Perceraian Menurut Hindu Di Bali

Hindu sebenarnya sangat melarang adanya perceraian antara suami dan istri, kecuali suami atau istri berkhianat dan tidak setia. Itupun tergantung pada konteksitas terhadap pelanggaran Satyeng Lhaki atau Satyeng Wadon. Menurut Reg Weda, sudah sangat salah kalau kita bercerai atau berpisah. Karena sudah melanggar Yadnya yang sangat susah dilakoni secara materiil, moril, dan spiritual. Perlu Mulat Sarira atau intropeksi diri antara suami dan istri yang berkhianat dan tidak setia.

Kalau istri membuat kesalahan fatal dan melanggar Dresta { adat }, agama, serta norma hukum formal, menurut Nitisastra hal itu yang seharusnya dibuang, justru dipelihara kita akan semakin berdosa. Masa lalu dan hari ini adalah sebuah kenyataan akumulasi dari Karma { perbuatan } sebagai pelajaran. Hari esok adalah harapan. Jangan kau hancurkan ladang harapan dengan benih masa lalu yang sudah usang. Kasihan anak-anak, sekarang sudah dapat pelajaran, bukan? Maka harus berhati-hati menjawab soal ujian supaya lulus dalam mencari pengganti.

Perceraian sangat merugikan beberapa pihak diantaranya anak jadi terlantar karena akan diasuh oleh ibu tiri. Dalam ajaran Hindu menyarankan jangan bercerai karena saat melangsungkan perkawinan, kita telah berjanji pada orang tua, leluhur, dewa dan pada guru sebagai saksi. Karena sebelum melangsungkan perkawinan, kita juga harus mencari hari baik dengan seksama dan memadukan dengan beberapa Wariga [ hari baik } Dalam ajaran Hindu juga ada konsep Catur Asrama, Perkawinan { Grahasta } salah satunya. Kalau bercerai artinya mereka gagal dalam tahafan tersebut.

Hindu sangat fleksibel, Mereka yang memilih Brahmacari sampai tua juga dihormati. Tidak ada yang salah, manusia sepenuhnya memilih dan menerima akibatnya. Adil, bukan? Di Bali, perceraian merupakan pilihan terakhir. Jika bisa, sedapat mungkin harus dihindari karena kesan dan akibatnya kurang baik. Grahasta sudah anda lakoni, soal berhasil atau tidak, itu urusan lain. Asalkan bukan anda penyebabnya. Sama seperti orang kuliah, tidak semua yang berhasil menjadi sarjana.

Apakah orang tua berhak mencampuri urusan rumah tangga anaknya? Boleh mencampuri asalkan untuk memperbaiki keadaan. Mengenai pilihan untuk pendamping hidupnya, keputusa mutlak hak anak tidak boleh diambil oleh siapapun. Memang orang tua harus mencampuri urusan rumah tangga anaknya tapi hanya sebatas diluar. Kecuali masalah hati intern rumah tangga hanya tuhan yang boleh campur tangan. Dengan demikian, kalau sudah berumah tangga harus mandiri dan berpisah dari orang tua. Mencampuri urusan rumah tangga anak sebenarnya sangatlah tidak baik. Harus memberi kemandirian agar anak bisa bertanggung jawab tentang sesuatu dan harus memberi dukungan yang baik pada anak.

Bagaimana caranya agar perkawinan kita bisa abadi? Si lelaki harus bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta si lelaki harus sabar. Nomer dua adalah keterbukaan, apa adanya, saling menerima kekurangan dan kelebihan, saling menghargai, dan komit dengan tujuan berkeluarga.–sumber