Begini Hukuman Bagi Umat Hindu yang Bunuh Diri

BALI EXPRESS, DENPASAR – Bunuh diri terus terjadi, bahkan dilakukan anak belasan tahun dengan berbagai latar belakang masalah. Di awal tahun sudah tercatat lima orang di Bangli mengakhiri hidupnya dengan cara tragis. Bagaimana melihat kasus ini dalam sastra Hindu?

Kasus bunuh diri kembali terjadi di Kintamani, Bangli, Senin malam (29/1) bulan lalu di Desa Bunutin, Kintamani. Aksi nekat ini dilakukan I Ketut Tirtayasa, 18, yang diduga dilatarbelakangi motif sakit menahun yang tidak kunjung sembuh.

Di awal tahun 2018 ini sudah lima orang kehilangan nyawa karena bunuh diri di Kintamani dari total enam orang di seluruh Bangli. Kasus bunuh diri di Bangli tergolong tinggi. Sepanjang 2017 lalu, kasus bunuh diri baik dengan cara gantung diri maupun menceburkan diri ke Danau Batur tercatat mencapai 17 orang. Sedangkan sejak awal tahun ini, kasus bunuh diri baik dengan cara gantung diri dan minum racun telah merenggut lima nyawa. Angka tersebut nyaris sepertiga dari total kasus bunuh diri yang terjadi sepanjang 2017 lalu.

Manusia memang kadang punya perasaan dan keinginan aneh. Sudah diberikan hidup, malah ingin mati. Padahal, kalau sudah mati, tak bakalan bisa hidup lagi. Tapi, tetap saja satu keinginannya mau mati. Memang,kecenderungan ingin bunuh diri ini dilatarbelakangi mulai dari kecewa atau putus asa, patah hati, hingga di-bully. Caranya pun beragam, mulai dari gantung diri, meracuni diri, membakar diri, hingga melompat dari ketinggian gedung. Khusus untuk di Bali, model yang menjadi ‘favorit’ adalah gantung diri dengan tali. Dan, cara ini ternyata kemudian diadopsi oleh sejumlah wisatawan ‘bermasalah’ yang berkunjung ke Bali.

Sungguh sangat memprihatinkan kasus bunuh diri ini. Tercatat selama sembilan bulan terakhir tahun 2017 (Januari-September), sedikitnya ada 80 kasus bunuh diri terjadi di Bali. Bila dibagi per bulan, berarti ada orang yang bunuh diri rata-rata 9 orang per bulan.

Pemerhati sosial Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, Sp.KJ (K) , mengaku sangat prihatin tentang kasus bunuh diri yang mulai marak sejak tahun 2000. Berdasar penelitian dan data yang diperoleh di Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Denpasar, pendiri Suryani Institute for Mental Health Foundation ini, mendapati penyebab bunuh diri banyak diakibatkan oleh gangguan berat, depresi, stres, kelainan fisik, dan faktor ekonomi. Situasi ini sangat memprihatinkan, apalagi sudah merambah sejumlah remaja.
“Setiap membaca berita kejadian orang bunuh diri, nyali menjadi kecil seraya mencakupkan tangan kepada Hyang Parama Kawi, Tuhan Yang Maha Esa semoga saya, keluarga, teman-teman, orang-orang dekat saya, juga kenalan dan seluruh umat manusia tidak didatangi oleh bahaya itu,” papar tokoh spiritual kelahiran Padangtegal Ubud, Rasa Acharya Prabhuraja Darmayasa kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin di Denpasar.

Diakui President World Divine Love Society ini, berita bunuh diri telah menjadi hiasan tetap bagi setiap koran di dunia. Dan, ternyata cukup banyak kejadian seperti itu terjadi di masyarakat. Bukan hanya terjadi di Bali, melainkan juga di seluruh dunia. Dunia Barat pun tidak terbebas dari bahaya bunuh diri. “Seorang teman saya yang warga Inggris telah kehilangan saudara terkasihnya. Saudaranya adalah orang sukses dan sangat terkenal, bahkan di dunia. Tetapi, rupa-rupanya ia kehilangan keseimbangan kesadarannya sehingga memilih jalan bunuh diri,” tutur pria yang sudah menulis ratusan buku spiritual ini.

Murid tunggal Maestro Kundalini India Acharya Kamal Kishore Goswami ini, mengimbau setiap orang agar menyebarluaskan di lingkungan masing-masing, bahwa bunuh diri merupakan jalan tidak tepat, tergesa-gesa, jalan yang salah, selain tindakan dosa besar. “Kesalahan tersebut akan membawa orang ke neraka yang paling gelap,” urainya.

Ditegaskan Darmayasa, dalam Skanda Purana, Kashi (Pu.12.12-13) disebutkan :
Andhantamovisheyuste Ye Caivatma-Hano Janah. Bhuktva Nirayasahadram Te Ca Syur Grama-Sukarah. Maksudnya : Orang-orang yang bunuh diri (setelah meninggalkan badan wadagnya alias setelah mati) pergi ke neraka yang paling gelap. Setelah menikmati ribuan hukuman berat di neraka, ia akan terlahirkan menjadi babi.

Tindakan konyol, lanjutnya, biasanya dilakukan tergesa-gesa tanpa pertimbangan baik, disebabkan kegelapan yang menutupi batin seseorang.

