Mengenal Desa Penglipuran (2): Berani Memadu, Dikucilkan di Karang Memadu dan Dilarang ke Pura

BALI EXPRESS, BANGLI – Dalam suatu desa adat, sudah tentu terbentuk atas tiga hubungan yang menyebabkan keharmonisan. Atau yang dikenal dengan Tri Hita Karana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, dengan lingkungan, dan sesama. Di Desa Penglipuran, Kubu, Bangli, terdapat sebuah tempat sebagai salah satu “perangsang” mempererat keharmonisan antar sesama yang disebut karang memadu. Tapi, tempat itu tak pernah ditempati. Kenapa?

Bendesa Adat, I Wayan Supat ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di Banjar Penglipuran, Desa Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli Minggu (17/12) mengatakan, bahwa warga di sana pantang untuk melakukan poligami ataupun poliandri. Dirinya menjelaskna kedua hal tersebut sebagai cara untuk mengharmoniskan dan menyejahterakan warga.

“Pada dasarnya aturan itu dibuat karena sebagai memperdayakan, melindungi, dan menghargai seorang wanita. Karena disebut memadu lumrahnya adalah memiliki istri lebih dari satu,” jelas Supat.

Dirinya juga mengatakan kalau secara umum, seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu dan begitu juga sebaliknya pasti akan kurang harmonis. Bahkan ia mennyebutkan akan sangat jarang sekali terciptanya suatu hubungan yang baik dalam keluarga. Terlebih jika di keluarga tidak bagus, otomatis dalam kehidupan bermasyarakat juga akan menjadi tidak baik. Bahkan Supat mengaku bisa membuat keletahan (kotor) desa setempat dari apa yang akan dilakukan tersebut.

Supat juga menerangkan, kalau pada tahun 1994 lalu sempat aturan tersebut mau dirubah. Karena dianggap tidak sesuai perkembangan zaman yang modern. Namun atas pertimbangan dan kesepakatan dari warga tidak jadi dirubah. Di mana yang direncanakan aturan karang memadu itu tidak diberlakukan lagi.

“Karang Memadu ini dapat dikatakan sebagai Lemaba Pemasyarakatan (LP) poligami. Karena akan menjalankan suatu sanksi adat, bahkan sanksi itu akan terasa sampai pada cucu, cicit, dan buyutnya,” tandas Supat.

Tempat karang memadu ini di paling selatan desa. Sedangkan luasnya sekitar 9 are dalam satu petak pekarangan. Terkait ada yang sudah menempatainya, ia sendiri mengaku sampai saat ini belum sama sekali ada yang menempati. Dikarenakan masyarakat di sana belum ada yang poligami ataupun poliandri.

“Itu sebuah aturan secara adat, aturan itu untuk ditaati dan bukan justru untuk dilanggar. Maka saat ini krama masih menaati aturan tersebut,” imbuhnya.

Pada tempat yang berbeda, warga setempat, Ni Nyoman Sukanti menyebutkan jika sampai tinggal di karang memadu, ia menjelaskan pasangan tersebut akan dibuatkan rumah darurat oleh krama untuk tempat tinggal mereka. Di samping itu, mereka juga tidak diperkenankan menjalankan hak dan kewajiban bermasyarakat.

“Mereka dikucilkan karena dianggap telah melanggar pantangan yang berlaku. Bahkan ke pura mereka juga tidak diperkenankan, karena sudah dianggap mengotori desa. Maka jika sampai tinggal di sana, itu merupakan sebagai bentuk pengucilan dari desa adat,” terang ibu dua anak tersebut.

Bahkan, Sukanti menerangkan jika sudah dibuatkan rumah di sana tidak boleh lagi untuk tinggal ke rumah aslinya. Sebab itu sudah secara hukum adat diberlakukan secara turun-temurun. Dikarenakan ada sebuah aturan adat yang sedemikian, sampai saat ini tidak ada warga Penglipuran yang sampai dibuatkan rumah darurat di karang memadu tersebut. (bersambung)

(bx/ade/yes/JPR) –sumber