SECARA HARAFIAH
Secara keliru, kata ‘linggam’ di artikan sebagai phallus (alat kelamin). Linggam itu secara harafiah berarti simbol, isyarat, atau tanda. Jadi Siwa Linggam berarti simbol Siwa. Siwa dalam hal ini mewakili pure consciousness. Pemujaan pada Siwa secara arti yang mendalam adalah pernyataan ‘mematok’ diri agar mengalami atau merealisasikan pure consciousness, yang tidak lain, adalah sifat kesadaran kita sendiri.
KISAH DALAM PURANA
Dalam Lingga purana, dikisahkan suatu ketika dewa Wisnu berbincang-bincang dengan Dewa Brahma tentang asal mula dunia ini.
Dewa Brahma berkata kepada Dewa Wisnu bahwa dirinyalah yang menciptakan dunia beserta seluruh isinya, berkenaan dengan hal tersebut Dewa Wisnu lalu menjawab bahwa dialah juga sebagai arsitek pencipta dari segala yang ada didunia ini. Dewa Brahma tidak mengakui pernyataan dari Dewa Wisnu, demikian juga sebaliknya.
Keduanya bersitegang, ketika itulah muncullah sebuah linggam berbentuk api alam semesta.
Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sepakat untuk menemukan puncak dan pangkal(dasar) dari lingga tersebut, kemudian Dewa Brahma Berubah wujud manjadi seekor angsa dan terbang menuju puncak lingga dan Dewa Wisnu berubah menjadi seekor babi lantas masuk kebumi mencari pangkal/dasar dari lingga tersebut.
Usaha kedua dewa tersebut ternyata tidak seperti yang diharapkan, puncak & dasar lingga tidak berhasil ditemukan dan kemudian kedua Dewa tersebut mangakui bahwa mereka berdua bukanlah yang terbesar, bahwa ada yang lebih besar dari dirinya.
Kemudian muncullah Dewa Siwa dari dalam lingga lantas Dewa Brahma & Dewa Wisnu menyembahnya. Selanjutnya Dewa Siwa berkata “anda berdua Brahma & Wisnu, sayalah yang melahirkan anda, Brahma dari pinggang kanan saya & Wisnu dari pinggang kiri, kita bertiga sesungguhnya satu namun kita sekarang terpisah dalam tiga aspek yaitu : Brahma,Wisnu dan Maheswara”.
SUDUT PANDANG ASTRONOMI
Beberapa orang memahami Lingga yang berupa api adalah peristiwa Big Bang. Terjadi letusan yang maha dasyat yang menyebar ke segala penjuru. Dewa Brahma ke atas artinya menuju penjuru atas yang sangat jauh tak terhingga. Dewa Wisnu mengikuti ujung penjuru bawah yang juga jauh tak terhingga. Karena merasa tak terhingga, kedua Dewa tersebut kembali pada tempat semula.
SUDUT PANDANG FILSAFAT SPIRITUAL
Terlepas dari sebagian interpretasi yang melibatkan asal usul semesta dari sudut pandang astronomi, saya lebih cenderung memahami dari sudut pandang filsafat.
Ujung tak terhingga adalah tentang luasnya semesta, lebih tepatnya itu adalah makro (macro cosmos). Sedangkan asal dari Linggam adalah mikro (micro cosmos). Mikro itu tentang bathin. Pada tingkatan yang paling dalam, itu adalah pure consciousness.
Pure consciousness adalah kesadaran dasar kita. Seperti ruang yang mendasari segala sesuatu. Itu tentang sifat bathin yang paling dasar. Fenomena atau pengalaman yang kita rasakan itu hanyalah bentuk-bentuk pikiran yang memenuhi ruang bathin kita. Pure consciousness sebagai ruang mulai dipenuhi bentuk-bentuk pikiran yang lebih kasar dan semakin kasar. Maka kita mengenal bentuk realitas yang halus, lembut lalu lama kelamaan menjadi yang kasar atau yang berbentuk solid terlihat.
MENJADI LINGGAYONI
Dari kata ‘Siwa Linggam’ menjadi ‘Linggayoni’. Kata ‘Linggayoni’ mungkin lebih sering kita dengar.
Yoni adalah energi, atau aspek dinamis dari Siwa. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Siwa mewakili pure consciousness yang statis. Disebut statis karena sifatnya hanya seperti ruang. Sedangkan aspek dinamis adalah energi atau yoni. Bisa dikatakan bahwa yoni adalah isi yang memenuhi ruang. Yoni adalah perubahan yang kita alami. Energi adalah sesuatu yang berproses, bergerak atau berubah.
Siwa yang meliputi segalanya artinya Siwa meliputi yang dinamis itu tadi. Sama seperti kita menyebut suatu kamar beserta isinya. Ruang dalam kamar adalah pure consciousness sedangkan isi yang ada di kamar tersebut adalah yoni.
MAKNA PEMUJAAN LINGGAYONI
Dalam masyarakat pedalaman, pemujaan Linggayoni memiliki konotasi pemujaan atau kultus kesuburuan. Secara populer Linggayoni dipahami sebagai lambang kesuburan dengan konotasi penyatuan antara Siwa dan Parwati.
Konotasi penyatuan ini juga dimaknai sebagai bentuk penghormatan pada orang tua dan leluhur.
Secara filosofis, Parwati sebagai shakti (energi)nya Siwa. Shakti dalam hal ini adalah yoni. Pemujaan Linggayoni lebih merupakan kontemplasi bahwa dalam diri kita selalu memiliki dua aspek yaitu yang statis dan dinamis. Yang statis adalah sifat bathin yang murni. Yang dinamis adalah keadaan diri dan keadaan sekitar kita yang berubah dan tidak kekal.
Keadaan berubah ini adalah hubungan relasi dari empat elemen yaitu elemen api, air, angin dan elemen tanah. Sedangkan yang tidakberubah, atau keadaan bathin murni (pure consciousness) itu adalah elemen ruang.
Dalam tradisi Jawa adalah sedulur papat limo pancer. Ada empat elemen dan elemen yang kelima yaitu elemen ruang adalah kesadaran kita sendiri. Sedulur papat limo pancer adalah pemetaan bathin dan keadaan sekitar.
Pemujaan Linggayoni memuat pemahaman hidup yang mendalam. Secara populer boleh saja menjadi kultus kesuburan atau juga penghormatan pada leluhur. Namun secara puncak, pemujaan ini adalah afirmasi diri agar menyadari/merealisasikan sifat bathin. Dalam jalan spiritual, inilah yang menjadi tujuan yang tertinggi. –sumber