Makna Saput Poleng di Bali

Saput poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam seperti papan catur dan sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali digunakan oleh

  • para pecalang (perangkat keamanan), 
  • patung penjaga pintu gerbang, 
  • dililitkan pada kul-kul atau kentongan, 
  • dikenakan oleh balian atau pengobat tradisional, 
  • dihiaskan pada tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen / Semar, Hanoman, dan Bima), 
  • dikenakan oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan atau penyucian, 
  • dililitkan pada tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. dll

Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara lain meliputi corak warna berikut ::

  1. Saput poleng Rwa Bhineda, berwarna putih dan hitam. warna gelap (hitam) dan terang (putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma.
  2. Saput poleng Sudhamala, berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan dari warna hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan simfoni dharma dan adharma.
  3. Saput poleng Tridatu, berwarna putih, hitam, dan merah. Merah merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan) dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).

Pada intinya saput poleng digunakan sebagai simbol penjagaan atas keseimbangan dan keharmonisan. Implementasi falsafah ini dapat memberikan kita sebuah cerminan yang terimplikasi terhadap kehidupan beragama.

  • Warna hitam merupakan simbolik dari tamas (kemalasan) yang merupakan kekuatan adharma yang senantiasa ada jika dharma ada dan ini merupakan suatu hukum ilahi yang senantiasa berjalan terus. Kekuatan adharma tidak sepatutnya disalah-kaprahkan, namun seharusnya kita mengontol diri kita agar tidak membuat suatu tindakan yang dapat memprovokasi orang lain.
  • Warna putih yang secara umum merupakan suatu simbolik dari satwam yang secara umum merupakan suatu simbolik dari kekuatan dharma yang sudah sepatutnya memberikan cerminan kepada kita bahwa dalam hidup beragama kita harus memegang teguh prinsif dharma yang senantiasa memberikan kedamaian.
  • Warna abu pada saput poleng memberikan suatu implemtnasi terhadap suatu penyelarasan antara kekuatan dharma dan adharma. Jadi sikap seperti ini merupakan suatu cerminan sikap toleransi kehidupan beragama yang memberikan keselarasan dari sisi baik dan buruk.
  • Warna merah merupakan simbol keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan terhadap semangat untuk membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang kita miliki dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan membakar dan membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul bila semakin dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah, keenergikan tersebut jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak baik. —sumber