Madana Punia Tak Perlu Menunggu Kaya

BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemberian tulus ikhlas, tanpa mengharapkan timbal balik merupakan kewajiban kita sebagai makhluk hidup. Jadi, tidak perlu menungu kaya untuk melaksanakannya. Apalagi, madana punia tidak dipatok berapa dan apa yang akan dipuniakan.

Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Pinandita Pasek Swastika mengatakan, selain pemberian secara ihklas saat madana punia, juga dilakukan semampunya.

“Kita punya kekayaan atau penghasilan sebaiknya dibagi tiga. Pertama untuk dimakan, ke dua untuk disimpan, dan ke tiga untuk dipuniakan,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin.

Pinandita Pasek Swastika mencontohkan, kalau seseorang memiliki uang Rp 100 ribu, Rp 40 ribu untuk makan, Rp 30 ribu untuk disimpan, dan 30 ribu untuk dipuniakan.

Pria asal Jembrana tersebut menambahkan, materi yang dipuniakan tersebut tidaklah secara terus menerus, yakni dipuniakan ketika dibutuhkan.
Dipuniakan kepada perorangan, kepada orang yang sakit atau untuk pembangunan, dan lainnya.

Terkait dengan erupsi Gunung Agung, lanjutnya, semestinya setiap orang ikut peduli dengan cara mapunia kepada saudara kita yang terkena dampak erupsi. “Jangan kita madana punia menungu kaya ,” paparnya.

Pasek Swastika mengungkapkan, punia tersebut tidak saja berupa uang atau benda, tapi juga berupa tenaga, pikiran dan kemampuan fisik untuk membantu.”Inti tujuannya adalah membantu sesama, karena lewat dana punia terdapat silih asih,” urainya.

Pada saat dewa yadnya, pelaksanaan dana punia tidak saja saat piodalan dengan cara menghaturkan banten maupun sesari yang banyak.

“Membersihkan pura dari rumput-rumput liar yang ada di tembok atau sekeliling pura juga bisa dikatakan sebagai punia. Nah apa yang dipuniakan, yaitu tenaga ataupun pikiran kita untuk berinisiatif untuk ngayah di sana,” urainya.

Sedangkan pada pitra tadinya, lanjutnya, tidak dilakukan pada saat pangabenan saja untuk madana punia.

Pasek Swastika mengatakan, dana punia tidak jauh beda dengan sumbangan sukarela. Di mana bisa dengan benda, tenaga, pikiran dan diri.

Diakuinya, pada zaman sekarang sudah sangat jarang, bahkan tidak ada yang madanapuniakan raga atau dirinya mau dijadikan tumbal. “Sekarang itu kan sudah tidak mungkin. Maka dari itu, sebaiknya kita mapunia dengan barang, tenaga atupun pikiran yang kita miliki untuk kepentingan orang banyak,” imbuhnya.
Ia juga mengakui, ketika madana punia nantinya pasti akan mendapatkan pahala. Tetapi ia menekankan jangan berharap, dikarenakan pahalanya bisa saja dari orang lain datangnya.

Terkait madana punia di pura dan ada pencatatan nominal atau barang yang dipuniakan, lanjut Pasek Swastika, itu tidak salah. Karena sebagai pertanggungjawaban nantinya.

Ketika ada seseorang yang menyodorkan untuk mencatat nama dan nominal yang dipuniakan, wajib mengisinya untuk membantu pangayah untuk tertib administrasi agar nantinya dapat diinformasikan ke pamedak sumber punia dan alokasinya.
Secara niskala, lanjutnya, Ida Sang Hyang Widhi sudah ‘mencatat’ apa saja yang dilakuka seseorang.

Terkait sesari dari umat, lanjutnya, setelah terkumpul maka terbagi tiga. Satu bagian untuk pemeliharaan pura, ada yang dikelola oleh panitia, dan ada yang ditujukan untuk pemangku. Bahkan, semuanya itu harus tetap ada pertanggungjawabannya. “Keliru jika ada pemangku yang mematok sesari maupun madana punia,” pungkasnya .

Dikatakannya, manfaat dari madana punia telah dijelaskan dalam berbagai kitab suci agama Hindu. “Semua itu sudah terkadung dalam Atharwa Weda, Reg Weda, Lontar Manawa Dharmasastra, maupun kitab suci yang lainnya,” terangnya.

Ia juga mengatakan, terdapat tiga jenis yang termasuk dalam dana punia, yakni Dharmadana memberikan budi pekerti yag luhur dalam ajaran dharma. Selanjutnya Widyadana, yaitu memberikan ilmu pengetahuan kepada seseorang, dan ke tiga adalah Arthadana, yakni memberikan materi atau harta benda yang dibutuhkan oleh seseorang. Tentunya semua itu, lanjut Pasek Swastika, harus didasari dengan rasa tulus dan ikhlas, seperti yang termuat dalam lontar Manawa Dharmasastra IV. 226.

“Sraddhayestam ca purtam ca nityam kuryada tandritah, craddhakrite hyaksaye te bhawatah swagatairdhanaih.” Maksudnya, hendaknya tidak jemu-jemunya ia berdana punia dengan memberikan hartanya dan mempersembahkan sesajen dengan penuh keyakinan. Memperoleh harta dengan cara yang benar dan didermakan akan memperoleh tempat tertinggi, yaitu Moksa.

Secara garis besar ia mengungkapkan bahwa dana punia merupakan kewajiban sebagai umat. Sedangkan sesari adalah pelengkap dalam suatu persembahan.
Pada tempat berbeda, Jero Mangku Ni Wayan Sari mengaku sering melakukan dana punia, meski tak banyak.

“Namanya saja dana punia, saya tidak pernah menghitung besar atau kecil jumlahnya. Karena berapapun yang dipuniakan semestinya dengan hati yang bersih,” papar Mangku Sari.

(bx/ade/yes/JPR) –sumber