Melonggarkan Cengkraman Pikiran

Dicengkram secara sangat menakutkan oleh pikiran, itulah ciri utama jiwa-jiwa berbahaya. Merasa benar, kemudian berani menghancurkan kehidupan banyak orang. Tidak melihat sedikit pun kebenaran di agama orang lain, kemudian tempat suci orang dibakar. Yakin tidak bersalah, kemudian membubarkan pernikahan. Itulah sekelumit kisah perjalanan jiwa-jiwa berbahaya sejak dahulu kala.

Siapa saja yang diberkahi untuk bisa tumbuh secara hening dan bening, melihat jernihnya kolam jiwa di dalam, di sana ia bisa melihat. Kekerasan, kemarahan, kekacauan bukan godaan setan. Melainkan hasil cengkraman pikiran yang demikian menggenggam. Persisnya, pikiran yang belum disentuh oleh cahaya indah meditasi.

Sebelum kekacauan yang sama mengunjungi diri Anda, ada baiknya merenungkan tiga bahan renungan berikut, terutama agar pikiran tidak lagi mengacaukan. Bahan renungan pertama, setiap kali berjumpa orang kurangi merasa diri lebih penting dibandingkan dengan orang lain. Entah karena sebab kekayaan, status sosial, keterkenalan, pendidikan, begitu berjumpa orang jauhkan segala bentuk pikiran yang merasa diri lebih tinggi.

Seperti roda yang berputar, orang yang lebih tinggi di hari ini akan lebih rendah di hari lain. Bunga indah di suatu waktu akan jadi sampah di waktu lain. Wanita bermuka cantik di usia muda akan keriput di usia tua. Suka tidak suka, melakukan upacara atau tidak melakukan upacara, demikianlah hukum yang berlaku di alam ini.

Bahan renungan ke dua, seakurat apa pun informasi yang Anda miliki, seyakin apa pun logika yang ada di kepala, selalu ingatkan diri kalau logika dan kepala bukan segala-galanya. Meminjam warisan tua para filsuf, kebenaran mirip kaca cermin yang pecah berantakan. Dan pecahan-pecahannya berserakan di mana-mana. Tidak saja ada di rumah Anda dan agama Anda, tapi juga berserakan di rumah dan agama orang lain.

Sejujurnya, tatkala berjumpa realita, manusia mirip dengan tiga orang buta yang memegang tiga bagian berbeda dari tubuh gajah yang sama. Yang memegang belalai gajah mengira, kalau gajah sama dengan ular. Yang menyentuh kaki gajah menduga, kalau yang ia pegang adalah batang pohon. Orang buta yang bersender di tubuh gajah, meyakini kalau itu tembok.

Sementara pikiran yang sangat mencengkram selalu bertanya “siapa yang benar diantara ketiganya?”, pikiran yang sudah bersih-jernih, hening-bening pertanyaannya berbunyi seperti ini: “mahluk apa yang di satu bagian mirip ular, di bagian lain menyerupai batang pohon, sedangkan di pojokan lain berbentuk seperti tembok?”. Ini persisnya yang disebut berfikir dalam sintesa. Bukan diperkuda oleh analisa.

Bahan renungan ke tiga, di Barat ada ungkapan tua yang berbunyi seperti ini: “belajar mengenakan sepatu orang lain”. Maksudnya, kapan saja di dalam terasa sakit – entah tersinggung, entah merasa direndahkan – sisakan sebagian rasa untuk merasakan rasa sakit orang lain. Ringkasnya, saat Anda disakiti orang, sesungguhnya yang menyakiti juga sedang digoda rasa sakit.

Di jalan compassion (belas kasih), murid-murid dibimbing untuk selalu melihat jejaring penderitaan di balik orang-orang yang melukai. Ia bisa masa kecil yang penuh luka, orang tua yang tidak dewasa, atau sekolah yang bermasalah. Intinya, orang melukai tidak berdiri sendiri. Ia lebih dekat dengan “korban” kekerasan dibandingkan pelaku kekerasan.

Paduan antara tiga bahan renungan ini, pelan perlahan bisa membuat cengkraman pikiran semakin melonggar. Tandanya, bibir tidak lagi spontan berbicara begitu melihat orang berbeda. Perasaan tidak lagi mudah terbakar oleh kata-kata kasar. Dan pikiran, ia mulai bisa melihat ruang hening-bening diantara dua gagasan. Berbekalkan taman di dalam seperti ini, secara alami seseorang bertumbuh menjadi jiwa yang indah.

Penulis: Guruji Gede Prama.
Photo Courtesy: Twitter @Drc_19.

sumber