MAKNA UPACARA MEPRANI

Tulisan ini bukan untuk menggurui siapapun. Ini hanyalah catatan mengenai pemahaman saya tentang meprani yang selama ini banyak yang bertanya, apa sih meprani itu? mengapa meprani? dan sebagainya. Setelah sekian lama pertanyaan itu tersimpan di dalam pikiran sambil mencari jawabannya dalam sastra, yantra, mantra, adat budaya, serta cerita para tetua, maka tersusunlah catatan ringkas ini.

Upacara Meprani yang dilakukan di banjar pada saat satu hari menjelang Nyepi sejatinya hanyalah salah satu dari sekian banyak rangkaian upacara kesanga yang diawali dengan melasti, mecaru pemarisuda bhumi, meprani, ngerupuk, Nyepi (nyatur brata), ngembak geni.

Upacara meprani di banjar pada pagi hari sejatinya diawali dengan upacara pemarisuda bhumi (pembersihan dan penyucian bhuana agung dan bhuana alit) dalam sekala kecil yakni ruang lingkup banjar dan krama banjar. Upacara ini bersaranakan caru eka sata (ayam brumbun) sebagai sarana pengharmonisan alam sekala dan niskala, pengharmonisan Panca Maha Buta. Dilengkapi dengan banten durmanggala sebagai sarana untuk membersihan kedurmanggalan atau energi – energi yang tak sejalan dengan kehidupan manusia, dilanjutkan dengan pengulapan yakni sarana untuk mengembalikan energi – energi alam semesta ke posisinya masing – masing, dan dilanjutkan dengan ngelis dan prayascita yang maknanya adalah membersihkan dan menyucikan segala yang ada di dunia baik bhuana agung maupun buana alit, sekala dan niskala. Dengan upacara mecaru ini diharapkan energi alam semesta kembali dalam keseimbangan, bersih, tenang, dan suci. Inilah mengapa kemudian disebut dengan pemarisuda bhumi.

Lalu untuk ruang lingkup yang luas dilanjutkan dengan caru di tingkat desa yang dilakukan di catus pata desa dengan menghaturkan caru panca sata. Dilanjutkan lagi dengan yang lebih luas yakni untuk tingkat kabupaten / kota dengan pelaksanaan tawur di pusat kota. Demikian seterusnya dalam sekala yang lebih besar, dengan harapan alam semesta beserta dengan isinya kembali dalam kesimbangan (stabil) yang dalam bahasa balinya disebut dengan gumi degdeg / gumi enteg suci nirmala.

Kembali ke upacara yang dilaksanakan di banjar yakni meprani. Prani memiliki dua pengertian. Yang pertama pengertiannya adalah “mahluk” (sarwa prani / semua mahluk), kedua pengertiannya adalah “hidangan” yakni soda atau persembahan (dapat berupa gebogan) yang dilengkapi dengan hidangan nasi, lawar, sate, dan kuah.

Banten prani ini dihaturkan oleh setiap keluarga banjar, dibawa ke banjar. Dan ketika menghaturkan prani, banten ditempatkan langsung di hadapan krama yang menghaturkan prani. Banten prani kemudian di-astawa oleh jero mangku, dan tentunya juga oleh seluruh krama dengan cara ngayab. Jadi upacara Meprani adalah ungkapan rasa syukur dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan mempersembahkan banten serta hidangan (prani) untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani) dan alam semesta.

Setelah dilakukan bhakti pepranian (meprani) semua krama beramahtamah dengan makan bersama menikmati nasi, lawar, sate serta kuah yang ada di banten prani tersebut, sebagai simbol anugrah amerta Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada kita semua. Acara ini memiliki nilai sosial yakni kebersamaan antar sesama warga. Untuk makan bersama ini di beberapa tempat masih berlangsung. Meprani tidak saja dilakukan di banjar menjelang nyepi, namun tradisi meprani juga dilakukan di beberapa desa dan pura di Bali yang dilaksanakan pada bagian akhir dari rangkaian karya. (Ki Buyut/ Kanduk). –sumber