Kalau berbicara masalah kerauhan, ini merupakan sebuah fenomena religi yang memang banyak kita saksikan ketika orang menggelar ritual keagamaan. Terutama pada konsep Dewa Yadnya atau odalan di pura. Ada anggapan masyarakat bahwa kalau orang ngodalin atau mekarya di pura, kalau tidak ada kerauhan, berarti Ida Bhatara tidak turun menyaksikan. Tapi ini kan tidak bisa dibuktikan. Mana tedunnya Bhatara benaran dan mana yang mengada-ada.
Ketika kita melakukan ritual, dalam aspek psikologis dan rasa, sesungguhnya berupacara merupakan ungkapan rasa mesra atau kerinduan dengan Ida Bhatara. Karena Ida Sang Hyang Widhi dengan prabawanya Bhatara itu bersifat abstrak, sangat sulit untuk kita berkomunikasi.
Saat itulah rasa-rasa mesra dan ekspresi kerinduan dengan Tuhan itu, menyebabkan orang yang ikut dalam ritual tersebut seakan-akan bisa masuk pada alam berbeda atau niskala. Alam yang berbeda inilah kemudian menimbulkan kerauhan. Dalam Tatwa Siwa Purana dikatakan, apabila ada orang yang mengaku-ngaku Dewa atau manifestasi Tuhan yang memasuki orang itu (kerauhan), itu mesti harus diuji coba terlebih dahulu dengan api pembakaran tempurung kelapa.
Kalau ternyata tidak terbakar oleh api, berarti betul yang bersangkutan memang kelinggihin atau dimasuki roh suci. Tapi kalau ternyata terbakar, itu berarti kerauhan bohongan dan menyebabkan pura tersebut menjadi leteh. Maka dengan hal demikian, tentu bila hal ini kita lakukan, menjadi sangat berat kalau orang sampai terbakar. Namun, hal ini dapat menjadi shock theraphy supaya jangan sampai ada yang mengaku-ngaku Dewa. Malah akan jadi masalah. Apalagi orang-orang yang suka kerauhan perilakunya di masyarakat tidak benar, ini akan merusak desa atau banjar itu sendiri.
Marilah kita beragama yang cerdas. Kerauhan silahan saja. Tapi masyarakat harus tahu bagaimana ciri-ciri kebenarannya. Sekarang peranda kasih tahu, ciri-cirinya adalah tidak terbakar oleh api, tidak basah oleh air, dan masyarakat yang ada di areal tempat kerauhan tersebut merasakan bulu kuduk merinding. —sumber