Makna Dan Rangkaian Upacara Mamukur Menurut Hindu Bali

Mamukur merupakan kelanjutan dari upacara ngaben sbg bentuk penyucian atma (roh) fase kedua. Mamukur berasal dari kata bhukur, bhu = alam dan ur = atas. Jadi mamakur adalah penyucian atma agar terlepas dari badan halusnya (suksma sarira) berupa sifat-sifat manusia dan keinginannya sehingga bisa menyatu dengan Sang Pencipta menjadi dewa pitara (roh suci). Ritual ini waktu pelaksanaannya tidak harus setelah ngaben, bisa beberapa tahun kemudian tergantung kemampuan, mengingat biaya yang dikeluarkan berkali-kali lipat dari ngaben.

Dalam prosesi mamukur tidak ada jenazah. Maka dari itu perlu dibuatkan simbol-simbol badan halus dari atma/roh yang akan di-prosesi. Tahapan mamukur sangatlah banyak dan lebih rumit dari ngaben. Pelaksanaan upacara Mamukur dan yadnya lainnya disesuaikan dengan kemampuan Sang Yajamana, yaitu mereka yang melaksanakan upacara tersebut. Secara garis besar dan sesuai dengan kemampuan umat upacara ini dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu yang kemampuannya besar disebut (Uttama), yang kemampuannya menengah disebut (Madhya) dan yang kemampuannya kecil atau sederhana disebut (Kanistama/Nista/ Alit)

Pada Mamukur dengan tingkatan Uttama rangkaian upacaranya terdiri dari :

1. Ngangget Don Bingin, yaitu upacara memetik daun beringin (kalpataru/kalpavriksa) untuk dipergunakan sebagai bahan puspasarira (symbol badan roh) yang nantinya dirangkai sedemikian rupa seperti sebuah tumpeng (dibungkus kain putih), dilengkapi dengan prerai (ukiran/lukisan wajah manusia, laki/perempuan) dan dihiasi dengan bunga ratna. Upacara ini berupa prosesi (mapeed) menuju pohon beringin diawali dengan tedung agung, mamas, bandrang dan lain-lainnya. Sebagai alas daun yang dipetik adalah tikar kalasa yang di atasnya ditempatkan kain putih sebagai pembungkus daun beringin tersebut.

2. Ngajum, setelah daun beringin tiba di tenpat upacara, maka untuk masing-masing perwujudan roh, dipilih sebanyak 108 lembar, ditusuk an dirangkai sedemikian rupa kemudian disebut Sekah. Jumlah Sekah sebanyak roh yang akan diupacarakan, di samping jumlah tersebut, dibuat juga untuk Lingga atau Sangge. Setelah Sekah dihiasi seperti tubuh manusia dengan busana selengkapnya (berwarna putih), dilakukan upacara Ngajum, yaitu mensthanakan roh pada Sekah tersebut, sekaligus ditempatkan di panggung upacara yang disebut Payajnan (tempat upacara yang khusus untuk itu terbuat dari batang pinag yang sudah dihaluskan).

3. Amet Toya Hening, adalah Rangkaian upacara selanjutnya dapat dilakukan pagi hari menjelang hari H berupa prosesi (mapeed) mengambil air jernih (toya hening) sebagai bahan utama air suci (Tirtha) bagi pandita atau dwijati yang akan memimpin upacara yajna Mamukur tersebut. Toya hening tersebut ditempatkan di bale Pamujaan (Pawedaan) di depan panggung Payajnan.

4. Mapinton atau Mapajati, adalah upacara ini berupa prosesi mapeed bagi puspasarira (roh yang diupacarakan) untuk mempermaklulmkan kepada para dewata yang bersthana pada pura-pura terdekat, utamanya pura untuk pemujaan leluhur (Kawitan).

5. Mapradaksina, upacara ini sering disebut Mapurwadaksina, yaitu prosesi mapeed bagi puspasarira yang dipangku atau dijunjung oleh anak cucu keturunannya, memakai bhusana serba putih, dilakukan pada hari “H”, setelah upacara Mapinton, mengelilingi panggung Payajnan sebanyak 3 kali dari arah selatan kea rah timur mengikuti jejak lembu putih yang dituntun oleh gembalanya, di atas hamparan kain putih, dilakukan secara khusuk, diiringi gamelan gambang, saron atau slonding, gong gede, kidung kakawin, pembacaan parwa (Mahabharata) dan Putrupasaji (bisa oleh Walaka senior).

