Konsep Jenjang Kehidupan Dalam Hindu (Catur Asrama)

Hindu Memiliki Konsep Jenjang Kehidupan Yang Jelas Dan Telah Tersusun Dengan Sistimatis Dalam Catur Asrama.

              Kita mesti berbangga karena Hindu telah memiliki konsep yang jelas tentang jenjang dari masa kehidupan seorang manusia, dimana didalam kepercayaan lain konsep ini nampak tidak begitu jelas dimana seorang yang sebenarnya sudah masuk di masa yang sudah tidak muda lagi masih diijinkan untuk menikah dan begitu juga sebalik diusia yang masih sangat muda seorang telah dinikahkan. Selain itu penilaian Hindu tentang seberapa pantas seorang itu menikah bukan hanya dari fisik tapi kedewasaan mental dan seberapa besar kemampuan yang diperoleh dalam masa belajar untuk dapat menunjang kehidupan rumah tangganya nanti.

Kata Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan “kerohanian”, kata Asrama juga sering dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan prilaku manusia. Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

Bagian-bagian Catur Asrama Naskah jawa kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian catur asrama. dalam kitab silakrama itu dijelaskan sebagai berikut: yang bernama catur asrama ialah brahma cari, grhastha, wanaprastha, dan bhiksuka. Berdasarkan uraian dari agastya parwa diatas, sangat jelas pembagian catur asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. dari keempat pengesraan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang. masing-masing tentang dalam setiap jenjang menunjukan ketenangan rohani. adapun pembagian dari catur asrama itu terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:

1, Brahmacari asrama,

2, Grahastha asrama,

3, Wanaprastha asrama dan

4, Bhiksuka sanyasin asrama.

Masing-masing jenjang waktu tertentu dalam pelaksanaanya. Berikut penjelasan dari setiap point Catur Asrama

     1. Brahmacari asrama.

Dapat dikatakan ini sebagai langkah awal seorang manusia mulai belajar akan apa tujuan hidupnya yang sebenarnya, ibarat akan mulai perjalanan dimana ini merupakan masa pembekalan, dimana pada masa ini seorang akan diberi peta yang berisi petunjuk jalan kemana ia nanti akan mengarahkan kakinya agar tidak tersesat. Pada masa ini seorang akan dibekali dengan berbagai macam ilmu baik yang berhubungan dunia material dan spiritual  dalam proporsi yang seimbang. Dengan tujuan agar nanti ia akan stabil dalam menjalani tahap hidup yang berikutnya. Pada masa ini seorang tidak boleh bersentuhan dengan suatu yang membuat dapat berpindah jenjang terlalu cepat, seperti mengurangi pergaulan dengan lawan jenis, dimana di India anak laki-laki dan wanita dipisahkan satu sama lain hingga tidak menggangu kosenstrasi mereka dalam menimba ilmu pengetahuan. Selain itu menjauhkan diri dari berbagai jenis keramaian dan kepuasan yang bersifat indria dan berbagai hal yang berhubungan kekerasan, kebencian dan sexual, dengan tujuan melatih mental agar tidak terpengaruh oleh unsur-unsur tersebut, dimana mental telah dilatih sejak dini untuk mengendalikan dan menetralisis unsur-unsur tersebut.

            purvo jato brahmano brahmacari

                          gharmam vasanas tapasodatisthat,

                          tasmaj jatam brahmanam brahma jyestham

                          devasca sarve amrtena   sakam. 

(Atharvaveda. XL 5. 5).

Artinya:

Brahmacarin (siswa pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum brahman (pengetahuan spiritual), yang melakukan persembahan, yang melaksanakan disiplin spiritual); dari pribadinya timbul (mendapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan tentang) Brahman tertinggi dan Yang Bersinar dengan kehidupan abadi.

Brahmacarya-hidup dalam perkembangan dan pendidikan spiritual — seharusnya didahului oleh pengetahuan spiritual lewat upacara keagamaan saat manusia itu mulai mengambil napas pertama di dunia. Ini merupakan pandangan Jnana Yoga (jalan pengetahuan).

