Yang dimaksud dengan mati salah pati adalah mati yang tidak terduga-duga karena kecelakaan atau di sarap macan, buaya, disenggot sampi, digigit ular, dibunuh, dll. Bisa juga Mati yang tak terduga-duga atau yang tidak dikehendaki Yang dimaksud mati ngulah pati adalah mati karena bunuh diri, bisa juga Mati karena sesat, yang mengambil jalan pintas, serta sengaja dikehendaki, yang sangat bertentangan dengan ajaran- ajaran agama Hindu.
Jenis mati Salah Pati dan Ngulah Pati.
- Salah Pati:
- Mati jatuh (kerubah baya).
- Mati ketekuk (kastha bahaya).
- Mati dimangsa macan, dimangsa buaya, ditanduk sapi, disambar petir, tertimpa tebing dan lain- lainnya (keserenggara).
- Ngulah Pati:
- Mati meracun diri.
- Mati menggantung diri.
- Mati menembak diri.
- Mati menceburkan diri
- dan lain- lainnya.
Pelaksanaan upacara/ upakara.
- Setiap orang meninggal harus diupacarai sesuai dengan ajaran sastra agama Hindu
- Khusus bagi yang ngulah pati, upacara/ upakara ditambah dengan banten pengulapan di tempat kejadian, perempatan/ pertigaan jalan dan cangkem setra:
- Banten pengulapan dipersatukan dengan sawanya baik mependem maupun atiwa- tiwa
Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 yang telah memutuskan bagi orang mati salah pati dan ngulah pati diupacarai seperti orang mati normal dan ditambah dengan penebusan serta diupacarai di setra atau tunon.
Ini merupakan reformasi atas Lontar: “Yama Purwa Tattwa Atma” yang menyatakan:
… YAN MATI SALAH PATI, TELUNG TIBAN WENANG PRATEKA, YAN NORA PRATEKA, WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN ANGALIH PATI LIMANG TIBAN WENANG PRETEKA;
YAN ATURU, MATI ATIMPUH, MATI ANGADEG, SININGOTING BANTENG, PITUNG TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN MATI NYUWANG SOMAH ANAK, LIMOLAS TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;
SEMALIH YAN HANA WANG NGEMADUWANG MUWANI, TEKANING PATINYA, TELUNG DASA TIBAN NANGGU TELUNG TIBAN WENANG PRETEKA …
Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati dan ngulah pati dapat diupacarai sebagai mati biasa dengan syarat ditambah beberapa upacara panebusan yaitu di: perempatan jalan Desa, di tempat kejadian, dan di cangkem setra, lalu ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa baik bila mapendem maupun bila segera di-aben.
Upacara meseh lawang merupakan loka dresta yang dipandang perlu untuk melengkapi upacara panebusan itu namun berbeda-beda pelaksanaannya; ada yang melaksanakan pada saat 42 hari setelah ditanam , dan ada yang melaksanakan pada saat pengabenan.
Kematian dan cara mati seseorang sudah diperjanjikan jauh ketika Sang Atma belum reinkarnasi (lahir kembali menjadi manusia) yaitu ketika Sang Atma menghadap kepada Hyang Wisesa (Ida Sanghyang Widi Wasa).
Oleh karena itu maka menurut Lontar “Puja Pengabenan” Sang Pandita yang memimpin upacara pengabenan berkewajiban menuntun Sang Atma dalam perjalanannya menghadap Hyang Wisesa dengan nasihat/ pitutur kepada Sang Atma ketika upacara Nyekah yang disebut “Puja Putru Saji Nyekah” antara lain berbunyi:
… LUMARIS TA KITA RING KADEWATAN, JUMUJUG PWA KITA RING KAHYANGANIRA HYANG WISESA, MWAH TINAKONAN PATINTA DE BETHARA HYANG WISESA, WARAHIN PATINTA, ELING RING SAMAYANTA … DST
… AYUWA LAWAS DENTA MANDADI DEWATA, PITUNG LEK PITUNG WENGI LAWASANTA MANGGE RING SWARGA, AREP PWA KITA TUMITIS ANJANMA, AYUWA KITA NYOLONG TUMITIS ANJANMA MANAWA KITA ANWAN PEJAH … DST
… AYUWA KITA ASEMAYA MATI KESARIK, SININGGOTING KEBO SAMPI, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SINAWUTANING WUHAYA, SINAWUTANING ULA, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SEDENG BISA PAPALAYON, SEDENG SAPANGANGON, SEDENG RUMAJA PUTRA, SEDENG APAPANGKAS, SEDENG ANUWUH TUWUH, MWAH AYUWA KITA SAMAYA MATI SAKALWIRING KAPANGAWEN, ANGULAH PATI, SALAH PATI, ASEMAYA KITA ANUTUGAKEN TUWUH …
Demikianlah bunyi Lontar yang digunakan oleh Sang Pandita yang bertanggung jawab; oleh karena itu sangatlah penting artinya untuk memilih Sulinggih Dwijati/ Pandita yang diminta untuk muput upacara ngaben.
Bila Putru tersebut tidak diucapkan atau salah diucapkan atau diucapkan oleh yang tidak berwenang, maka bisa menyesatkan Sang Atma sehingga terjadilah kematian-kematian yang tidak wajar tersebut. –sumber