Kisah Dibalik Patung Dewa Ruci

Patung Dewa Ruci yang terletak di lintas persimpangan Nusa Dua, bandara ke Denpasar, Nusa Dua, bandara ke Tanah Lot dan Sanur ke Kuta, sehingga menjadi tempat arus lalulintas yang selalu padat, sehingga sebagian besar wisatawan yang datang untuk liburan ke Bali akan melawati jalur ini, sehingga banyak yang menyebut sebagai Simpang Siur, selalu padat dan menimbulkan kemacetan. Patung Dewa Ruci dibuat oleh pematung hebat putra Bali yang bernama I Wayan Winten, yang mewarisi keahlian ayahnya I Made Pasta. I Wayan Winten mulai menekuni dunia patung semenjak umur 7 tahun, banyak menghasilkan patung dari bahan dasar beton, karena suatu saat kayu akan sulit untuk diperoleh.
Patung Dewa Ruci ini dibangun tahun 1996, nama Dewa Ruci sangat terkenal seperti kapal Dewa Ruci yang dimiliki TNI angkatan laut kita. Patung ini mengisahkan perjalanan Bima (Werkudara) dalam mengambil tirta Amertha. Sehingga kadang orang menyebut patung ini sebagai patung Bima. Bima adalah sosok yang jujur, polos, pembrani, setia kawan dan cenderung lugu, karena kepolosannya dan setia kawan sampai diperalat oleh Kurawa melalui Drona (guru dari Bima) untuk mencari tirta Amertha (tirta kehidupan) yang terletak di dasar laut dan mustahil bisa ditemukan. Setelah perjuangannya masuk ke Samudra Selatan yang dihalangi oleh Naga Neburwana (Naga Baruna) dan naga tersebut berhasil dikalahkan.

Kemudian Bima bertemu dengan makhluk kecil serupa dirinya yang bernama Dewa Ruci, walaupun keci yang membuat aneh dan mengagungkan Bima ternyata bisa masuk ke telinga Dewa Ruci dan menemukan tempat yang damai, nyaman dan berharap tetap tinggal di sini. Kemudian Dewa Ruci menjelaskan makna dari apa yang dilihatnya, dan hanya boleh tinggal di sana setelah berada di dunia lain (kematiannya) dan sekarang dia harus kembali ke dunia melanjutkan perlawananya melawan Kurawa dan kesewenang-wenangan. Kisah ini menginspirasi dari pembuatan patung ini, bagian-bagian patung Dewa Ruci paling atas adalah Sang Hyang Acintya (figur Dewa Ruci), patung manusianya adalah Bima, kemudian Naga Baruna yang sedang marah, paling bawah adalah gelombang air (samudra) dan dikelilingi kolam air mancur yang melambangkan riuhnya samudra saat pertempuran antar Sang Naga dan Bima. —sumber