6. Puncak Upacara, bersamaan dengan upacara Mapradaksina atau Mapurwadaksina seseorang atau beberapa pandita ?Sulinggih yang memimpin pelaksanaan upacara juga melakukan upacara:

6.1. Melaspas bukur atau madya atau padma anglayang, alat untuk mengusung puspasarira yang telah disucikan (di-pralina) berupa meru (beratap bertumpang) dihias dengan hiasan kertas emas, kemudian ditempatkan di dekat panggung Payajnan.

6.2. Ngaliwet yaitu upacara menanak nasi sebagai saji tarpana (penek/pulung-pulung kecil) disebut panda, sebanyak 108 buah dipersembahkan kepada roh yang diupacarakan, disamping dipersembahkan kepada para dewata dan leluhur. Memasaknya dilakukan di depan Sanggar Tawang (depan panggung Paajnan) ipimpin oleh pandita. Beras yang dipersiapkan diatas nyiru berisi lukisan padma dan wijaksara (hurup suci) tertentu dituangi empehan (susu) dan madu (madhuparka).
6.3. Ngenyitin Damar Kurung yang ditempatkan di sebelah panggung Payajnyan atau di pintu masuk areal upacara.

6.4. Ngilenan Padudusan yaitu melaksanakan upacara panyucian dutujukan kepada Sanggar Tawang (Sanggar Surya) untuk memohon perkenan para dewa/dewata turun menyaksikan dan menganugrahkan keberhasilan Yajna tersebut di panggung Payajnan untuk menyucikan roh-roh yang diuparakan.
6.5. Muspa yaitu upacara persembahyangan yang didahului pemujaan kepada Sang Hyang Surya sebagai saksi agung alam semesta, kemudian kepada para dewata dan leluhur, serta sembah untuk pelepasan roh (Atma) dari ikatan Sukma Sarira yang diikuti oleh Sang Yajamana dan seluruh keluarga besarnya.

6.6. Pralina yaitu upacara tahap akhir dilakukan oleh pandita (Sulinggih) sebagai symbol pelepasan Atma dari ikatan Sukma Sarira.
6.7. Papendetan yaitu mempersembahkan tari-tarian, bahwa tapa pelepasan roh telah dilaksanakan, para leluhur sesaat lagi akan menuju alam sorga.

6.8. Ngeseng Puspalingga yaitu membakar puspasarira (wujud roh) di atas dulang dari tanah liat atau dulang perak, dengan sarana sepit, penguyegan, balai gading dan lain-lain, dengan api pembakaran yang diberikan oleh pandita pemimpin upacara. Upacara ini sangat baik dilakukan pada dinihari saat dunia dan segala isinya dalam suasana hening guna mengkondisikan pelepasan Atma dari keduniawian.
6.9. Sekah tunggal. Selesai upacara Ngeseng maka arang/abu dari puspasasrira dimasukkan de dalam degan (kelungah) kelapa gading dibungkus kain putih dan dihias dengan bunga harum selanjutnya aisthanakan di dalam bukur di atas padma anglayang atau dalam bokor perak diikuti dengan persembahyangan oleh keluarga.

7. Nganyut Sekah ke Segara. Upacara ini merupakan tahap terakhir dari upacara Mamukur, dapat dilakukan pagi hari selesai upacara Ngeseng Sekah disebut upacara Ngirim. Setelah tiba di tepi pantai, arang/abu yang ditempatkan didalam kelapa gading dikeluarkan dan ditebarkan di tepi pantai yang didahului dengan upacara persembahyangan sesajen kepada Sang Hyang Baruna, sebagai penguasa laut, sekaligus permohonan penyucian rethadap roh yang diupacarakan dan diakhiri dengan persembayhangan oleh keluarga.

8. Dewapitra Praistha (ngelinggihan Dewapitra/Dewapitara), Upacara ini bukan merupakan bagian dari upacara Mamukur, melainkan merupakan upacara kelanjutan dari upacara Mamukur. Upacara ini sering disebut Ngalinggihang Dewa Hyang, merupakan tradisi lebih lanjut dari mendharma-kana leluhurnya pada pura kawitan masing-masing yang dirangkai pula dengan upacara Nyegara-Gunung atau Maajar-ajar, seperti ke Goalawah dan pura Dalem Puri serta Penataran Agung Besakih. —sumber