BALI EXPRESS, GIANYAR – Upacara Potong Gigi yang juga dinamai Matatah atau Mapandes, dilaksanakan saat seseorang menginjak dewasa. Selain untuk menetralisir sifat-sifat keraksasaan dalam diri manusia, juga mengurangi sad ripu (enam musuh dalam diri).
Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari mengatakan, upacara Potong Gigi berdasarkan dua lontar, yakni Lontar Kala Tattwa dan Sastra Kloklah, di mana seyogyanya mereka yang sudah menginjak dewasa melaksanakan Potong Gigi.
Dikatakannya, setiap manusia memiliki dua sifat, Rwa Bhineda (baik dan buruk) sebagai sifat kedewataan dan sifat keraksasaan.
“Untuk menghilangkan sifat keraksasaan itu dengan cara memotong gigi yang berada di atas. Terutama taring, karena taring pada umumnya dimiliki oleh binatang. Dan gigi seri lagi empat yang ada di tengah-tengah taring juga dipotong,” papar Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di Gria Wanasari, Sanur, Denpasar, pekan kemarin.
Disinggung kenapa gigi yang di atas saja yang dipotong, Pedanda Gede Wayahan mengatakan kehidupan manusia tidak bisa lepas dengan Rwa Bhineda. Ia menjelaskan bahwa gigi yang ada di atas dianggap sebagai sifat yang negatif. Sedangkan gigi yang ada di bawah sebagai sifat yang positif. Maka, gigi yang di atas saja dipotong dengan jumlah yang enam tersebut, yang diyakini untuk mengurangi Sad Ripu.
Beberapa contoh dari Sad Ripu itu adalah kesombongan, amarah, ingin menguasai, kikir, dan tidak pernah puas. Ketika sifat Sad Ripu tersebut sudah hilang, maka akan menjadikan seseorang dapat dikatakan sebagai amertrah putra. Yang ia katakan sebagai putra yang abadi, dikarenakan sudah mengalami proses, mengubah hal yang tidak baik menjadi baik, dan sifat-sifat kebinatangan itu dihilangkan dan dijadikan sifat kemanusiaan.
“Maka akan tercipta perilaku seseorang akan selalu damai, penuh cinta kasih, dan selalu bersyukur. Inilah makna dari upacara Potong Gigi, dan sebaiknya prosesnya diikuti dengan baik,” terang pria mantan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali ini.
Di samping itu, lanjutnya, yang dikurangi adalah kama, hawa nafsu yang sangat belebihan. Kedua ada lobha, adalah kerakusan, baik makan atau kerakusan yang lainnya . Kemudian ketiga ada krodha, yang berarti kemarahan. Selanjutnya Moha, yaitu kebingungan. Kebingungan dalam menjalankan hidup atau kebingungan maupun bingung dalam segala hal.
Ada mada yang berarti mabuk, baik itu karena minuman keras atau mabuk dengan kekuasaan. Dan, ke enam adalah matsarya yaitu iri hati dan dengki. ” Ke enam hal itulah yang dihilangkan dan sebagai tujuan upacara Potong Gigi tersebut,” ulasnya.
Disinggung terkait kenapa gigi yang di bawah dibiarkan, Pedanda Wayahan mengatakan sebagai simbol hal negatif yang masih ada pada diri manusia. Sehingga, ada sebuah Rwa Bhineda akan menyeimbangkan kehidupan manusia. Ketika tidak dipotong, maka Rwa Bhineda tersebut belum dikatakan seimbang dalam diri manusia. Ditambahkannya, persyaratan untuk mengikuti Potong Gigi adalah orang atau pria yang sudah berubah suara. Sedangkan yang wanita setelah mengalami menstruasi, di mana biasanya berumur 14 sampai 15 tahun ke atas.
Lantas, bagaimana kalau tidak melaksanakannya karena ekonomi dan alasan lainnya?