Brahmacarya merupakan pelajar dalam tahap pembinaan (magang) dalam pengetahuan dan proses pengembangan kecerdasan dan moral. Tahapan ini merupakan jenjang sistimatis dari disiplin diri dan pendidikan untuk mencapai tingkat kehidupan material dan spiritual yang lebih tinggi. Dalam istilah yang lebih khusus lagi, jenjang ini merupakan proses budaya diri dan sublimasi kecenderungan-kecenderungan seksual yang dilaksanakan oleh para siswa jaman dahulu yang bertujuan mempelajari ilmu pengetahuan Veda dan spiritual termasuk pengetahuan material

Uraian di atas diambil dari Atharva Veda yang menyajikan uraian panjang lebar pada kemuliaan kehidupan brahmacarin.

Dengan cara seperti itulah Jalan ilmu pengetahuan menurut Veda membawa pada konsep program kehidupan (asrama vibhaga) “empat jenjang,” dimana jenjang pertama meliputi pembinaan budaya diri (Brahmacarya yang sistematis).

Kemudian timbul suatu pemikiran yang menganggap membudaya diri dan disiplin pribadi (brahmacarya) ini sangat sulit. Ini bertentangan dengan jalan pengetahuan Veda.

Di sinilah pentingnya ajaran adhikara, yaitu kemantapan spiritual untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi

Ada suatu segi lagi mengenai pembinaan budaya diri ini. Dalam jaman sesudah Veda timbul perbedaan pandangan mengenai Realitas Utama, tetapi tidak ada perbedaan mengenai perlunya budaya diri.

                  arvag anyah paso anyo divas prsthat guha nidhi nihitau brahmanasya,

                   tau raksati tapasa brahmacari tat kevalarh krnute brahma vidvan.

(Atharvaveda . XI. 5. 10).

Artinya:

Satu di sisi, yang lain di alam lain; Dua harta karun sakral jaman dahulu tetap tersembunyi. Brahmacarin melindungi kedua-duanya dengan daya spiritualnya (tapas). Dengan mengetahui ‘Brahman ia menjadikan semua itu miliknya.

Kedua bidang pengetahuan – para, – tak terbatas, dan apara, – yang terbatas – keduanya merupakan pengetahuan yang dipelajari oleh siswa spiritual. Keduanya itu adalah mistik yang mcmpcngaruhi nilai agama dan memerlukan kemantapan spiritual untuk mencapainya. Dengan menjalani masa hidup Brahmacarya dengan baik maka dua pintu ilmu pengetahuan akan terbuka lebar, dua pintu itu adalah ilmu pengetahun spiritual dan ilmu pengetahuan material. Dan jika seorang telah benar-benar berhasil menjalani brahmacharya ini akan tercipta sosok manusia yang tidak hanya memiliki kecerdasan rohani yang kuat tapi juga tingkat intelegensia yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan spiritual dan material.

 2.  Grhastha Asrama

Grhasta asrama merupakan tahap kedua yang merupakan ujian yang sebenarnya dimana seorang akan menerapkan semua ilmu yang ia pelajari saat masih berada di masa Brahmacharya. Ini adalah masa yang paling sulit dimana ia sudah tidak lagi mengurus dirinya sendiri tapi ia telah mendapatkan beban tambahan yakni keluarga yang ia bentuk dalam suatu pernikahan yang merupakan perlambang dimulainya jenjang ini. Tanggung jawabnya tidak hanya sebatas mencukupi kebutuhan hidup keluarga, tapi juga menganyomi dan membimbing keluarga yang ia bentuk menuju suatu kehidupan spiritual yang selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya, dimana membimbing adalah tugas yang sangat sulit. Masa ini kestabilan emosi dan kekuatan spiritual amat teruji dan tidak jarang mengalami kegagalan dan berakibat pada semakin mundurnya kualitas spiritual orang tersebut dan berimbas pada hancur tingkat spiritual dari keluarga tersebut. Dan dalam Veda merupakan sebuah dosa besar.

Dalam Agastya Parwa dijelaskan

                 Grhastha ngarania Sang yatha sakti kayika Dharma

Artinya

Grhastha namanya beliau yang dengan kemampuan sendiri mengamalkan Dharmanya. Ciri seorang Grhastha adalah memiliki kemauan untuk mandiri untuk mewujudkan swadharmanya.

Dalam Catur Asrama ini kedudukan Grhastha Asrama inilah kedudukan yang paling sentral. Suksesnya seorang Brahmacari dan Vanaprastha amat tergantung dari kemampuan Grhastha Asrama melakukan kewajibannya untuk membiayai pemeliharaan dan biaya pendidikan Brahmacari Asrama.

