Mitos Janur (Busung) Sebagai Sarana Upakara Di Bali

Dibalik banyaknya fungsi dari janur sesuai dengan jenis-jenis janur, ada sekelumit mitologi sehubungan dengan janur. Dalam Usana Bali dikisahkan, Dewa Pasupati yang berstana di Gunung Maha Meru mengutus anaknya Dewa Putra Jaya serta Dewi Danuhuntuk pergi dan berstana di Bali. Beliau diharapkan menjadi junjungan bagi umat di Pulau Bali. Sebelum keberangkatannya ke Bali, Dewa Pasupati memberikan berbagai wejangan kepadanya. Demikian pula Dewa Pasupati menganugrahkan kain kepada Dewa Putra Jaya (Dewa Maha Dewa) dan Dewi Danuh sebagai bekal dalam perjalanannya menuju ke Bali. Sungguh sangat ajaib, dengan Kemahakuasaan-Nya kain yang diberikan tersebut terbuat dari janur kelapa gading. Setelah memberikan kain tersebut Dewa Pasupati berkata, “Wahai anakku Putra Jaya dan Dewi Danuh, mudah-mudahan ananda selamat dalam perjalanan dan selamat sejahtera menikmati keadaan alam Bali serta menjadi junjungan umat di Pulau Bali.”

Kini janur sangat banyak  digunakan sebagai sarana untuk jejahitan dalam membuat banten atau upakara. Seperti misalnya tamas , aled/ taledan, berbagai jenis canang, berbagai jenis sampian, tamiang, lamak, gantungan, ceniga, dan jenis yang lainnya. Janur warnanya yang kuning, melambangkan sebuah kemakmuran dan kesemarakan sebuah persembahan. Lebih-lebih lagi setelah dihiasi dengan aneka rupa kembang, dengan baunya yang harum semerbak mewangi memancarkan vibrasi, kesucian. Reringgitan (tetuwasan) melambangkan kelanggengan dan kesungguhan hati sang melaksanakan persembahan. Aneka bentuk reringgitan bak gerak-gerak yoga mengingatkan kita akan kemahakuasaan-Nya. Berbagai bentuk reringgitan dengan berbagai makna simbolik religius terbungkus oleh nilai estetika. Ada simbol kemahakuasaan-Nya, simbol Tuhan, simbol alam dan lainnya. Kini bagi umat Hindu, janur termasuk pula daun kelapa yang sudah tua yang disebut slepan digunakan sarana utama untuk membuat upakara, disamping dengan sarana yang lain.

Tepi Janur Pantang untuk Bahan Upakara

Janur bagi masyarakat Hindu merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk jejahitan (sarana upacara). Warna daunnya dominan berwarna kuning. Kalau kita perhatikan, janur (daun kelapa muda) pada bagian pinggirnya seakan ada tepinya yang berwarna hijau. Bagi ibu-ibu yang biasa mejejahitan membuat sarana upacara, maka biasanya pada bagian hijaunya ini selalu dibuang. Selain nampaknya tidak indah secara mitologi dikaitkan dengan cerita Sang Mayadenawa seperti yang dikisahkan dalam Usana Bali.

Cerita ini berkaitan erat dengan kekalahan dari Sang Mayadenawa melawan pasukan Dewa Indra.Dari kekalahan tersebut lantas Sang Mayadenawa berusaha untuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi. Ia lari naik ke pohon kelapa sreta bersembunyi di dalam nya berubah wujud menjadi janur. Ketika janur mau ditebas ia berubah lagi menjadi Mayadenawa. Mayadenawa sebagai simbol Raja Raksasa yang tidak percaya dengan adanya Tuhan. Karena kesaktiannya dan keangkuhannya membuatnya takabur. Menyamakan dirinya dengan kemahakuasaan yang dimiliki Tuhan, walau kenyataannya tidak seperti itu. Hal inilah pula yang menyebabkannya ia melaeang umat untuk memuja apalagi mempersembahkan upacara kepada Tuhan. Namun karena kesombongan dan keangkuhannya membuatnya menjadi celaka. Untuk itulah bagi umat yang menggunakan janur sebagai bahan upakara selalu membuang tepi janur. Selain memang kurang indah secara filosofis membuang tepi janur mengandung makna membuang segala keangkuhan dan kesombongan dalam melaksanakan upacara yadnya. —sumber