Sejarah Dan Pantangan Di Pura Lempuyang

Pura Lempuyang terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua keberadaannya di Bali. Bahkan ada yang memperkirakan sudah ada pada zaman pra – Hindu-Budha, yang semula bangunan suci terbuat dari batu. Pura Lempuyang merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.

Sejarah Pura Lempuyang

Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul ”Lempuyang Luhur” disebutkan, lempuyang berasal dari kata ”lampu” artinya sinar dan ”hyang” untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot).

Ada juga versi  lain yang menyebutkan lempuyang adalah sejenis tanaman yang dipakai bumbu masak. Hal itu juga dikaitkan dengan nama banjar di sekitar Lempuyang yaitu Bajar Bangle dan Gamongan. Bangle dan Gamongan merupakan tanaman sejenis yang bias dipakai obat dan bumbu. Versi lain ada juga yang menyebut lempuyang berasal dari kata ‘empu’ atau ‘emong’ yang diartikan menjaga. Bhatara Hyang Pasupati mengutus tiga putranya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai guncangan bencana alam.

Dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dinyatakan; Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali dari Jambhudwipa ( India ), dari Gunung Mahameru. Potongan Gunung Mahameru itu dibawa ke Bali dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahannya yang lebih kecil menjadi deretan gunung-gunung di Bali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung tersebut adalah Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru, Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andhakasa, Uluwatu, Sraya, dan gunung lempuyang. Gunung-gunung itu sebagai stana para Dewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali.

Dalam lontar itu juga disebutkan bahwa Sang Parameswara menugaskanputranya Sang Hyang Agnijayasakti turunke Bali dan menjaga kesejahteraan Bali dan beliau ber-stana di Gunung Lempuyang bersama dengan dewa-dewa lainnya.

Sekitar tahun 1950 ditempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon hidup. Dibagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tidak ada lagi. Diduga pohon itu tumbang atau mati pelan-pelan tanpa ada generasi baru menggantikannya. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma kembar, dan sebuah padma tunggal bale piyasan.

Pura Lempuyang memiliki status penting, sama seperti Pura Besakih. Baik dalam konsep padma bhuwana, catur loka pala ataupun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga Pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Pura lempuyang.

Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku di pura itu mengatakan,

orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini.Sebab,jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bias  tak pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.

Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut:

Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa

Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.

Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ”Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,” ujar Jero Mangku.

Pantangan di Pura Lempuyang

Menurut Jero Mangku Gede Wangi , ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar ketika hendak naik ke Pura Lempuyang Luhur dan jika dilanggar akan berdampak buruk.  Pantangannya yaitu sebagai berikut:

  1. sejak awal, pikiran, perkataan, dan perbuatan harus disucikan
  2. Tidak boleh berkata kasar saat perjalanan
  3. Orang cuntaka, wanita haid, menyusui, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau sembahyang ke  pura
  4. Tidak boleh membawa perhiasan emas, karena kerap kali jika membawa perhiasan emas akan hilang secara misterius
  5. Membawa makanan atau makan daging babi saat ke Pura Lempuyang, karena daging babi terbilang cemer

Menurut cerita Jero Mangku Gede Wangi, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ”Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,” ujar Jero Mangku.

Sebagai umat Hindu khususnya di Bali, seperti yang sudah di katakan Jero Mangku Gede Wangi. Kita tidak boleh melupakan Pura Lempuyang hendaknya kita menyempatkan sesekali untuk tangkil kesana. Dan pantangan-pantangannya harus kita ingat dan pahami. —sumber