BALI EXPRESS, DENPASAR – Purnama kapat, yang kali ini jatuh pada Sabtu (15/10/2016) menjadi hal yang spesial bagi pengempon Pura Dalem Segara di Pantai Karang, Sanur. Pasalnya, pada saat purnama kapat itulah, Pura yang ada di laut tersebut muncul. Dan, munculnya pun saat dini hari, antara pukul 02.00 hingga 05.00.
Saat prosesi tersebut, angin laut berhembus sangat kencang. Maklum, hari sudah lewat tengah malam. Meski dingin menyelimuti pesisir Pantai Karang, tak mengurangi semangat pemedek untuk melaksanakan ritual ngaro di Pura Dalem Segara.
Ritual ngaro yang dilaksanakan ini memiliki keunikan tersendiri. Pasalnya mulai dari persiapan upacara dan bahan yang dipergunakan harus dipersiapkan saat matahari mulai tenggelam. Sehingga seluruh banten yang digunakan masih segar.
Seperti apa upacara ngaro yang diselenggarakan setahun sekali ini? Menurut Pengempon Pura dalem Segara, Nyoman Sunarta, ngaro ini adalah ritual yang diselenggarakan setahun sekali setiap Purnama Kapat (atau Purnama bulan keempat pada sistem Kalender Bali, Red).
“Ritual ngaro ini sering disebut sebagai piodalan di Pura Dalem Segara. Pura Dalem Segara ini adalah Pura Dalem yang terletak di tengah Samudra dan akan terlihat ketika air surut, dan puncak surutnya adalah ketika Purnama Kapat, sehingga saat itulah diselenggarakan upacara ngaro,” jelasnya.
Adapun makna dari ritual ngaro ini disebutkan Sunarta adalah suatu bentuk ungkapan rasa terima kasih warga Madura yang ada di Sanur kepada Dewa Baruna sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widi sebagai penguasa lautan atau samudera.
Untuk asal usul dari ritual ngaro ini sendiri dikatakan Sunarta tidak terlepas dari perjalanan Mpu Baradah dan Sang Hyang Yogi Swara ke Bali sehingga menurunkan warga Madura di Desa Sanur.
Dijelaskan, Sang Hyang Yogi Swara datang ke Bali sekitar abad ke-10 dengan tujuan untuk menyelamatkan bumi Nusantara. Karena pada masa tersebut Kerajaan Singasari sudah runtuh.
Dalam perjalannya ini, tibalah Sang Hyang Yogi Swara di sisi timur Kota Denpasar dan mendapati sebuat kawasan rawa-rawa yang luas. Sementara Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke barat dan membangun beberapa pura di wilayah barat Desa Sanur. Sedangkan Hyang Yogoi Swara melakukan Tapa Semadi di tengah lautan.
Setelah melakukan tapa semedi tersebut, akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu BAradah bertemu. Tempat pertemuan itulah yang disebut dengan Madura yang beradal dari dua kata yakni Madu yang artinya bertemu dan Ara yang artinya ari. Jadi Madura ini berarti pertemuan daratan dan air laut. “Sehingga rawa-rawa tempat pertemuan tersebut disebut sebagai wilayah Madura dan keturunan Hyang Yogi Swara di tempat tersebut disebut dengan Warga Madura. Dan sampai sekarang tempat wilayah ini disebut dengan Banjar Madura,” ungkapnya.
Setelah memiliki wilayah dan memiliki keturunan ini, maka Hyang Yogi Swara memerintahkan kepada keturunannya untuk membuat suatu persembahan bagi Sang Hyang Baruna dan dihaturkan di tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi ketika air laut surut. Selanjutnya ritual menghaturkan persembahan tersebut disebut dengan nama ngaro.
Adapun bentuk persembahan yang dihaturkan ketika upacara ngaro ini berupa banten sederhana yang terdiri dari buah-buahan dan dua jenis bubur. Yakni bubur merah dan bubur putih. Seluruh perlengkapan upacara ini dikatakan Sunarta dipersiapkan pada malam hari sebelum upacara ngaro dilaksanakan.
“Untuk buah-buahan yang digunakan adalah buah lokal. Termasuk juga bunga yang digunakan adalah bunga jepun putih dan bunga jepun merah,” paparnya.
Hal ini menurut Sunarta untuk menjaga nilai kesucian dari bahan baku dan proses yang digunakan dalam pembuatan sesajen untuk upacara ngaro. Selain bahan baku yang digunakan dipersiapkan pada malam harinya, seluruh proses pembuatannya juga tidak menggunakan teknologi modern.
Seperti dalam membuat tepung. Beras yang digunakan harus ditepung dengan lumpang dan proses memasaknya pun harus menggunakan kayu bakar. Selain itu proses pembuatannya juga tidak boleh dikerjakan oleh orang yang sedang cuntaka ataupun ibu menyusui. Karena bisa mengurangi nilai spiritual dari bebantenan tesebut.
Setelah banten selesai dibuat, selanjutnya banten dibawa ke Segara dan seharusnya upacara ngaro dilakukan tanpa mengunakan penerangan dari lampu. Karena ketika upacara ngaro berlangsung sinar bulan dikatakan Sunarta sedang menyinari bumi dengan maksimal, karena posisi bulan tepat berada di atas Katulistiwa.
Upacara Ngaro ini diselenggarakan sekitar pukul 02.00 dini hari dan berakhir pada pukul 05.00 pagi, ini karena menjelang pagi air laut sudah mulai pasang dan lokasi Pura sudah mulai tertutup air. “Sehingga waktu untuk menyelenggarakan upacara cukup singkat,” tambahnya.
(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber