Jiwa-jiwa yang terus menerus berkejaran ke masa depan, itu ciri banyak sekali manusia kekinian. Anak sekolah berkejaran agar cepat lulus. Yang sudah lulus berkejaran agar cepat bekerja. Yang sudah bekerja berkejaran agar cepat naik pangkat. Orang biasa berkejaran agar cepat kaya. Orang kaya berkejaran agar lebih kaya lagi. Sebagai akibatnya, di sana-sini terlihat jiwa-jiwa yang lelah, resah dan gelisah.
Pencari-pencari jenis ini mirip dengan anak sekolah yang tidak pernah libur. Jenuh, bosan, serba salah, gelisah, sedikit-sedik marah, itu teman mereka dalam keseharian. Kaya salah miskin apa lagi. Punya uang gelisah, punya hutang apa lagi. Dipuji orang marah-marah, dicaci apa lagi. Bagi jiwa-jiwa jenis ini, semakin keras mereka berusaha dan bekerja, semakin banyak bibit-bibit penyakit yang ditanam di dalam. Terutama karena setiap hari mereka mengalami kebocoran dan defisit energi.
Sebelum cerita sedih ini mengunjungi Anda, mari belajar meliburkan pikiran. Salah satu ciri dominan pikiran yang tidak pernah libur, mereka penuh dengan kerangka yang serba harus dan serba mesti. Semua aliran kehidupan dipaksa harus sama dengan kerangka pikiran. Karena pikiran sempit sedangkan kehidupan maha luas, ujungnya mudah ditebak, manusia jenis ini mudah kecewa. Kemudian jiwanya masuk jurang yang berbahaya.
Ada tiga cerita sebagai bahan renungan untuk meliburkan pikiran. Terutama agar orang-orang belajar meliburkan pikiran. Bagi tukang taman, rumput liar adalah tumbuhan yang sangat mengganggu. Namun bagi kelinci, rumput liar adalah makanan enak dan sedap. Hal yang sama juga terjadi dengan keseharian kehidupan. Bagi orang tertentu, sebuah kejadian itu musibah. Tapi bagi orang yang lain, kejadian yang sama bisa menjadi sumber berkah.
Bayangkan Anda bangun di sebuah pagi dan tiba-tiba menemukan di depan pintu kamar ada sekantong plastik yang berisi kotoran sapi. Bagi pikiran yang pemarah, kotoran sapi ini bisa menjadi awal perkelahian. Namun bagi hati yang pemurah, kotoran sapi bisa menjadi bunga indah kalau diletakkan di bawah pohon bunga. Dengan kata lain, buruk dan baik tidak datang dari kejadian di luar. Namun buah dari kebersihan pikiran seseorang di dalam.
Tatkala hujan turun, ayam berteduh di bawah pohon. Akan tetapi bebek mencemplungkan dirinya di kolam. Keduanya mengambil jalan yang bersebrangan. Namun keduanya bahagia apa adanya. Bagi jiwa-jiwa yang gelisah, orang-orang sekitar dipaksa harus sama. Perbedaan dianggap sumber musibah. Namun bagi jiwa-jiwa yang indah, perbedaan itu berkah. Ia adalah warna-warni yang melukis pelangi yang indah.
Tanda-tanda awal pikiran yang mulai sehat sekaligus mulai belajar libur sederhana, cengkraman pikiran mulai melonggar. Ia ditandai oleh jauh lebih sedikit penghakiman, jauh lebih sedikit keluhan, jauh lebih sedikit perkelahian. Akibatnya, ada jauh lebih sedikit energi yang bocor. Sekaligus, lebih banyak energi yang tersedia untuk menyembuhkan diri.
Dan bagi jiwa-jiwa yang sudah sembuh, apa lagi utuh, mereka akan tersenyum dengan ungkapan sederhana namun mendalam ini: “Seperti air di alam. Musim hujan tidak melakukan penambahan, musim kering tidak melakukan pengurangan. Dengan cara yang sama, kesenangan tidak melakukan penambahan, kesedihan tidak melakukan pengurangan”.
Sesampai di sini, seseorang sudah mengalami keadaan “libur selama-lamanya”. Ada yang menyebut ini sebagai keheningan. Ada yang memberinya sebutan kesempurnaan. Dan untuk diendapkan dalam-dalam, keheningan bukanlah kawannya ketidakpedulian. Sekali lagi bukan. Keheningan adalah sahabat dekatnya kasih sayang.
Itu sebabnya, jiwa-jiwa yang hening bening bukannya lari dari keramaian. Tapi memancarkan cahaya di tengah keramaian. Yang bisa menulis terus menulis. Yang bisa melukis terus melukis. Yang bertumbuh di dunia kerja terus bekerja. Dan ada satu hal yang sama diantara mereka, apa pun gerak kesehariannya – dari menulis hingga melukis – semuanya memancarkan cahaya.
Di tingkat pencapaian seperti ini, manusia bisa mengatakan selamat tinggal pada keseharian yang terus menerus berkejaran ke masa depan. Kemudian bisa istirahat di saat ini apa adanya. Inilah yang disebut dengan libur selama-lamanya. Sekaligus, inilah rumah indah jiwa-jiwa yang indah. Dalam bahasa yang singkat sekaligus padat, sebagaimana sifat alami air yang basah, sifat alami bunga yang indah, sifat alami keheningan adalah membimbing jiwa-jiwa agar menjadi jiwa yang indah.
Penulis: Gede Prama.
Photo Courtesy: twitter @koksalakn.