Mudik (pulang kampung) menjadi fenomena menarik dan semakin menarik dalam satu dekade terakhir ini. Yang menjadi bintang dari arus mudik tersebut adalah yang namanya Jalur Pantura (Pantai Utara Jawa) yang dipadati kendaraan dan antrean manusia yang ingin segera sampai di kampung halamannya.
Fenomena mudik ini mengindikaiskan bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia sangatlah tinggi, sebagai konsekwensi dari terkonsentrasinya perekonomian hanya di perkotaan, yang artinya pemerataan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang dicita-citakan pemerintah belum terwujud. Sehingga ratusan ribu bahkan jutaan manusia Indonesia yang ada di pedesaan harus pergi ke kota untuk mengadu nasib, mencari sesuap nasi.
Ditinjau dari segi budaya, mudik adalah sebuah warisan budaya Hindu Nusantara masa lampau yang di Jawa disebut dengan sungkem, kalau dalam bahasa Balinya disebut dengan mesimakrama. Artinya mengunjungi sanak famili ketika hari raya untuk mohon maaf, mohon restu kehadapan orang tua. Ini adalah sebagai cerminan dari manusia yang tak melupakan tanah kelahirannya, tak melupakan asalnya, atau dalam bahasa Bali disebut dengan inget tekening rerama tur inget teken kawitan (ingat dengan orang tua dan ingat dengan asal). Entah yang mana dominan dari kedua aspek tersebut, (ekonomi dan budaya), yang jelas mudik menjadi semakin ngetren setiap tahun.
Mudik Memang rame di daerah Jawa dan semakin ngetren ketika semua masyarakat Indonesia ikut-ikutan mudik. Tak ketinggalan masyarakat Bali yang berasal dari Jawa. Ketika Lebaran semuanya mudik. Karena sekian banyaknya masyarakat mudik, membuat kota Denpasar sebagai jantungnya perekonomian masyarakat Bali juga terkena imbas. Tampak adanya kelesuan aktivitas ketika mudik itu berlangsung. Ditambah lagi dengan masyarakat kota Denpasar yang beragama Hindu yang berasal dari desa-desa di Bali juga ikut mudik karena liburan, maka lengkaplah sudah kelesuan itu terjadi.
Nah, sekarang bagaimana dengan masyarakat Denpasar yang asli atau yang tak mudik. Kelesuan dan kesepian sangat terasa sekali. Kota menjadi sepi, jalan menjadi lebih lengang. Anehnya lagi adalah I Made Kuwir tampak mondar-mandir ke sana ke mari di jalan naik sepeda motor. Apa yang dicari?. Ternyata ia sedang mencari dagang makanan seperti bakso, nasi goreng, dll. I Made Kuwir berkata, onye dagange mudik, keweh baane, sing ada dagang apa” (semua dagang mudik, tak ada dagang makanan”. Hal itu didengar oleh I Bonglet dan berkata “dagang apa alih cai, to dagang liu. Cai mula ja demen meblanja ajak nak Jawa” (dagang apa yang kau cari. Dagang banyak. Dasar kamu senang belanja di warung Jawa).
Itu hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak krama Bali yang merasa kesulitan dan kelimpungan mencari dagang ketika musim mudik. Kejadian di atas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Bali atau penduduk Denpasar ketika mudik berlangsung merasa kesulitan untuk mencari dagang makanan. Sebagian masyarakat kelimpungan, merasa kehilangan ketika ditinggal mudik oleh saudara-saudara dari Jawa.
Ini sebagai indikasi bahwa ketergantungan krama Bali terhadap saudara dari Jawa sudah sedemikian jauh, sehingga ketika ditinggal mudik, mereka seperti pitik kilangan ina (anak ayam kehilangan induknya). Ini juga sebagai indikasi bahwa sedemikan besarnya peranan para perantau dari jawa sudah menguasai denyut nadi perekonomian masyarakat Bali.
I Bonglet yang cinta Bali mengatakan bahwa semuanya itu disebabkan oleh ulah krama Bali sendiri yang tidak suka belanja di warung krama Bali sendiri dan lebih suka berbelanja di sauadara non Bali. Krama Bali menjadi bangkrut dan krama pendatang jadi semakin menjadi-jadi. Apakah kualitas dagangan orang Bali jelek atau lebih mahal ? Rasa-rasanya juga tidak. Memang inilah fenomena krama Bali, kenapa tak mau memberdayakan saudara sendiri. Sepertinya kita lebih suka melihat orang Bali bangkrut di tanah kelahirannya dan mulai tergantung dengan teman-teman dari luar. Seandainya Krama Bali saling mendukung satu sama lain, maka ketergantungan terhadap pihak luar akan menjadi semakin minim, sehingga ketika mereka mudik, krama Bali tak repot ke sana- kemari untuk mencari warung makanan.
Semestinya momen mudik ini digunakan oleh krama Bali untuk bangkit, untuk kembali meningkatkan rasa solidaritas diantara sesama krama Bali untuk membangun ekonominya tanpa banyak tergantung dengan pihak lain. Kenapa kita merasa kehilangan di tanah kelahiran kita sendiri ?. Hilangkah rasa iri hati di antara sesama manusia Bali. Jangan berpikir sirik kepada suadara sesama Bali. Satu lagi, sebaiknya krama Bali jangan terlalu gengsi dalam meilih pekerjaan. Hilangkan gengsi gede-gedean yang telah membawa orang Bali tak berdaya di tanah kelahirannya serta tak mampu bersaing dengan saudara rantau.
Lagi pula kalau hal makanan, krama Bali tergila-gila dengan masakan teman rantau, tetapi sadarilah bahwa sampai saat ini mereka belum mau menyentuh masakan orang Bali karena perintah agama yang diyakini. Mereka sebagai orang rantau memang tak salah, tapi kita-kita ini sebagai krama Bali yang tak mau memproteksi diri, sehingga harus menjadi tergantung dengan mereka-mereka itu. Kalau masih aja sikap krama Bali seperti ini, yah kita akan semakin tergantung dengan saudara dari seberang sana. Ingat semua ini adalah kesalahan krama Bali sendiri. Krama Bali mesti lebih protek terhadap dirinya sendiri kalau tak ingin kehilangan jati diri. Demikian I Bonglet ngoceh kepada I Kuwir. (I Nyoman Ibuk). –sumber