Kidung Kedamaian Dari Bali

Di malam bulan purnama 3 desember 2017 terjadi apa yang disebut psikolog kondang Carl Jung sebagai synchronicity (kebetulan yang kaya akan makna). Situs liputan6.com memuat berita panas, yang mengutip pendapat senator AS Lindsey Graham yang menyebutkan “perang nuklir dengan Korea Utara sudah dekat”. Terutama karena Korea Utara sudah siap dengan rudal balistik antarbenua yang bisa menjangkau daratan AS.

Di waktu yang bersamaan, situs express.co.uk (home of the daily and sunday express) yang bermarkas di Inggris memuat berita yang sangat sejuk: “Letusan Gunung Agung di tahun 2017 akan membuat bumi semakin sejuk selama lima tahun ke depan”. Kesimpulan itu diambil terutama setelah sejumlah pakar meneliti bahan-bahan vulkanik yang dikirimkan oleh Gunung Agung ke ruang angkasa.

Setiap sahabat yang menonton video letusan Gunung Agung tahu, asap berwarna hitam muncul bersamaan dengan asap berwarna putih. Keduanya muncul dari puncak Gunung Agung yang sama, di waktu yang juga sama. Pesan spiritual yang mau disampaikan sederhana namun mendalam: “Di sepanjang waktu ada hitam dan putih”. Maksudnya, di setiap putaran waktu ada kemunduran dan kemajuan.

Tetua Bali punya resep yang diwariskan pada keturunannya: “Rwa bhinedane tampi”. Rinciannya, belajar mendekap dualitas seperti salah-benar, buruk-baik, duka-suka dalam keseharian menggunakan senyuman yang sama. Bagi orang modern yang terbiasa menggunakan otak kiri yang mekanistik, yang meninggikan apa yang dianggap benar, merendahkan apa yang dianggap salah, pendekatan ini super sulit untuk diterima.

Namun sejujurnya, otak kiri yang mekanistik inilah yang membuat baik Korea Utara dan Amerika Serikat berpotensi menghancurkan bumi dalam waktu singkat melalui perang nuklir. Keduanya menganggap dirinya benar. Keduanya meyakini musuhnya salah. Di atas keyakinan berbahaya ini, tidak ada pilihan lain selain menghancurkan pihak yang diyakini salah. Jika gagal dihentikan, ujungnya tidak saja musuhnya musnah, planet bumi pun bisa musnah.

Itu sebabnya, sahabat-sahabat yang mempelajari ilmu tua mitologi seperti Joseph Campbell, telah lama menyimpulkan kalau peradaban modern yang berada di gerbang bahaya ini, bergantung pada otak kiri manusia yang baru berumur beberapa ribu tahun. Sementara otak kanan yang lebih holistik, yang digunakan tetua Bali dalam hal ini, sudah berumur jutaan tahun.

Dan letusan Gunung Agung di tahun 2017 bercerita jelas dan terang sekali, kalau hitam-putih, salah-benar, duka-suka lahir dari rahim yang sama. Di dunia meditasi disebutkan, dualitas seperti salah-benar, lengkap dengan tembok tinggi yang memisahkan keduanya, lahir dari pikiran yang belum disentuh meditasi.

Tetua Bali bersama Gunung Agung seperti paham dalam sekali, kekerasan dengan segala bentuknya hanya mungkin diakhiri dari muka bumi, kalau manusia belajar mendekap dualitas, bukan mempertentangkan dualitas. Tetua Bali tidak saja mengerti hal ini dengan pikiran, tapi juga mengerti melalui tindakan dan pencapaian.

Sebagian sahabat di Bali yang mata spiritualnya terbuka mengerti, banyak sekali alam bawah yang suka menunjukkan dirinya di Bali. Wajahnya dari angker, seram, sampai menakutkan. Dengan tetap menghormati pendekatan tradisi lain, tetua Bali memberi suguhan pada mahluk-mahluk seram ini. Mendirikan rumah terhormat untuk mereka yang bernama penunggun karang. Tentu bukan karena tetua Bali menyembah setan. Sekali lagi bukan.

Tapi karena telah mengerti melalui pencapaian, kalau hitam-putih, salah-benar adalah senyuman kesempurnaan yang sama. Sampah di hari ini akan menjadi bunga indah di hari lain. Politisi yang berkelahi di suatu waktu akan berpelukan di waktu lain. Ia mirip dengan putaran air di alam. Air selokan yang dibenci orang di hari ini, akan menjadi air minum di hari lain. Itu sebabnya, tetua Bali merayakan tahun baru dengan hari raya Nyepi. Menyebut Tuhan dengan sebutan Hyang Embang (Yang Maha Sunyi). Dalam bahasa sahabat di Barat: “No more words”. Sudah tidak ada lagi yang mau dijelaskan. Yang tersisa hanya satu: “Senyuman yang sangat dalam”. –sumber