Dijelaskannya, kitab suci Upanishad memberikan doa-mantra untuk membantu diri kita terbebaskan dari kegelapan, agar kegelapan tidak menjejali kesadaran batin kita. “OM, tamaso ma jyotir gamaya.
Ya Tuhan, jauhkanlah kami dari kegelapan dan tuntunlah kami menuju jalan terang. Selain ia merupakan sebuah doa, renungan untuk realisasi spiritual, ia juga merupakan sebuah mantram. Mrityor ma gamaya, Ya Tuhan mohon janganlah hamba diantarkan kepada kematian, tetapi amritam gamaya, bimbinglah hamba kepada kekekalan,” urainya.

Dikatakan Darmayasa, di depan kita ada dua jalan, satu jalan kematian dan satu jalan kehidupan atau kekekalan. Satunya adalah mrita dan satunya lagi amrita. Di Bali, diakuinya sedikit bergeser artinya. “Titiang nunas merta yang artinya saya minta makanan. Tetapi, kalau didekatkan ke arti asalnya yaitu Sanskerta, kalimat tersebut seharusnya diterjemahkan saya minta racun, saya minta kematian.Ternyata kata amerta yang berarti nectar berganti menjadi merta,” bebernya.

Darmayasa mengaku mempunyai seorang teman bernama Merta, dan setelah mendengar arti yang agak keseleo tersebut akhirnya ia mengganti namanya dalam panggilan menjadi Amrita.
Jalan merta adalah jalan kematian. Di dunia ini, sepanjang kita tidak mendasari segala sesuatu yang kita cari dengan dasar spiritual, lanjutnya, semuanya adalah membimbing kita ke jalan kematian, jalan tidak kekal, juga jalan kesengsaraan.

Kadang jalan kesengsaraan itu bisa dalam bentuk kehidupan yang indah menarik dan menyenangkan dihias oleh berbagai pujian. Namun, jika ia tidak dalam sentuhan spiritual, segala kemewahan dan keindahan tersebut tidak lain hanyalah jalan turun yang menyenangkan. “Nah, Upanisad tidak menganjurkan kita meniti jalan seperti itu. Oleh karena itulah kita diajarkan doa ‘mrityor ma gamaya’, janganlah hamba dibimbing menuju jalan kematian, jalan khayalan, jalan kehidupan tanpa arti spiritual,” bebernya.

Jalan amrita adalah jalan yang dianjurkan untuk ditempuh karena merupakan jalan kebenaran, jalan yang menuntun kepada kehidupan yang kekal. Kebahagiaan sejati, lanjutnya, hanya berada pada kehidupan yang kekal, bukan kepada kehidupan yang tidak kekal.

“Kesenangan dalam hiasan apa pun yang berada di lingkungan jalan tanpa sentuhan spiritual, kesenangan tersebut pastilah sebuah kesenangan yang hanya mengikat kita pada kehidupan khayal. Memang, ketika mengkhayalkan sesuatu, untuk sementara kita sempat dibawa melayang-layang pada seolah nyata mengalami. Begitulah, sepintas saja kita akan tertawa bergembira, sebentar lagi akan disusul oleh tangisan yang lebih lama (sukhasyanantaram duhkham),” urainya.

Bunuh diri di Bali sejatinya bukan hal asing, bila menengok ke belakang saat zaman kerajaan yang dikenal dengan Masatya, menceburkan diri ke api. Namun, hal itu dilakukan murni karena dilatarbelakangi harga diri membela pertiwi dan tak rela jadi budak pemberontak. Di Jepang pun tradisi bunuh diri itu ada.

Bahkan, Jepang mencatatkan rekor angka bunuh diri paling tinggi sepanjang sejarah pada 2003. Sebanyak 34.427 orang mati akibat bunuh diri pada tahun tersebut, atau hampir 100 orang bunuh diri setiap harinya.

Angka tersebut mengalami penurunan beberapa tahun setelahnya. Pada tahun 2004, jumlah bunuh diri di Jepang turun sekitar 2.000 orang, yaitu 32.325 dalam setahun. Setelah adanya kampanye pencegahan bunuh diri yang digalakkan pemerintah Jepang, angkanya menunjukkan penurunan. Pada 2012, angka bunuh diri mencapai 27.858 orang. Angka tersebut kembali turun menjadi 27.283 di 2013, dan turun kembali menjadi sekitar 25.000 di 2014. Sedangkan pada 2015, angkanya mencapai 24.025 orang.
Meskipun kini terus terjadi penurunan secara drastis, bunuh diri bagi bangsa Jepang adalah hal lumrah. Bahkan, cenderung dianggap sebagai cara terhormat mengakhiri hidup.

Harakiri atau bunuh diri sebagai hukuman mulai populer di masa Kekaisaran Tokugawa pada zaman Edo (1600-1867). Umumnya, motif bunuh diri ketika itu adalah untuk memperlihatkan kesetiaan kepada majikan atau sebagai ungkapan rasa malu karena kekalahan dalam peperangan.

Ditegaskannya, untuk membedakan jalan ‘mrita’ (kematian) dengan jalan ‘amrita’ (kekekalan) memang perlu selalu memantapkan diri pada kesadaran spiritual. Banyak orang tidak membedakan hidup keagamaan dengan hidup spiritual Sesungguhnya spiritual itu berbeda dengan kehidupan keagamaan. “Spiritual adalah tujuan dari segala praktik agama yang dilakukan. Agama tidak mengajarkan kita untuk tetap berada dalam kesadaran religius. Sejati kita adalah spiritual maka objek kita juga adalah spiritual. Inilah yang dinamakan tingkat adhyatmika siddhi, tingkat di mana kita akan sepenuhnya terlindungi oleh kesadaran sat cit ananda,” paparnya.

(bx/rin/ima/yes/JPR) –sumber