Grhasta asmara atau pernikahan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur atau jiwa-jiwa yang lain untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan “Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang” artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia. Dan merupakan bagian dari usaha penyucian diri lewat sebuah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dam seorang wanita lewat sebuah jalur kesetiaan untuk sehidup semati.

Nitisastra disebutkan ada lima kewajiban orang tua atau orang yang menjalani hidup grhasta . Lima kewajiban itu disebut Panca Wida yaitu.

1. Sang Ametuaken = orang yang melahirkan anak pada kehidupan dunia

2. Maweh Bhinojana = menjamin kebutuhan ekonomi keluarga

3. Sang Mangupadyaya = memberikan pendidikan pada anak sampai moral, mental dan profesi yang nantinya mampu mendukung kehidupannya

4. Sang Anyangaskara = orang yang memberikan pendidikan kerokhanian

5. Sang Matulung urip rikalaning bhaya = orang yang memberikan rasa aman dan menolong saat menghadapi bahaya

Dimana Lima kewajiban Grhastha ini pada umumnya sering sulit dilakukan oleh kepala keluarga secara 100% karena waktu dan tenaganya habis untuk mendapatkan kebutuhan primer saja yaitu cari uang untuk makan.

3. Wanaprasta Asrama

Masa ini adalah masa peralihan antara kehidupan yang masih bersipat dunia yang penuh dengan tanggung jawab dan keterikatan pada keluarga secara perlahan hidup menuju sebuah pengasingan diri terhadap ikatan tersebut, melepaskan ikatan tersebut hingga yang tersisa adalah hubungan antara diri sendiri dengan Tuhan dan tidak ada lagi hubungan yang lain yang dikenal sebagai Sanyyasin Asrama atau Bhiksuka asrama. Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, dimana lebih dipusatkan pada bidang spiritual.

Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat, berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian (yoga), melakukan berbagai “vrata” atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra dan lain-lain.

Wanaprastha adalah batu loncatan untuk mencapai sebuah jenjang Sanyasin karena lewat Wanaprasta jiwa secara perlahan terlatih tidak lagi bergantung kepada hal-hal yang bersifat kenikmatan indria dengan demikian pikiran tidak lagi focus ke indria apapun bentuknya melainkan hanya pada Tuhan.

     Tat-buddhayas tad-atmanas

     tan-nisthas tat-parayanah

      gacchanty apunar-avrttim

               jnana-nirdhuta-kalmasah

( Bhagavadgita V-17)

Artinya:

Mereka yang memikirkan-Nya, menyerahkan seluruh jiwa kepada-Nya, menjadikan-Nya tujuan utama, memuja hanya pada-Nya, akan pcrgi tidak kcmbali, dan dosa mereka dihapus oleh pengetahuan itu.

Dari sloka ini dijelaskan bahwa pikiran adalah faktor terpenting dalam keberhasilan seorang dalam melaknakan Sanyasin asrama, untuk itu pikiran harus dilatih secara perlahan-lahan pada masa wanaprasta hingga nanti saat memasuki jenjang sannyasi asrama pikiran benar-benar telah mantap pada Tuhan. Hingga tidak ada lagi goncangan-goncangan mental saat menjalani masa Sannyasin.

4. Sannyasin asrama

         Sannyasin asrama adalah fase terakhir dalam kehidupan dimana masa ini jiwa telah sepenuhnya lepas dari semua ikatan baik secara material maupun mental pada keluarga dan semua yang ada diluar diri dan segala macam kenikmatan duniawi  dan bagi jiwa yang benar-benar suci ia sudah melupakan dan tidak mengiginkan  surga dan kenikmatan surgawinya. Saat itu orang akan memahami dirinya sebagai jiwa dan bukan badan, yang telah berada pada suatu tingkat kesucian yang tinggi hingga telah siap untuk diambil kembali atau bersatu dengan Brahman, jiwa yang telah kembali ke sifatnya yang asli yang sama dengan Brahman. Pada masa ini hidup hanya untuk Tuhan dan pengabdian dengan jalan memberikan dharma wacana, petuah-petuah suci yang dapat berguna bagi generasi yang lebih muda dalam menjalani hidupnya. |sumber