Ngaben Puput dan Patut Jadi Solusi Orang Bali Takut Mati di Bali

BALI EXPRESS, DENPASAR – Guna mengatasi polemik umat Hindu takut mati di Bali akibat biaya ngaben sangat besar, Pinandita Sanggraha Nusantara Kota Denpasar menggelar seminar, Minggu (16/9). Seminar ini diikuti 350 pemangku se-Kota Denpasar. Harapannya nanti prosesi ngaben itu berjalan dengan puput dan patut (selesai dan tepat). Selain itu perlu ada pelurusan tradisi yang memberatkan umat.

Kegiatan yang berlangsung di Gedung Wanitha Santhi Graha, Denpasar tersebut bertemakan reformasi ritual upacara dan upakara ngaben. Sehingga prosesinya tidak sebagai memberatkan umat setiap upacara ngaben berlangsung di Bali. Selain itu, prosesi upacaranya berlangsung dengan puput dan patut.

Ketua Panitia I Wayan Dodi Aryanta menyampaikan seminar itu khusus mengangkat upacara ngaben. Hal itu dilakukan mengingat karena banyak permasalahan pengabenan. “Terutama pelaksanaan ngaben yang puput dan patut. Semoga melalui seminar ini dapat memberikan pemahaman yang benar untuk pelaksanaan ngaben,” jelasnya Minggu (16/9).

Dia melanjutkan, dari hasil seminar itu juga kedepannnya dapat menjawab polemik yang ada di masyarakat. Sehingga masyarakat khususnya umat Hindu tidak takut mati di Bali akibat besarnya materi yang harus dikeluarkan. Di samping itu juga masyarakat tahu pengabenan bagaimana yang benar dan sesuai sastra agama.

Hasilnya juga harus semua pihak masyarakat mengetahuinya. Mengingat tokoh pemangku sebagai ujung tombak pelaksanaan yadnya di masyarakat. “Sehingga mereka para pemangku berkewajiban memberikan pemahaman terkait ngaben puput dan patut tersebut,” papar dia.

Seminar religius itu menghadirkan tiga narasumber, terdiri atas Ida Pedanda Gede Buruan yang mengangkat tema tentang ketattwaning ngaben. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti mengangkat tema dilema ngaben, meluruskan traidisi-tradisi yang memberatkan umat. Dan, Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda membawakan materi susahnya mati di tanah Bali, kremasi sebagai salah satu solusi.

Dalam kesempatan tersebut, Ida Rsi Bujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti mengungkapkan banyaknya masyarakat dilema dengan ngaben. Dalam seminar tersebut ia menyampaian materi guna meluruskan tradisi-tradisi yang memberatkan umat. Terlebih fenomena tersebut sudah banyak yang kelihatan. Mulai dari masuk ajaran-ajaran tertentu supaya terhindar dari aturan adat, hingga pindah kepercayaan.

“Permasalahan itu bukan terjadi karena kesalahan dari perubahan zaman. Namun kurang penganalisaan dari prajuru adat di tempat tersebut, serati banten, masyarakat, bahkan sulinggih untuk mengatasi perubahan dan permasahalan tersebut,” tandasnya.

Terkait dilema dengan ngaben, dia mengungkapkan masyarakat yang jarang ke banjar takut kena sanksi (kasepekang). Ia menyarankan agar prajuru desa harus menghindari adanya penjatuhan sanksi atau kasepekan kepada krama Hindu. Mengingat karena terikat aturan pada tempat kerja orang bersangkutan jarang ke banjar. Berbeda dengan halnya yang memang malas melakukan gotong-royong ke banjar perlu diadakannya pendekatan yang lebih mendidik.

Sedangkan solusi untuk mengatasi keharusan melakukan upakara pengabenan yang besar dan mahal, dia mengaku bahwa sudah diatur dalam Sloka Bhagawad Gita IX. 26. Yaitu tidak ada keharusan untuk melakukan upacara dengan upakara bebantenan yang besar dan mahal.

Yakni, pattram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhakyauphritam, asnami prayatatmanah. Yaitu yang berarti; siapa saja yang sujud di hadapan Ku dengan persembahan sehelai daun, sekuntum buunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.

Menurut Ida Rsi Bujangga Waisnawa juga mengaku upacara pengabenan dapat dilakukan dengan kemampuan seseorang. Sehingga tidak akan terjadinya dilema dan membuat umat berat dalam melakukan upacara tersebut. Mengingat upacara ngaben baik bagi orang mampu dan tidak mampu sudah disebut sempurna dengan menggunakan Upakara Inti.

“Upakara Inti itu di dalamnya terdiri atas nasi, angkeb, bubur pirate, panjang ilang, dyus kamalagi, pengadang-adang dan tirtha pangentas. Ditambah juga dengan ayaban banten pangiring yang sesuai kemampuan,” terangnya.

Pada tempat yang sama, Ida Pedanda Gede Buruan Manuaba terkait ketattwaning ngaben ia mengaku yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah hakekat dari upacara dan upakara. Sehingga masyarakat dapat memilih sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

“Bukan bantennya yang disederhanakan, namun tattwa-nya perlu diberikan kepada masyarakat. Sehingga dengan memahami tattwa-nya, umat dapat memilih upacara, upakara yadnya yang akan dilakukan sesuai kemampuannya,” terang Ida Pedanda Gede Buruan.

Dengan demikian, ia memaparkan dipandang perlu dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Tentu dalam pendekatan secara filosofis dengan metode studi pustaka yang ditunjang dengan pendekatan sejarahnya. Secara filosofis dia mengaku dalam mengetahui makna upacara ngaben lebih dalam. Sehingga sebagai acuan dalam mendeskripsikan tentang manfaat dari bebantenan.

“Kalau secara sejarahnya atau historis guna mengetahui perkembangan keberadaan upacara ngaben itu sendiri. Mengingat macam pengabenan terdapat sekitar 16 jenis banyaknya,” imbuh Ida Pedanda Gede Buruan.

(bx/ade/bay/yes/JPR) –sumber