“Ogoh-ogoh” penamaan ogoh-ogoh diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa bali, artinya sesuatau yang di goyang-goyangkan,”ogah-ogah, ogoh-ogoh, kala-kali lumamapah/ogah-ogah, ogoh-ogoh, ngiterin dese” salah satu lirik lagu wajib di hari pengerupukan satu hari sebelum perayaan nyepi.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sejak tahun 80-an, umat hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara mengelilingi desa bertujuan agar buta kala yang merupakan manifestasi unsur-unsur negatif yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh yang nantinya ogoh-ogoh akan dilebur atau dibakar.
Tradisi mengembalikan Bhuta Kala ke asalnya di hari pengrupukan, disimbolkan dengan ogoh-ogoh, mirip tradisi lama yaitu Tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, disebutkan bisa dirujuk untuk menelusuri asal-usul atau awal mula ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala. Rupa mereka direka sedemikian rupa dengan variasi bentuk menyeramkan. Ada yang berwujud raksasa, perjelmaan dewa-dewi dalam murti-nya, mengambil tokoh dari cerita pewayangan atau memakai figur-figur yang sedang populer. Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia.
Dampak positif dari perayaan ini seperti menjadi hiburan ter sendiri bagi umat hindu dan non hindu, menarik banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri, karena ogoh-ogoh adalah sebuah patung yang sangat besar maka di butuhkan banyak orang untuk mengaraknya dari sanalah rasa persatuan dan kesataun diantara umat hindu, dalam pebuatan ogoh-ogoh yang mengandung unsur seni dapat menghidupkan kreatifitas pada pemuda bali. |sumber