Begini Ceritanya Bungkak Punya Daya Magis Bagi Umat Hindu Bali

BALI EXPRESS, DENPASAR – Bungkak atau buah kelapa muda kerap dijadikan sarana pengobatan secara medis (sekala) dan non medis (niskala). Apa istimewanya sehingga bungkak menjadi bagian penting dari proses pengobatan dan sarana ritual?

Jero Dalang dan tokoh masyarakat Desa Sayan, Ubud, Gianyar, I Made Tragia, tak menyanggah bahwa bungkak jadi bagian vital untuk proses pengobatan maupun pembersihan, seperti untuk panglukatan untuk urusan niskala. Khusus untuk yang sekala, lanjutnya, ketika seseorang yang mabuk karena minuman keras juga bisa diatasi dengan minum air bungkak untuk menyadarkan kembali.

Menurutnya, berdasarkan Lontar Siwa Gama, bungkak berasal dari salah satu kepala Ida Bhatara Brahma. Awalnya Bhatara Brahma mintonin Sang Hyang Gana dan Bhatara Wisnu, sehingga Bhatara Wisnu dilindungi oleh Sang Hyang Brahma Makusara. “Saat itu datanglah Sang Hyang Gana dari linggih Ida Sang Hyang Gana untuk mencari kejelasan. Ketika diketahui ada permasalahan seperti itu, mereka bertaruh kalau Brahma kalah akan mau menjadi murid Sang Hyang Gana,” jelas Jero Tragia kepada Bali Expresss (Jawa Pos Group) di Desa Sayan, Ubud Gianyar, pekan kemarin.

Sedangkan jika sebaliknya yang terjadi, maka Sang Hyang Gana akan dimakan oleh Brahma.
Karena diketahui bahwa Brahma memiliki empat kepala yang disembunyikan dalam perutnya sendiri, Sang Hyang Gana lantas mencuri kepalanya Brahma dengan tangan kirinya Dewa Siwa. ” Hal itu mengakibatkan Brahma tidak dapat menunjukkan kepalanya lagi satu, karena kepalanya dicuri secara misterius. Makanya, ketika akan memperlihatkan kepalanya lagi satu, hanya keluar darah saja dari bahu Brahma,” urainya.

DikatakanTragia, darah yang keluar itu menjadi satus sakutus, yakni 108 butha. Lantaran banyaknya keluar butha yang menyerbu, Sang Hyang Ghana kalah. Maka sebelum bernama Catur Muka, lanjutnya, ada sebutan Panca Brahma, karena merasa jengah Sang Siwa dan hadirnya Panca Rsi yang terdiri atas Korsika, Garga, Matri, Kurusya, dan Patanjala.

Tragia mengatakan, kepala Brahma sebelumnya dibuang ke samudra yang mengakibatkan meluapnya air laut. Maka diproteslah kejadian itu oleh Ida Sang Naga Baruna dan kemudian diambil kembali untuk dibuang ke tanah. Hal itu juga membuat tanah menjadi berlubang dan diprotes kembali oleh Naga Bhasuki yang kemudian dibuang ke udara. Karena mengakibatkan suhu udara menjadi panas, maka diambil kembali dan dibawa ke Gunung Kampud di wilayah Pulau Jawa.

“Di sana kemudian ditanam di bawah Gunung Mahameru, yang sekarang disebut dengan Gunung Jembada Geni. Lama-kelamaan di sana muncullah pohon kelapa yang pertama kali. Karena semua bagian tumbuhannya dapat berfungsi untuk kelangsungan hidup dan upacara, maka disebut pohon sudamala,” urianya.

Tragia mengungkapkan pohon kelapa itu muasalnya merupakan kepala Brahma. Disebut pohon Sudamala karena dari ujung pohon sampai akarnya berfungsi untuk kehidupan di dunia ini.
Selain itu, bhuta yang berjumlah 108 itu juga dikalahkan oleh Panca Rsi. Brahma kemudian memohon kepada Hyang Adi Suksma dan akhirnya diberikan lugraha atau tempat, yang diberi nama Sang Hyang Catur Muka. Sedangkan bhutanya sampai saat ini ada banten segan yang jumlahnya 108.

“Sampai saat ini Catur Muka berada di titik nol,sebagai pusat. Baik pusat kegiatan atau pusat pertemuan dari segala arah. Sedangkan pada perempatan penyacah disebut dengan Catur Bhuana,” tandasnya.

Ia mengatakan, Sudamala berasal dari Panyudamala yang berarti bisa digunakan apa saja.
Disinggung soal penggunaan bungkak gading dan gadang, Tragia mengaku tak ada bedanya, karena disesuaikan dengan penggunaan dan tempat. “Setiap penggunaan bungkak dijadikan obat, disesuaikan dengan arah ataupun kegunaan dari tempat malukat ataupun tempat berobat,” urainya.

Secara sekala, lanjutnya, mengonsumsi air bungkak bermanfaat bagi badan, yaitu untuk menetralkan panas yang ada dalam tubuh. Biasanya ketika petani bekerja di sawah, untuk menghilangkan dahaga dan capek, mereka minum bungkak yang langsung dicari di pohonnya. Air bungkak dapat juga mengurangi dehidrasi saat bekerja di bawah panas teriknya matahari. Sedangkan tuahnya secara niskala, penggunaan bungkak di Bali sudah lumrah sebagai media penyembuhan. Dikarenakan setiap banten hampir selalu menggunakan kelapa, dan dianggap menjadi bahan penting dan utama. Tragia mencontohkan dapat digunakan sebagai daksina, panglukatan, prayascita, bahkan simbol para dewa.

“Bungkak memiliki filosofi yang sangat dalam, apalagi dipergunakan dalam yadnya. Terdiri atas air yang berarti sukla, sebagai sumber kekuatan tirtha Mahamerta, juga sebagai sumber nyomia kekuatan Sad Ripu atau enam sifat buruk yang ada di diri manusia yang bersifat keraksasaan, di samping sebagai kekuatan Dewa Brahma dan juga Dewa Wisnu,” ungkapnya.

Di sisi lain, lanjut Tragia, setelah dibuangnya kepala Brahma tersebut, menjadikan kekuatan sendiri pada unsur Tri Lokha karena terjadi penyucian terhadap alam bawah atau bhur loka, alam tengah atau bwah loka, dan alam atas yang disebut dengan swah loka. Sehingga, hal tersebut juga mengartikan sebagai perantara guna manyomia (menyeimbangkan) Panca Mahabuta ke asalnya masing-masing. Pemahaman seperti ini, lanjutnya, perlu diperdalam oleh umat Hindu, termasuk soal asal-usul sarana dan ritualnya. “Jadi, tidak ada kata-kata yang muncul bahwa semuanya nak mula keto,” bebernya.

Tragia mengatakan kelapa memiliki peranan dalam setiap upacara Hindu, dapat dikaitkan dengan makna magis dan mistik karena secara tidak langsung kelapa telah melewati rangkaian upacara. Baik itu dari asal-usulnya yang bisa sampai tumbuh dan semua unsurnya dapat dipergunakan.
“Ini juga yang menyebabkan para balian atau praktisi dalam dunia kesehatan tradisional menggunakan bungkak sebagai sarana pengobatan. Karena memiliki kekuatan kedewataan dan energi positif,” pungkasnya.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber