Dalam Kitab Nitisastra, Posisi Tidur Pengaruhi Cinta, Karir, dan Umur

BALI EXPRESS, DENPASAR – Bali dengan adat istiadat yang sangat kental, bahkan hingga kini terus berlangsung. Dari hal sepele hingga yang serius. Seperti halnya soal tidur yang ada aturannya. Lantas, bagaimanakah cara tidur menurut Hindu?

Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar, di mana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya.

“Posisi tidur setiap manusia pada umumnya abstrak, ada yang sama dan ada yang berbeda,” ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (JawaPos Group), Rabu (8/2).

Dikatakan Mangku Satra, dalam Hindu, khususnya di Bali, pembahasan tentang posisi tidur yang benar telah dianjurkan, apalagi di Bali terdapat konsepHulu-Teben. Konsep ini terkait dengan kosmologi mata angin.

Hulu-Teben adalah konsep penataan sebuah tempat secara vertikal dan horisontal yang dapat membawa tatanan kehidupan skala (nyata) dan niskala (tidaknyata).

Hulu-Teben berasal dari dua kata, yaitu‘hulu’dan‘teben’.Hulu artinya arah yang utama, sedangkanTeben artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Orang Bali umumnya meletakkan tempat tidur searah utara-selatan atau timur-barat. Jadi, ketika tidur, kepala kita ke arah utara atau timur, kaki ke arah selatan atau barat.Tapi, ada juga yang menggunakan posisi tidur dengan hulu patokannya gunung dan teben patokannya laut. Uniknya, ajaran tidur Hindu di Bali, secara tidak langsung membuat penduduk Bali mempersatukan diri lewat posisi tidur. Di Bali Utara dan Bali Selatan, jika tidur dengan posisi sama-sama kepala di utara, maka ketemunya kepala dengan kepala. Utara di Bali Selatan, adalah Selatan di Bali Utara.

Anjuran tentang posisi tidur pun dapat ditemukan dalam Kitab Nitisastra VII, 1-2. “Jika kepalamu di Timur, akan panjang umurmu. Jika di Utara, engkau mendapatkan kejayaan. Jika letak kepalamu di Barat, akan mati rasa cinta padamu, engkau akan dibenci para sahabatmu,dan jika membujur ke Selatan, akan pendek umurmu, dan menyebabkan rasa dukacita,” ujar Mangku Satra mengutip isi Kitab Nitisastra VII, 1-2.

Dikatakannya, tidur itu tidak dilarang, tapi tidur yang sembarangan ada konsekuensinya. Sebagai masyarakat yang dikenal dengan aturan-aturan adat yang kental dan masih terjaga, masyarakat Bali hingga kini masih meyakini bahwa tidur tidak boleh sembarangan. Mulai dari sikap atau posisi tidur, tempat tidur, hingga bangunan yang boleh dijadikan sebagai tempat tidur pun diatur sedemikian rupa dalam adat Bali.

Ada tiga macam tempat berisitirahat yang disebutkan dalam sastra Bali, yakni, Galar adalah istirahat untuk beberapa saat dengan tidur. Galir adalah istirahat untuk beberapa menit atau pelepas lelah dengan duduk dan bersantai. “Galur adalah istirahat untuk perjalanan pulang, yang dalam istilah Bali disebut dengan‘mulih ke desa atau gumi wayah’ alias maninggal,” tutur Mangku Satra.

Pada dasarnya umat Hindu sangat mensucikan sembilan penjuru arah mata angin yang dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga.

Dalam hal ini, (arah kepala waktu tidur), ada konsep palemahan (tataruang) yang mengatur. Dalam tata adat di Bali, setiap keluarga Hindu Bali punya tempat pemujaan (sangah atau merajan) yang dibangun di sebelah timur (tepatnya, kajakangin) dari areal pekarangan yang ditempati. Guna menyucikan tempat pemujaan, maka masyarakat Hindu di Bali mengatur arah kepala untuk tidur dengan sedemikian rupa.

Dalam hal ini, kepala (otak), sebagai pusat dari semua yang ada pada diri manusia. Maka, dengan sendirinya kepala yang paling dekat dengan tempat pemujaan. Ini untuk mengingatkan selalu dekat, mengingat, dan melaksanakan ajaran Hindu.

Dengan demikian, diharapkan pikiran selalu mengingat dan melaksakan ajaran dari Ida Sang HyangWidhi.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber