Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

BALI EXPRESS, GIANYAR – Ceruk  yang ada di aliran Sungai Pakerisan, Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, yang diyakini sebagai tempat meditasi  Kebo Iwa, hingga kini dijadikan tempat meditasi penekun spiritual.

Jero Bendesa Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar
Wayan Biata mengatakan, Candi Tebing yang menjadi lokasi bersejarah ini, memang sering dikunjungi krama dari luar desa. Bahkan, mereka yang datang tidak hanya menikmati pemandangan karena juga   sebagai tempat wisata religius. “Saat rerahinan (hari baik) banyak sekali warga dari luar datang untuk meditasi dan malukat . Memang ada sebuah pancuran yang bisa digunakan untuk malukat, yakni pancuran Sudamala,” terang pensiunan guru ini ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), pekan  kemarin. Selain untuk malukat, lanjutnya, juga difungsikan ke luhur karena  sebagai tempat mlasti ketika piodalan di pura khayangan tiga dan pura dang khayangan  setempat.

Wayan Biata (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Biata menyebutkan, rentetan tersebut dengan prosesi ngening, agar sasuhunan secara niskala hening kembali atau bersih kembali. Begitu juga dia mengungkapkan ketika ada pamedek yang malukat di sana agar bersih jiwanya.

Dikatakannya, prosesi piodalan di Candi Tebing  tidak dilaksanakan secara khusus. Tetapi, ketika pelaksanaan ngening dihaturkan juga banten piodalan alit karena pada candi tidak terdapat hari piodalan. Hal itu dilakukan karena tradisinya sejak dulu berlangsung, hanya sebagai tempat masucian saja. Tanpa ada sebuah tegak piodalan yang khusus dilaksanakan.

“Sasuhunan yang mlasti ke sini berasal dari Pura Khayangan Tiga Desa Pakraman Tegallinggah.  Pura Pucak Manik dan Pura Dalem Rsi yang ada di lingkungan Kecamatan Blahbatuh juga menggunakan tempat ini sebagai pasucian,” jelas Biata.

Diakuinya  krama yang otonan,  apalagi saat  melaksanakan otonan pabayuhan pasti nunas tirta. Dikarenakan selain difungsikan untuk prosesi Dewa Yadnya juga dapat sebagai panglukat Manusa Yadnya. Biata menjelaskan yang ditunas juga tidak sembarangan pancuran.

Ada lima buah pancuran, tetapi yang disakralkan hanya pancuran Sudamala yang menghadap ke timur laut dan dikenakan wastra. Sedangkan sisanya hanya digunakan untuk permandian biasa atau untuk kebutuhan  diminum  warga.

PANCURAN: Dewa Made Suparsa nunas ( mengambil) air pancuran di Tirta Sudamala Candi Tebing , Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Sarana yang digunakan untuk malukat, cukup  menghaturkan canang secukupnya. Itupun jika malukat pada hari biasa, sedangkan pada rahinan disarankan untuk menghaturkan sebuah pajati. Setelah malukat,baru melaksanakan  persembahyangan di depan candi tebing.

Salah seorang warga setempat yang kerap sembahyang Dewa Made Suparsa mengatakan, kerap melihat orang sakit  datang  untuk malukat.  Warga setempat, lanjutnya,  banyak datang saat Banyupinaruh. Dan, saat rahinan  kebanyakan yang datang dari luar desa. “ Ada orang yang datang malukat terus berteriak teriak karena  gangguan jiwa.  Setelah melukat dan melakukan persembahyangan sadar kembali,”urainya.  Dikatakannya, pemangku memang tidak ada,   yang malukat bisa bawa pemangku sendiri atau tanpa pemangku.

Ayah dua anak ini mengaku sering mengambil air  untuk diminum. Bahkan, ia berani tidak memasaknya lagi kalau untuk diminum.

Dewa Suparsa menunjukkan ada delapan buah ceruk.  Bahkan di ceruk paling ujung terlihat seseorang yang sedang melakukan meditasi. “Karena berada di dinding tebing,  tidak akan basah bila hujan. Namun, kalau  banjir besar kemungkinan ceruk akan dimasuki air sungai yang meluap,” terangnya.

Beberapa ceruk yang terdapat di areal Candi Tebing Tegallinggah sampai saat ini,  memang difungsikan untuk meditasi. Suasananya yang masih sangat asri  ini, sangat mendukung  untuk menenangkan pikiran.
Dikatakannya, beberapa ceruk  sering digunakan sebagai tempat bertapa. Bahkan, setiap hari pasti ada saja orang yang datang ke sana dari pagi sampai sore. “Setiap hari pasti ada saja orang yang ada pada ceruk ini. Entah itu beryoga atau sekedar mencari ketenangan. Bisa dilihat juga di depan candi ada yang sedang bermeditasi,” papar Dewa Suparsa sambil menunjukkan orang yang sedang bertapa di sebuah ceruk.

Dia mengaku hampir setiap hari mengambil air  untuk dikonsumsi.

GAPURA : Gapura yang sebagian telah menjadi reruntuhan. Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Suparsa juga menunjukkan sebuah goa yang ada di samping pancuran  yang dinamai Goa Garba. Goa inilah yang diyakini menjadi  tempat  bertapanya Patih Kebo Iwa zaman kerjaan dulu.

Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu, nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan, khususnya di Bali ataupun Jawa.

Panglima muda yang bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini, sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. “Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat suci Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya,” urainya.

Lebih lanjut Suparsa menjelaskan, candi tersebut dipahat  pada dua sisi tebing yang berseberangan. Di mana yang memisahkan adalah aliran Sungai Pakerisan. Pada dinding juga terdapat sebuah bangunan, bahkan penduduk desa setempat dulu mengetahui  berupa gapura saja. Dikarenakan terus digali dan dibersihkan, segingga ada tangga  di dalamnya.

Di sebelah kanan gapura ada bangunan yang lebih besar, namun sebagian telah menjadi reruntuhan. “Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti, yaitu perlambang Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa,” terangnya.

Saat ini  di areal tersebut sedang dalam proses penataan. Sudah dibuatkan juga tempat parkir, toilet, dan bale bengong.

Jalan menuju candi juga sudah ada  anak tangga yang ada di tebing. Sebelum ada  tangga warga  harus berhati-hati karena licin.

Lokasi Candi Tebing Tegallinggah ini harus ditempuh selama satu jam dari Pusat Kota Denpasar. Dari Pasar Blahbatuh  susuri jalan ke utara hingga tiba di pertigaan Tegallinggah yang ada Tugu Patung Dewi Kadru. Kemudian tempuh jalan ke kanan sekitar 100 meter akan terlihat  gang pertama di  kiri jalan.  Masuk terus ke gang yang menuju wilayah Desa Pakraman Tegallinggah, sekitar 800 meter akan sampai depan parkiran candi. Untuk masuk ke areal candi saat ini belum dikenakan tiket masuk karena masih dalam proses penataan.

(bx/ade/rin/yes/JPR)sumber