RUMAH CAHAYA

Seorang sahabat yang baru pulang mengunjungi kerabat dekat membawa cerita yang sangat menyentuh hati. Dalam bayangan orang kebanyakan, di masa tua anak-anaklah yang lebih pantas merawat orang tuanya. Namun yang terjadi pada keluarga yang baru dikunjungi ini terbalik, orang tuanya yang sudah tua renta, yang menggendong tubuhnya sendiri saja sudah berat, malah harus merawat anaknya yang masih muda yang mengalami gangguan kejiwaan.

Jika orang tuanya bisa menjalani keseharian seperti ini dengan tulus dan ikhlas, ia bisa menjadi bekal yang sangat meyakinkan untuk pulang ke alam setelah kematian. Dan apa yang terjadi pada orang tua di atas terbalik, setiap hari ia marah-marah pada anaknya yang menimbulkan beban yang sangat berat di usia tua.

Pertanyaan menyentuh yang muncul kemudian sederhana, ke mana jiwa dibawa setelah kematian kalau di umur tua seseorang hidup demikian gelapnya? Dan bukan tugas tulisan ini untuk menghakimi orang. Tugas tulisan ini hanya menghadirkan sejumlah tumpukan renungan agar banyak jiwa yang bisa diselamatkan.

Setelah mempelajari sejumlah keluarga yang bernasib merana di usia tua, ternyata masa tua yang jauh dari cahaya ini adalah hasil tumpukan dari masa lalu yang kurang cerdas. Dalam kisah orang tua jenis ini, anak-anak digunakan sebagai tong sampah tempat orang tua membuang semua stres dan ketidakpuasan. Tatkala sampah kejiwaan ini menumpuk, di sana anak-anak bertumbuh ke arah yang sangat berbahaya.

Belajar dari sini, sangat-sangat penting untuk direnungkan berulang-ulang sebelum menumpahkan sampah dan sumpah ke anak-anak. Dunia kerja memang berat, dunia pergaulan memang tidak ringan, dunia persaingan memang penuh beban, namun menumpahkan sampah dan sumpah ke anak-anak sama dengan memindahkan musibah ke masa tua.

Itu sebabnya, pada para sahabat yang anak-anaknya masih kecil sering dibagikan pesan seperti ini: “jauh lebih mudah merawat anak-anak tatkala badan kita masih sehat, dibandingkan dengan menggendong orang dewasa yang jiwanya terlanjur rusak di usia yang sudah renta”. Ia semacam persiapan menuju masa tua yang bercahaya.

Bertumbuh di atas bahan-bahan renungan seperti ini, layak dipikirkan ulang untuk bergaul di lingkungan yang penuh persaingan berlebihan. Persaingan berlebihan membuat seseorang membawa banyak sampah dan sumpah ke rumah. Bersamaan dengan itu, tatap anak-anak sebagai taman jiwa tempat bertumbuh di usia tua. Seperti merawat pohon-pohon kecil, kalau anak-anak tumbuh sehat maka mereka bisa menjadi tempat berteduh yang indah di usia tua.

Terinspirasi dari sini, memiliki cita-cita yang tinggi untuk anak-anak itu baik, berharap agar kesalahan yang terjadi di orang tua agar tidak terulang pada anak-anak juga baik, namun jangan pernah menggunakan anak-anak sebagai tong sampah. Jangan pernah memperkosa anak-anak agar sepenuhnya sama dengan orang tua. Ia sama dengan mengirim api berbahaya ke usia tua.

Langkah yang paling disarankan, belajar seawal mungkin untuk memperlakukan anak-anak sebagai anak-anak. Bukan memaksa mereka agar sesuai dengan selera orang tua. Saat mereka bermain, izinkan mereka bermain. Jika anak-anak suka menggambar, izinkan mereka menggambar. Manakala anak-anak menyukai olah raga, berikan mereka waktu untuk berolahraga.

Dalam bahasa sederhana namun dalam, anak-anak bukan harta kepemilikan orang tua. Anak-anak adalah benih-benih cahaya yang dikirimkan oleh masa depan. Tugas orang tua sederhana, yakni merawat benih-benih cahaya ini agar bertumbuh menjadi cahaya indah nantinya saat anak-anak menjadi dewasa. Jika itu betul-betul terjadi, maka usia tua berubah wajah menjadi rumah cahaya. Sebentuk masa tua yang indah sekaligus penuh berkah. Seperti air sungai yang secara alami mengalir ke samudra yang tidak berhingga, ia yang menemukan rumah cahaya di usia tua, maka setelah kematian secara alami akan pulang ke sumber segala cahaya.

Penulis: Gede Prama.
Photo Courtesy: Twitter @Drc_19.

sumber