“Sesungguhnya, kedua banten itu hanya sebagai prasarana sementara, sebagai permohonan maaf serta janji untuk melaksanakan upakara yadnya sebagai bentuk permohonan maaf yang tulus,” ujarnya.
Selain menggelar upakara yadnya, dalam lontar Dewa Tatwa juga menganjurkan untuk membuat palinggih baru dengan melinggihkan Ida Bhatara Indra Balaka dan pengayahan leluhur kawitan, dengan tujuan menetralisiasi pekarangan.
Ditegaskannya, menggelar upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka tidak boleh sembarangan. “Ketika kita merasa pekarangan rumah panes atau merasa ada penyebab niskala, lantas menganggap perlu dilakukan upacara tersebut tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, dan hal itu tentu saja akan berakibat fatal,” ujarnya.
Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, tanda – tanda perlunya melaksanakan upakara tersebut adalah adanya kejadian akibat bencana yang menimpa manusia. Seperti Sakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh, banyak orang meninggal dalam waktu singkat, di daerah tersebut banyak terjadi mati salah pati dan ulah pati, juga terjadinya hubungan ‘salah timpal’, yakni hubungan seks antara manusia dengan binatang atau antara binatang yang berbeda jenis. Selain itu, adanya kematian anggota keluarga yang bertepatan dengan piodalan di sanggah merajan, sering terjadi cekcok atau keributan dalam keluarga, tempat suci yang terbakar, baik oleh api maupun oleh halilitar, serta diporak-porandakan angin puyuh.
Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan: Muah yang ketibenin apui tanpan para, yadnya linus tan pantara mwang telas basmi kayangan ika cihmaning anemu ala sang madrewe khayangan ika, hana sot tan tinawang wenang ngagen sot rigumi piduka.
Artinya, demikianlah pula bila khayangan terjadi kebakaran tanpa sebab, demikian juga angin beliung tanpa sebab, apalgi sampai menghanguskan seluruh bangunan kahyangan. Itulah ciri bahwa yang memiliki kahyangan tersebut mendapat bahasa, karena kaulnya tidak dibayar. Oleh karena itu, sepatutnya agar sot (berjanji) akan membayar kaul dengan mempersembahkan Guru Piduka dan Bendu Piduka.
Ida Pandita Mpu Parama Daksa juga menjelaskan, ada baiknya dalam melaksanakan upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka diiringi suara gender atau angklung, terlebih lagi jika tempat pelaksanaan upacara tersebut di pura. Hal ini untuk menjaga keselamatan desa pakaraman. Dalam Widhi Sastra juga dijelaskan, apabila pelaksanaan Guru Piduka dan Bendu Piduka diakibatkan karena tempat suci yang roboh atau terbakar, sebaiknya setiap anggota pemaksa yang menghaturkan ayah dan bakti menggunakan lima keping uang kepeng dalam kwangen yang digunakan ketika menghaturkan sembah.
“Karena upakara Guru Piduka dan Bendu Piiduka ini hanya sebagai janji yang ditunda, maka sebaiknya harus segera disusul upacara yadnya yang sesuai kedurmanggalan,” ujarnya.
Dalam rangkaian upakara, biasanya belum lengkap jika tidak menggunakan prasarana banten, mantra serta tirtha. Begitu pula dalam upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka sebagai upaya menetralisasi pengaruh negatif yang disebabkan karena niskala.
Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, bentuk bebantenan Guru Piduka secara sederhana, yakni Suci soroh, Sesayut pangambeyan salaran bebek dan ayam yang masih hidup. Tetegenan, sesantun, soda putih kuning, makembaran, sesayut dirgayusa gumi, dan dilengkapi Tatebasan Guru Piduka. Sedangkan untuk bebantenan Tatebasan Bendu Piduka,
tumpeng 1 , matatakan kulit sesayut iwaknia rerasmen, sudang, tulung 1, canang pawitra maraka jaja bendu, mwang woh wohan sampian nagasari. Tujuan mempersembahkan Tatebasan Bendu Piduka adalah sebagai bentuk permohonan maaf kepada Hyang Kawitan yang telah menurunkan kedukaan, dikarenakan keingkaran si penghuni rumah atau masyarakat yang menempati daerah tersebut. Uacara Bendu Piduka sering juga disebut banten paneduh pada waktu ‘meneduh’ di desa pakraman.
(bx/tya/yes/JPR) –sumber