Mengenal Upacara Napak Sithi, Saat Bayi Pertama Kali Turun ke Tanah

BALI EXPRESS, DENPASAR – Pawetonan atau Otonan dan upacara turun ke tanah yang juga disebut Napak Sithi, merupakan kelanjutan dari pelaksanaan upacara tiga bulanan. Upacara ini dilaksanakan tepat saat bayi berusia 210 hari. Bagaimana sejatinya upacara ini?

Otonan atau pawetonan berasal dari bahasa Jawa kuna, yakni ‘wetu’ atau ‘metu’ yang artinya keluar, lahir atau menjelma. Dari kata ‘wetu’ menjadi ‘weton’ dan selanjutnya berubah menjadi ‘oton’ atau “’otonan’.

Demikian pula kata ‘piodalan’ dari kata ‘wedal’ berubah menjadi ‘odal’ atau ‘odalan’ yang juga mengandung makna yang sama dengan ‘weton’ . “Di dalam bahasa Sanskerta kata yang mengandung pengertian kelahiran adalah ‘janma’dan kata ‘janmadina’ atau ‘janmastami’ mengandung makna ‘hari kelahiran’ atau hari ulang tahun,” ujar Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (1/2).

Selain itu, ada juga yang mengatakan Otonan berasal dari kata ‘pawetuan’, yaitu peringatan hari lahir menurut tradisi agama Hindu di Bali yang didasarkan pada sapta wara, panca wara, dan wuku. Dalam kalender Bali otonan dirayakan setiap 210 hari (setiap 6 bulan).

Jadi, secara etimologi Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan sapta wara, panca wara dan wuku yang berbeda dengan pengertian hari ulang tahun pada umumnya yang didasarkan pada perhitungan kalender atau tahun Masehi. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu, yang datangnya setiap enam bulan sekali

Dalam menentukan hari Otonan yang harus dijadikan patokan adalah sistem kalender Saka-Bali. Yang mana dalam pergantian hari atau tanggal, yaitu ketika matahari terbit (sekitar jam 6 pagi).

Jika untuk bayi, Otonan pertama kali dilakukan ketika sudah berumur 105 hari atau tiga bulanan, karena organ tubuh dianggap sudah berkembang sempurna dan semua panca indra sudah aktif, di mana panca indra anak itu dapat membawa dampak positif dan negatif pada kesucian jiwa, sehingga harus dilakukan Otonan.

“Jika belum dilakukan Otonan atau diupacarai tiga bulanan, maka anak itu masih cuntaka atau belum suci,” imbuhnya.

Upacara Pawetonan atau Otonan untuk bayi memiiki dua sudut pandang. Sudut pandang sekala (duniawi) dan sudut pandang filsafat agama. Jika dipandang dari sudut duniawi, seoarang bayi boleh diturunkan ke tanah setelah menginjak umur enam bulan. Bayi tersebut belum dianggap penuh waktunya beradaptasi dengan alamnya, sehingga belum secara penuh mendapat kekebalan pada tubuhnya,

Dijelaskan lebih lanjut Mangku Satra, jika diteliti dari sudut pandang filsafat agama, pelaksanaan upacara pawetonan dan napak sithi menggunakan pedoman angka 210 hari. Angka tersebut merupakan petunjuk angka Samkhya, sebagai dasar tattwa dengan menjumlahkan angka tersebut, dari penjumlahan tersebut didapat angka tiga. Angka tiga merupakan simbol mulai aktifnya Tri Pramana (Bayu, Sabda dan Idep) bayi terhadap rangsangan dari luar. Sehingga, dalam keadaan demikianlah dimohonkan kepada Ida Sang Hyang Widi melalui pelaksanaan upacara Pawetonan dan Napak Sithi.

Jika dilihat dari kata enam bulan, akan mendapatka angka Samkhya, dengan angka enam yang mengandung makna sebagai simbol Sad Ripu. Dengan adanya sifat Sad Ripu yang dibawa bayi sejak lahir, maka upacara Pawetonan atau dan Napak Sithi harus dilaksanakan agar dapat meminimalisasi kekuatan Sad Ripu yang ada dalam diri si bayi.

Dalam upacara Otonan yang sederhana, sarana cukup banten pajati (untuk Bhatara Guru/Kemulan), dapetan (sebagai tanda syukur) dan sesayut pawetuan (untuk Sang Manumadi), segehan (untuk Bhuta) dan dapat diisi kue taart di atasnya dikasi canang sari dan dupa, kemudian didoakan.

Otonan tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melaksanakan Otonan. Tidak ada gunanya Otonan yang besar, namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang yang lebih tua. Akan sia-sia upacara Otonan itu, jika hanya untuk pamer kepada tetangga. Otonan harus dapat mengubah perilaku yang tidak benar menjadi tindakan yang santun, hormat, bijaksana dan welas asih, baik kepada orang tua, saudara, dan masyarakat. Otonan yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada realisasi diri yang tertinggi. Karena dalam upacara Otonan terkandung makna bahwa kita berasal dari Brahman dan harus kembali kepadaNya.

Dalam prosesi Otonan, terdapat sebuah simbolis, yaitu pemasangan gelang di tangan berwarna putih. Kenapa menggunakan benang? karena benang mempunyai konotasi ‘beneng’. Dalam bahasa Bali halus dapat diartikan dua hal, pertama, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Ini maksudnya agar hati yang Otonan selalu di jalan yang lurus dan benar. Kedua, benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang Otonan dan tidak mudah patah semangat. Khusus untuk bayi yang baru pertama kali melaksanakan upacara Otonan, biasanya menggunakan sarana banten yang lebih besar, yakni Udel Kurenan yang disertai upacara natab ke Bale Agung, dilanjutkan dengan madagang-dagangan, serta dilanjutkan dengan membopong bayi menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Upacara inilah yang disebut Napak Sithi dan dipuput oleh pemangku.

Sarana upacaranya pun banyak, atara lain adalah menggunakan Rerajahan Badawang Nala yang merupakan simbol kekuatan pertiwi yang tak lain adalah pijakan semua mahluk hidup di bumi. Sangkar Ayam yang merupakn simbol akasa untuk memberikan kehidupan di alam semesta. Yuyu, ikan nyalian dan udang, merupakan simbol Tri Pramana. Pane dan air merupakan simbol angga sarira dan pikiran manusia. Megogo-gogoan merupakan cerminan permohonan kehadapan Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kesempurnaan Tri Pramana.

“Khusus untuk ritual ini yang memangku sang bayi harus seorang anak yang belum maketus atau giginya belum tanggal, karena diyakini masih memiliki sifat Dewata dan pikiran yang bersih.” tutup Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber