KELOPAK BUNGA JIWA

Jiwa manusia ternyata memiliki misteri yang tidak habis-habis. Temuan pendiri ilmu psikologi Sigmund Freud tentang alam bawah sadar, atau ide Carl G. Jung tentang bayangan, rupanya bukan ujung paling akhir dari upaya manusia untuk mengungkap misterinya jiwa. Temuan-temuan para pencari di bidang ini, rupanya terus mengalir tanpa mengenal habis.

Dalam kerangka alam bawah sadarnya Freud, bayangan dalam istilahnya Jung, semua emosi negatif yang ditekan-tekan karena berbagai alasan, kemudian terlempar menjadi sampah di gudang alam bawah sadar. Suatu hari tatkala sampah-sampah itu menumpuk penuh, di sana ia akan muncul ke permukaan dalam bentuk stres, depresi, penyakit bahkan ada yang kehilangan ingatan sama sekali.

Psikologi klinis khususnya, mencoba menetralisir ketidakseimbangan jiwa di dalam melalui intervensi obat-obat farmasi. Tidak seluruhnya tidak berhasil tentu saja. Tapi di sesi-sesi meditasi sering terbuka rahasianya, para sahabat yang sering terkena obat-obat farmasi jenis ini mengalami ketidakseimbangan emosi yang baru. Mereka seperti keluar dari sebuah ruangan gelap, kemudian memasuki ruangan gelap lain yang lebih menakutkan.

Dari sinilah lahir banyak pemikir yang menjauh dari obat farmasi, namun mencoba “mengolah” sampah-sampah kejiwaan di dalam menjadi bunga indah kesembuhan dan bunga indah kedamaian. Tema sentral dari pencari di jalan ini, sampah-sampah kejiwaan di dalam tidak dibuang sebagaimana pendekatan obat farmasi, melainkan didekap seperti seorang ibu mendekap bayi tunggalnya.

Pencari-pencari di jalan ini banyak yang memadukan ilmu psikologi modern yang diwariskan Freud dengan ilmu meditasi tua yang diambil dari Buddhism. Salah satu tokoh menonjol dalam hal ini adalah Thomas Bien, Ph. D. Nyaris semua karya Thomas Bien dari “Finding the Center Within”, “Mindful Therapy”, hingga “Mindful Recovery”, memadukan antara ilmu psikologi yang dalam dengan praktik meditasi Buddhist yang juga dalam.

Di tingkat-tingkat awal, seseorang diajak untuk istirahat dalam ketenangan dan keseimbangan. Terutama dengan melatih diri sekaligus meyakini kalau semua dualitas (buruk-baik, salah-benar, kotor-suci) adalah tarian kesempurnaan yang sama. Setiap sahabat yang lama istirahat dalam ketenangan dan keseimbangan seperti ini mengerti, air keruh alam bawah sadar dibiarkan diam tanpa diganggu. Sebagai akibatnya, lumpur-lumpurnya mengendap di bawah, airnya jadi jernih dan bersih.

Tatkala air kejiwaan di dalam sudah bersih dan jernih inilah kemudian seseorang diajak mengolah lumpur-lumpur kejiwaan seperti trauma masa kecil, keluarga yang berantakan, sekolah yang bermasalah, dll menjadi bunga kesembuhan dan bunga kedamaian. Pendekatannya sederhana namun mendalam, luka-luka jiwa itu diperlakukan seperti bayi menangis (baca: trauma yang datang dari masa kecil). Dan tugas sang kesadaran adalah mendekap bayi menangis ini seperti seorang Ibu mendekap putra tunggalnya.

Banyak sahabat yang dibimbing dengan pendekatan ini bercerita, kalau mereka mengalami banyak kesembuhan di dalam. Tidak saja luka jiwa di dalam sembuh, sebagian penyakit fisik pun ikut sembuh. Terutama karena ketenangan jiwa di dalam membuat sistim kekebalan tubuh pulih sehingga tubuh bisa menyembuhkan dirinya sendiri.

Bukan jiwa namanya kalau ia tidak menyisakan misteri yang tidak habis-habis. Psikolog muda yang sangat berbakat bernama Hilary Jacobs Hendel membuka misteri lain. Pengalamannya menyembuhkan seorang pasien bernama Brian selama bertahun-tahun yang tidak bisa disembuhkan oleh obat farmasi mana pun, tidak bisa ditolong menggunakan teknik terapi mana pun, membuka salah satu wajah jiwa yang layak direnungkan dalam-dalam.

Emosi manusia, demikian Hilary mengkerangkakan, ternyata terbagi dua yakni emosi bagian dalam seperti sedih-senang, duka-suka, serta emosi bagian luar seperti malu, sopan, santun. Apa yang terjadi dalam diri Brian unik. Oleh karena berbagai faktor, emosi luar khususnya rasa malu lama sekali membungkus emosi di dalam, sehingga emosi di dalam kehilangan kesempatan untuk diekspresikan.

Sebagai akibatnya, emosi di dalam bernasib seperti air besar yang gagal mengalir. Oleh sebagian terapis dikira depresi, namun tatkala emosi luar dalam bentuk rasa malu itu dibuka rahasianya, emosi di dalam mulai mengalir. Hasilnya sangat menakjubkan, Brian yang tadinya sangat kaku, tertutup, mudah kalut, berubah menjadi seorang manusia dewasa yang mulai belajar ceria.

Pelajaran yang dihadirkan dari pengalaman ini sederhana, kita di Timur umumnya memiliki banyak sekali larangan yang bersumber dari agama, tradisi, budaya, dll, yang semuanya bisa berujung pada tertahannya emosi luar. Dan sebelum agama dan budaya melahirkan lebih banyak lagi luka jiwa, mari belajar menemukan media dan cara berekspresi yang pas dan sehat. Menulis, melukis, menari, menyanyi, olah raga adalah sebagian cara biasa yang tersedia. Meditasi, yoga, doa, puja adalah sebagian olah spiritual yang tersedia.

Dan tidak ada salahnya untuk belajar dari segi tiga perubahan yang disarankan Hilary Jacobs Hendel: listen to your body, discover core emotion, recover yourself. Di Tantra khususnya, sudah lama diajarkan kalau tubuh manusia menyimpan banyak rahasia cahaya. Sedihnya, sangat sedikit yang punya kemampuan untuk mendengar suara-suara tubuh seperti kualitas tidur, beningnya warna kencing, perubahan warna kulit, dll. Lebih-lebih kalau suara-suara tubuh dipadukan dengan ketrampilan untuk membuat emosi di dalam mengalir dalam sedih-senang, duka-suka. Dua kombinasi terakhir bisa membuat seseorang menjadi penyembuh terbaik bagi diri sendiri.

Author: Gede Prama.
Photo Courtesy: Twitter @Lotus_tweet.