Ia mengatakan tidak apa-apa, dikarenakan semua itu didasarkan rasa yang utama. “Kalau tidak dilakukan, ya tidak masalah. Sekarang kembali lagi ke dalam diri seseorang. Sama halnya kalau kita menikah. Kalau menikah bagaimana dan jika tidak menikah juga akan bagaimana,” urainya.
Ia juga memaparkan terdapat tiga kaitan upacara yang besar harus dilakukan. Orang yang ikut Potong Gigi harus disucikan terlebih dahulu dengan upacara ngekeb. ” Ibarat seperti buah. Bahwa buah yang disekeb akan menjadi buah yang masak. Maka pada manusia pada hari pertama sebelum upacara dilakukan ngekeb, yang bertujuan untuk mematangkan jiwa dan mentalnya.
Pada ngekeb itu, lanjutnya, tidak boleh sama sekali keluar dari pekarangan rumah. “Besok harinya saat matahari terbit sekitar pukul 05.00 sampai 06.00 disebut ngendag. Yaitu ada sebuah nyurat aksara (menulis huruf) Bali, pada tubuh orang yang akan dipotong giginya,” papar Ida Pedanda Wayahan Wanasari. Pada dahi ditulis aksara rong. Kemudian pada taring kanan huruf ang, taring kiri ah. Pada gigi atas ongkara ngungsang, dan di gigi bawah ongkara ngadeg. Sedangkan di lidah adalah ongkara, kemudian dilanjutkan pada bahu kanan dan kiri. Di dada juga disurat dengan aksara modre.
Pada pelaksanaan nyurat tersebut, menggunakan sebuah cincin berwarna merah. Atau yang sering disebut dengan merah delima. Bahkan yang dikenal dengan windu segara atau sejenis rubby. Kemudian baru menuju tempat potong gigi, dan dilaksakan oleh sangging, yakni orang yang sudah mempunyai keahlian khusus untuk memotong gigi.
“Nah sebelum melakukan pemotongan gigi, juga harus diawali dengan sembahyang terlebih dahulu. Yaitu kehadapan Sang Hyang Kama Jaya dan Kama Ratih yang diyakini sebagai dewa yang mengendalikan nafsu manusia. Sehingga setelah melaksanakan potong gigi tidak muncul kembali nafsu yang sudah dihilangkan,” tandasnya.
Setelah melakukan Potong Gigi, baru dilaksanakan majaya-jaya. Terakhir pada tiga hari setelah upacara berlangsung, dilaksanakan upacara membalikkan kasur yang digunakan saat Potong Gigi. Di mana fungsi dari membalikkan kasur tersebut sebagai simbol mapralina. Proses upacara potong gigi selesai, dipuput oleh jero mangku menggunakan banten pasucian. Tetapi kalau dipuput oleh pedanda menggunakan banten pragembal dan dilanjutkan dengan natab kembali .
Di tempat yang berbeda, salah satu sangging Ida Bagus Gede Searsa Tana menerangkan, terdapat beberapa sarana yang digunakan memotong gigi. Terdiri atas caket, mutik, kikir, bungkak, dadap, tebu, kunyit, base, loloh, dan kwangen. Semua sarana tersebut digunakan dalam prosesi potong gigi.
“Pertama kan harus tidur telentang dengan membuka mulut, dan diisi sebuah tebu pada pangkal gigi, tujuannya agar lama bisa membuka mulut. Setelah itu barulah dilakukan pemotongan gigi yang berjumlah enam pada gigi atas,” urainya. Jika sudah kelihatan sejajar, lanjutnya, bisa bercermin terlebih dahulu. “Ketika ada yang kurang sejajar, maka akan di potong lagi. Dan, saat meludah, juga harus ditaruh pada bungkak tersebut,” jelas pria asli Payangan itu.
Selesai potong gigi, sisa potongan itu akan ditanam pada belakang merajan atau bisa juga dibuang di laut, sebagai simbol pralina, bahwa prosesi upacara Potong Gigi sudah selesai dilaksanakan tanpa gangguan. Di samping itu, lanjutnya, supaya sisa gigi bisa kembali lagi ke unsur Panca Maha Butha.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber