Tak Telanjang Bulat Saat Melukat di Telaga Waja, Kena Sanksi Adat

BALI EXPRESS, TEGALLALANG – Sebuah beji pura biasanya digunakan untuk prosesi upacara. Baik untuk nunas tirta ataupun malukat (membersihkan diri). Tentu harus berpakian adat, setidaknya menggunakan kamben. Tapi sangat berbeda kondisinya dengan beji Pura Telaga Waja di Banjar Kapitu, Desa Kenderan, Tegallalang, Gianyar. Ada suatu pantangan, tidak boleh menggunakan pakaian sehelai pun jika akan malukat . Berani melanggarnya?

Bendesa Pakraman Desa Kenderan, I Ketut Canteng menegaskan bahwa saat malukat harus telanjang bulat di beji Pura Telaga Waja. Ia juga menegaskan jika pantangan tersebut dilanggar, maka percaya atau tidak akan tidak tahu jalan pulang. ” Pantangan itu sudah ada dari turun temurun, maka sampai saat ini saya hanya menjalankan saja. Dan, dipertegas lagi lewat tulisan yang sudah terpampang pada tangga baru masuk pura. Bahkan, di depan pancuran panglukatan, sudah dipasang papan pengumuman, agar tidak ada orang yang melanggarnya. Karena pancuran tersebut cocok bagi orang spiritual, untuk mengetes kesuciannya,” terang pria 54 tahun tersebut kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, pekan kemarin .

Pamedek yang melanggar pantangan.itu, lanjutnya, tidak bisa pulang karena rencangan (penjaga alam gaib) yang ada di kawasan Pura Telaga Waja akan kroda karena cuntaka (kotor lahir batin) masuk ke areal kawasan yang disucikan. “Saat malukat telanjang adalah ujian memgetes iman seorang spiritual. Di samping bukti berpasrah diri kepada Tuhan ,” urainya.

Selain itu, jika ada yang bawa jimat atau sejenisnya, dikatakannya tidak akan bisa masuk, terutama melewati jembatan menuju pura. “Jika pantangan untuk malukat telanjang dilanggar, atas dasar dresta (kebiasaan) yang berlaku di sini harus melaksanakan pecaruan di areal pura. Agar orang bersangkutan tidak masih terbayang di sana. Karena bisa jadi secara tiba-tiba lupa arah dan tidak tahu jalan pulang,” jelas pria yang juga mantan Kelihan Adat Banjar Kepitu tersebut.

Dresta lainnya adalah segala sesuatu upacara pantang dipuput oleh sulinggih. “Jika itu dilanggar, maka akan ada kabrebehan (musibah) berupa wabah penyakit yang diderita oleh semua pengempon pura, dan musibah secara silih berganti datang. Juga akan terjadi grubug (sakit bersamaan) pada warga setempat. Sehingga sampai saat ini segala pantangan tersebut tidak ada berani yang melanggarnya,” terangnya.

Canteng menambahkan, manfaat lainnya juga sebagai tempat memohon keturunan. Dicontohkannya sejumlah warga setempat pernah mohon agar dikaruniai memiliki anak saat malukat dan matur piuning di Pura Telaga Waja. Doanya terkabulkan, bahkan sampai saat ini, orang yang bersangkutan terus menghaturkan dana punia (pemberian tulus ikhlas) saat ada renovasi di kawasann Pura Telaga Waja.

Ditegaskannya, jika ada kesebelan atau cuntaka, tidak diperkenankan nangkil. Selain itu, jika ada orang yang meninggal di desa setempat, juga tidak diperkenankan nangkil ke Telaga Waja. Berdasarkan sejarah pura berupa purana (cerita zaman dulu yang tertulis), lanjutnya, areal pura merupakan tempat pertapaan pada zaman kerajaan Buddha Kasogatan. Seperti yang tertulis pada purana abad ke -13 Masehi.

Nama Telaga Waja berasal dari dari Telaga Dhwaja. Hal ini diketahui dari naskah klasik Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada abad ke – 13.

Tak terlalu sulit jika akan nangkil, meskipun lokasinya masuk ke dalam. Dari pusat Kota Gianyar, hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit. Susuri arah Jalan Raya Andong Ubud sampai bertemu sebuah Patung Arjuna di tengah jalan. Kemudian lanjut lurus ke utara sampai Banjar Gentong Tegallalang, di sebelah kanan jalan akan melihat papan nama Pura Sakti Manuaba. Masuk dan ikuti jalan tersebut menuju Desa Kenderan. Selanjutnya akan sampai sebuah perempatan, di kiri jalannya ada balai Banjar Kepitu, Kenderan, Tegallalang.

Di samping balai banjar tersebut ada jalan ke kiri masuk sekitar 250 meter menuju Pura Telaga Waja. Soal parkir kendaraan sudah disediakan di tanah yang lapang sekitar dua are. Dari areal parkir harus jalan kaki sekitar 500 meter lagi, melalui jalan setapak agar sampai di Pura Telaga Waja. “Diujung jalan akan menemukan sebuah jembatan, yaitu sebagai penghubung areal pura dengan jaba sisi secara niskala. Sehingga di jembatan sudah ada palinggih untuk mohon izin masuk ke areal pura,” papar mantan Kelihan Banjar Dinas Kepitu tersebut.Pura Telaga Waja merupakan pura dadia Banjar Kepitu, yang diempon warga setempat yang terdiri atas 35 kepala keluarga.

Pada kawasan pura, terdapat tiga bagian . Di bagian utama telaga, ada sebuah klebutan (sumber mata air). Pada bagian kedua ada sebuah palinggih dan beberapa pancuran, yang difungsikan sebagai pasucian (pembersihan) dan mlasti (difungsikan untuk Dewa Yadnya). Sedangkan pada bagian ketiga, ada sebelas buah pancuran yang digunakan untuk malukat dengan telanjang, di mana wanita maupun laki-laki membaur di sana.

Areal Pura Telaga Waja ada sekitar 30 are, berdiri di sebuah tanah seperti gundukan lapang yang berada di sebuah tebing. Di bawah Telaga Waja terdapat sebuah campuhan (pertemuan dua aliran sungaii) yang membuat pura tersebut mempunyai kemiripan dengan Pura Gunung Lebah, Ubud. Sedangkan pancuran memiliki dresta, persis seperti pancuran Kasuma Dewi di Desa Bebalang, Bangli, yang juga mewajibkan yang malukat harus melepas total seluruh pakaiannya.

Di tempat yang sama, pemangku Pura Telaga Waja, I Wayan Suaja mengatakan, tak sedikit rarencangan (pengawal alam niskala) pura tersebut menampakkan diri dengan nyata, saat ada pamedek yang melaksanakan panglukatan. “Memang di kolam areal Dewa Yadnya tersebut, ada rarencangan sasuhunan yang malinggih secara sekala (nyata), berupa ikan julit putih. Tak jarang juga menampakkan diri hari tertentu. Kalau sekarang mungkin ada di dasar kolam, berada di goa yang ada di sana,” jelas pria yang menjadi pemangku sejak tahun 2000 lalu. “Kadang ada yang melihat seekor macan, ular, bahkan perwujudan nak lingsir (orang suci) di areal ini. Mungkin karena hal tersebut, semua upacara di sini pantang dipuput oleh seorang sulinggih,” terang pria 54 tahun tersebut.

Jero Mangku Suaja juga kerap dapat informasi dari warga yang malukat yang mengaku keadaannya membaik. “Tak jarang juga ada yang datang karena sakit dipeteng (sakit niskala). Setelah malukat langsung merasa segar dan sembuh. Mereka malukat langsung ke pancuran, sedangkan saya hanya menyelesaikan upakaranya saja. Habis itu saya naik ke selatan pancuran,” paparnya.

Ditanya terkait pemedek yang malukat, apakah tidak masalah jika sama-sama telanjang antara wanita dan pria? Mangku Suaja menegaskan itu adalah sebuah proses meditasi atau tapa bagi pelaku spiritual, sekaligus melatih bhatin seseorang.Selama ia ngayah, tidak ada yang melakukan hal negatif, apalagi merupakan beji tempat pasucian Bhatara Kayangan Tiga. Jika malukat di Telaga Waja cukup dengan sarana berupa pajati dan canang. Di mana canang dihaturkan pada palinggih yang ada di jembatan penghubung pura secara niskala. Sedangkan pajati dihaturkan pada tempat malukat, yang bisa di puput oleh pemangku atau pamedek sendiri.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber